Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

Dana Banjir: Sekali Lagi

×

Dana Banjir: Sekali Lagi

Sebarkan artikel ini
Oleh: Amato Assagaf
detiKawanua.com – Jika kemudian ada kasus rumah A yang berada satu lokasi, satu tanah, berjarak hanya sedikit lebih dari satu meter dengan rumah B dalam salah satu kampung yang menjadi lokasi banjir paling hebat dalam sejarah kota Manado pada 2014. Lalu pada tahun 2017 datang sekumpulan orang yang mewakili pemerintah kota bersama pejabat kampung dan melakukan apa yang mereka sebut sebagai “verifikasi korban banjir” dalam rangka menyalurkan “dana bantuan korban banjir” dalam cara yang entah bagaimana dengan standard yang entah apa, dan tiba pada kesimpulan bahwa rumah A mengalami “rusak sedang” dan rumah B hanya “rusak ringan” maka pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang tengah diuntungkan, jika ini bukan ketololan atau, lebih lembut lagi, sebuah kekeliruan?
Bahkan jika mereka datang dan melakukan verifikasi sehari setelah peristiwa bencana banjir itu, tidak ada sebentuk saja akal sehat yang akan menerima kesimpulan mereka itu. Saya sudah lelah bertanya-tanya apa kriteria dan bagaimana metode yang mereka gunakan hingga bisa mengambil kesimpulan semacam itu.Saya lebih suka mencium ke mana arah dana yang konon berjumlah ratusan milyar itu hendak mengarah. Dan itu terkadang dengan rasa marah.
Kenapa marah? Karena saya tidak mengikuti persoalan ini dari sebuah jarak tertentu atau dengan keterlibatan obyektif. Saya adalah salah satu korban dengan rumah yang dianggap sebagai korban ringan. Oh, jadi ini soal pembagian dana? Soal uang? Ya, soal uang, jika memang itu ada dan jika memang itu dimaksudkan untuk para korban banjir.
Saya, dan saya yakin juga banyak korban lain di kampung saya, merasa sekali lagi menjadi korban. Tapi jika sebelumnya kami adalah korban banjir, katastrofi yang tidak memilih korbannya, maka tahun ini, kami menjadi korban dari “kekeliruan” yang sulit untuk dinalar secara normal. Meski demikian mengatakan “kami” tidak membuat tulisan ini sebagai wakil dari sekian korban yang lain.
Tulisan ini adalah gugatan satu orang korban, saya, dengan mengacu pada universalitas problem keadilan. Artinya, tanpa harus mendaku sebagai wakil dari sekian banyak korban lainnya, saya bisa membayangkan dengan empati yang kuat bahwa apa yang saya alami dan rasakan juga dialami dan dirasakan oleh sekian korban lainnya. Dan jangan pernah minta bukti, data, dan sebagainya itu. Kenyataan dari apa yang saya alami sudah merupakan bukti itu sendiri.
Lalu apa yang membuat tulisan ini menjadi penting untuk saya ajukan pada publik yang lebih luas sambil berharap bahwa di antara mereka ada yang akan berempati dan ada beberapa orang dari pihak yang terlibat dalam verifikasi itu yang akan membaca tulisan ini? Apakah ada nilai lebih untuk diajukan sebagai gugatan dalam tulisan ini, nilai yang lebih tinggi dari sekedar uang dan kepentingan pribadi saya sebagai korban?
Jawaban saya,lewat tilikan apapun kita tidak bisa bicara tentang “nilai yang lebih tinggi dari sekedar uang” dalam kasus ini. Ini memang persoalan uang dan kita tidak harus malu untuk membicarakannya. Bencana menghantam kita bukan hanya secara material tapi juga moral. Meski demikian, kesampingkan kerugian moral sebagai persoalan resiko menjadi manusia dan tepat pada titik itu, titik menjadi manusia, kita bisa bicara tentang berapa banyak kerugian material akibat banjir.
Jika tidak ada sosialisasi dana banjir dari pemerintah mungkin, pada akhirnya, kita juga harus menerima kerugian material itu sebagai sebuah resiko. Tapi ketika pemerintah bicara soal dana ratusan milyar itu (atau mungkin lebih), tidak ada yang salah jika saya, selaku korban banjir dan, saya yakin, banyak korban lainnya akan mengharapkan itu. Bagaimanapun juga, kami telah mengeluarkan sangat banyak uang untuk kembali menjadi manusia normal setelah bencana itu.
Jadi, persoalannya memang uang dan itu tidak bisa dipindahkan dengan cara apapun pada “nilai-nilai non-material” yang kita anggap sebagai kebajikan. Seolah-olah persoalan uang adalah persoalan remeh yang terlalu memalukan untuk dituntut. Tidak, jika itu remeh dan memalukan, kenapa pemerintah harus mengerahkan begitu banyak tenaga dalam begitu banyak waktu, untuk menjadikannya sebagai sebuah kebijakan?
Terlebih lagi, ketika kebijakan ini telah menyentuh ranah publik maka ia telah menjadi persoalan publik. Dan dengan kata ‘publik’ kita maksudkan seluruh warga yang terlibat dalam persoalan ini, langsung atau tidak. Tidak dengan maksud untuk mendramatisir jika saya katakan bahwa warga yang terlibat secara langsung itu adalah mereka yang kita sebut sebagai “korban banjir” tahun 2014.
Saya adalah salah satunya. dan ketika kepentingan pribadi ini saya ajukan, saya sedang mempraktikkan hak saya sebagai warga berhadapan dengan sebuah kebijakan yang saya anggap keliru. Tidak ada yang akan menjadi pahlawan dalam persoalan ini tapi, sudah pasti, ada yang memang harus dipersoalkan.
Tulisan ini, seperti tulisan saya yang pertama mengenai persoalan ini, akan terus menjadi bagian dari wacana publik mengenai kebijakan sumbangan dana bagi para korban banjir di Manado tahun 2014. Dan, sepertinya, tidak akan pernah menjadi tulisan yang terakhir sebelum apa yang tampak dalam tindak lanjut kebijakan ini terlepas dari selubungnya, setidaknya dalam urusan saya dan kampung saya.
Sebagai catatan akhir. Ketika tulisan ini saya buat, ada selentingan isu yang beredar di kampung saya bahwa dana itu tidak akan lagi diberikan. Saya tidak percaya pada isu ini dan tidak ingin mengandalkan diri padanya. Tapi persoalan yang tertinggal, jika sejak awal pihak yang mengurus kebijakan ini tidak membiarkan urusan ini berada dalam selubung, kita tidak harus mendengar terlalu banyak isu. (#)

Manado, April 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *