Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Sang Saka Merah Putih di Istana
Kepresidenan, Rabu (17/8) setelah diizinkan oleh Presiden Joko Widodo, menjadi
polemik baru.
Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mempertanyakan dasar hukum yang digunakan
presiden dan wapres sehingga membolehkan Gloria ikut serta menjadi anggota
Paskibraka penurunan bendera Merah Putih di istana, bukan dari penaikkan
bendera.
mustahil Gloria mempunyai status dwi kewarganegaraan, karena UU yang mengatur
adanya dwi kewarganegaraan (UU 12/2006) baru disahkan tahun 2006, enam tahun
setelah Gloria lahir.

0065/2015, syarat untuk dapat direkrut menjadi pasukan paskibraka adalah WNI.
Gloria lahir tahun 2000 dari perkawinan campuran, ayahnya WN Perancis, ibunya
WNI.
dan bukan WNI. Sebab UU 62/1958 tentang Kewarganegaraan RI menganut asas ius
sanguinis patriachat (kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah menurut garis
ayah),” jelas Yusril.
“UU tersebut tidak berlaku surut. Paspor Gloria seperti diakuinya adalah
paspor Perancis. Mungkin saja dia punya KITAB atau Kartu Izin Tinggal Tetap
mengingat orangtuanya tinggal di Indonesia,” jelas Yusril.
“Tapi jelas dia bukan WNI, sehingga menurut hukum, Gloria tidak boleh
menjadi anggota Paskibraka, walau hanya untuk menurunkan saja.”
Bakal calon gubernur DKI Jakarta yang juga pernah ikut mengomentari terkait
penyelenggaraan Pilkada Manado yang menyalahi aturan https://www.detikawanua.com/2016/08/pilkada-manado-dianggap-menyalahi.html
beberapa waktu lalu, menegaskan bahwa Presiden Jokowi dan Wapres JK harus
menjelaskan apa dasar hukum sehingga membolehkan Gloria ikut menurunkan
bendera, setelah Gloria bertemu keduanya di Istana pagi ini.
“Gloria adalah korban kelalaian dan ketidakcermatan Menpora dalam
melakulan rekrutmen anggota Paskibraka. Saya simpati pada Gloria karena dia
adalah korban. Apakah dibolehkannya Gloria menurunkan bendera menunjukkan pengakuan
bersalah Presiden dan Wakil Presiden, untuk menghindari gugatan Gloria dan
orang tuanya karena merasa telah dipermalukan di depan publik?” kata
Yusril.
“Pemerintah akhirnya bagai dihadapkan pada buah simalakama: membolehkan
Gloria supaya terlihat bijaksana, tapi risikonya melakukan pelanggaran hukum.
Pemerintah memang harus cermat dan hati2 dalam mengemban tugas agar tidak
menjadi bahan cemooh dan tertawaan.” *iBr.