detiKawanua.com – Persoalan pemilu yang tidak bisa selesai sesungguhnya adalah wajah buruk politik kita, entah pada sistemnya entah pada budayanya. Kita misalnya bisa melihat para pendukung mantan lawan Jokowi yang hingga saat ini belum bergerak jauh dari tahun 2014.
Dalam bentuk yang berbeda, sedikit atau banyak, hal yang sama juga terjadi di tingkat daerah; provinsi dan kabupaten/kota. Juga di Manado pada beberapa hari terakhir ini. Ada yang menggugat pelaksanaan pilwako tahun lalu dan Manado menjadi berita. Tak kurang dari Yusril Ihza Mahendra, yang kebetulan sedang membutuhkan bingkai bagi potretnya, ikut dalam keramaian itu.
Masih terlalu pagi untuk memberikan pendapat mengenai kelanjutan nasib berita ini. Tapi tidak terlalu terburu-buru untuk sebentar merenungkannya. Dan karena ingin menjadi lebih kultural daripada politis, maka perenungan ini bisa kita lakukan dengan melihat wajah para politisi kita di hadapan kekuasaan.
Baca juga: Pilkada Manado Dianggap Menyalahi Aturan, Ini Pendapat Yusril Ihza Mahendra
Tentu saja bicara pilwako adalah bicara tentang kekuasaan di tingkat kotamadya. Dan Manado adalah geo-demografi kursi kekuasaan yang terbilang empuk. Di situ ada elit politik alias nasib buruk kekuasaan rakyat dan sebuah masyarakat yang cukup berjarak dari gerak dan gagasan para elit itu.
Dengan situasi itu kekuasaan tidak terlalu membutuhkan konfirmasi orang banyak. Pada satu sisi, hal ini terbilang positif; perseteruan politik tidak akan pernah menjadi konflik massal. Pada sisi lainnya, kekuasaan menjadi urusan elit lengkap dengan bahasa sandinya. Artinya, demokrasi, jika dianggap sebagai campur tangan rakyat dalam kekuasaan, kemungkinan sedang sekarat.
Sekali lagi, kita tidak harus peduli dengan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam urusan gugat menggugat ini. Pertama, karena benar dan salah telah menjadi pertimbangan yang terlalu kaku dalam persoalan politik. Setidaknya, itu bukan urusan politik kita hari ini. Kedua, karena memang persoalan kita kali ini bukan benar atau salah tapi – melanjutkan semangat pilwako – urusan menang atau kalah.
Dan itulah salah satu sisi wajah politisi kita di hadapan kekuasaan. Entah yang menggugat entah yang tergugat, sama-sama memiliki wajah sangar itu. Potret saja seorang politisi yang sedang tertawa lepas dan Anda akan punya bahan untuk membuat meme karena tidak ada politisi yang bisa tertawa lepas tanpa menjadi salah kaprah.
Wajah itu atau, lebih tepatnya, wajah-wajah itu tidak bisa dilukis jauh dari kekuasaan. Itu kodrat politisi yang tidak perlu terlalu dipusingkan; politik sulit didefinisikan di luar kekuasaan. Persoalan baru muncul manakala, di hadapan kekuasaan, wajah-wajah itu terlihat mengekspresikan rasa haus yang sama.
Artinya apa? Ketika kekuasaan tampak bisa diteguk, siapapun dia yang berada paling dekat dengan sumber mata air akan meneguknya tanpa memikirkan akibatnya bagi yang lain, termasuk bagi orang banyak, yang kita sebut dengan hormat sebagai rakyat.
Teori demokrasi menyajikan kita cerita tentang rakyat sebagai sumber dan penjaga mata air itu. Kenyataan demokrasi menyajikan kita cerita yang sepenuhnya berbeda. Dan cerita itu terbilang tragis seperti yang bisa kita saksikan dalam riuh gugatan ini. Kenapa?
Gugatan terhadap pilwako kemarin menjadi layak tidak pertama-tama karena ada bukti dan argumentasi yang cukup kuat tapi karena para penggugat tahu benar bahwa sumber mata air itu selalu terancam pencemaran. Sederhananya, hanya sedikit di antara kita, secara sembunyi atau terbuka, yang menganggap para pemenang sebagai orang yang sepenuhnya absah untuk berada di kursi kekuasaan.
Demokrasi dan para pendukungnya menganggap cerita itu sebagai dinamika politik. Saya, dengan semangat generasi Y, menganggapnya sebagai efek dari gerakan nasib buruk kekuasaan rakyat. Ketika elit politik baku skerem, rakyat kehilangan waktu, energi, dan kesempatan, untuk menjadi lebih baik.
Bersikap tidak peduli adalah satu sisi yang masuk di akal dalam menanggapi keriuhan itu. Ini sisi yang kebanyakan dipilih dan telah menjadi khas bagi masyarakat Manado. Baik dan benar tapi mengancamkan bahaya.
Adapun sisi sebelahnya adalah mengekspresikan rasa muak. Kenapa? Karena ada satu hal yang tidak boleh kita lewatkan dalam merenungi wajah para politisi kita di hadapan kekuasaan: tak hanya sama hausnya, mereka semua juga memiliki raut wajah yang serupa.
Jika begitu, masihkah kita ingin bicara soal siapa yang benar dan siapa yang salah? Termasuk masihkah ada gunanya kita bicara soal siapa yang menang dan siapa yang kalah? Bahkan ilusi terbesar yang kemungkinan akan kita saksikan dalam acara gugat menggugat itu adalah siapa yang menggugat dan siapa yang sesungguhnya menjadi tergugat.
Di sini hari ini,
Amato Assagaf