Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

Dana Banjir dan Logika Bencana

×

Dana Banjir dan Logika Bencana

Sebarkan artikel ini
Oleh: Amato Assagaf 

detiKawanua.com – Setelah sekitar setahun meributkan soal pemberian “dana banjir” di beberapa wilayah di Manado, kita akhirnya disuguhkan dengan komedi yang sulit dimengerti ketika mereka yang berwenang dalam urusan ini mulai melakukan verifikasi “korban banjir” yang dibagi dalam tiga kriteria “kerusakan” yaitu, kerusakan berat, sedang, dan ringan.


Komedi dalam urusan berbencana dan bernegara ini dimulai saat apa yang mereka tampilkan menyuguhkan sejenis logika bencana yang demikian janggal, jika tidak mau dibilang membelakangi logika bencana itu sendiri. Dalam model logika janggal ini terdapat setidaknya dua persoalan yang bisa dikemukakan.

Persoalan pertama, bagaimana mereka menentukan keberlakuan kriteria tersebut atas kerusakan yang dialami korban banjir? Satu hal yang perlu diingat di sini, apa yang kita sebut sebagai “bukti kerusakan” adalah rumah dan segala isinya, yang setelah banjir 2014 lalu, baru diverifikasi pada sekira akhir tahun 2016. Artinya, verifikasi dilaksanakan dua tahun setelah peristiwa.

Apakah yang bisa mereka temukan? Apakah mereka berharap rumah dan segala isinya yang “rusak” akan tetap dibiarkan rusak oleh pemilik dan penghuninya sambil menunggu datangnya petugas dana banjir? Dengan cara ini menjadi jelas, apa yang disebut logika janggal oeh tulisan ini bermakna di luar akal sehat.

Persoalan kedua, apapun yang menjadi standard kriteria hanya bisa berlaku pada tingkat ‘berat’ dan ‘sedang’ ketika yang kita bicarakan adalah rumah dan apapun itu di daerah yang memang menjadi titik parah banjir. Maksudnya, pada daerah seperti ini tidak boleh ada kriteria ringan, karena air sebagai bencana, tidak akan mengalir dengan memilih korbannya.

Logika tentang bencana yang tidak memilih korban seharusnya menyadarkan kita, bahwa dengan standard apapun, kriteria korban harus diperhitungkan berdasarkan titik-titik terjadinya bencana, bukan dengan memeriksa kerusakan yang diandaikan entah dengan ilmu apa ketika bencana sudah lewat hingga beberapa tahun.

Sederhananya, kriteria berat, sedang, dan ringan itu harus ditetapkan berdasarkan daerah terjadinya bencana. Sehingga yang kita temukan, misalnya, adalah penetapan bahwa daerah A mendapatkan kriteria berat, daerah B mendapatkan kriteria sedang, dan daerah C mendapatkan kriteria ringan.

Setelah itu baru diadakan semacam verifikasi atas situasi obyek kerusakan (dalam hal ini, rumah dan segala isinya) serta kelayakan menerima bantuan berdasarkan konfirmasi terhadap para aparat kampung dan sebagainya. Verifikasi ini memungkinkan untuk menurunkan kriteria jika dianggap perlu.

Tapi, di sinilah persoalannya, menurunkan kriteria karena, misalnya obyek yang tertimpa bencana dianggap tidak sedemikian rusak, tidak boleh dilakukan dengan model pembedaan yang sangat drastis. Sehingga pada daerah bencana yang diberikan kriteria “berat”, tidak akan ada penurunan kriteria hingga menjadi “ringan” tapi menjadi “sedang.” Disparitas yang terlalu besar adalah hinaan terhadap apa yang, sekali lagi, bisa kita sebut sebagai logika bencana.

Kriteria yang membelakangi logika bencana inilah yang kini dirasakan penulis dan beberapa tetangga penulis. Kami adalah pemilik rumah dan segala isinya yang menjadi korban bencana pada daerah, yang dengan model verifikasi apapun, tetap harus dikenang sebagai titik banjir paling parah.

Karena itulah menerapkan kriteria “ringan” di kampung kami lewat verifikasi yang dilaksanakan dua tahun setelah peristiwa bencana adalah apa yang bisa kita katakan sebagai “bencana bernegara.” Karena jika memang tidak pernah ada ketentuan negara untuk meringankan beban finansial para korban bencana banjir Manado 2014, maka kami hanya akan menjadi semata korban banjir.

Tapi ketika niat itu datang dan memberikan kami harapan, seluruh pelaksanaannya tentu harus diiringi dengan keadilan. Dan ketika keadilan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, ia akan berubah menjadi bencana. Dan dalam persoalan kita kali ini bencana itu bernama negara. Karena itu, tulisan ini kami buat sebagai tuntutan akan keadilan kepada pemerintah, bukan sebagai tuduhan kepada siapapun. #

Manado, Maret 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *