Oleh : Rifaldi Rahalus
detiKawanua.com – Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Indonesia diperkirakan memiliki 1.340 suku bangsa dengan 731 bahasa, (BPS 2010). Dalam masyarakat yang multi etnik, dinamika politik Indonesia senantiasa memiliki tegangan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang relatif homogen. Hal ini dapat di lihat pada kontestasi politik di Sulawesi Utara (Sulut). Sudah menjadi rahasia umum, dimana simbol-simbol etnisitas kerap di jadikan isu politik dalam sosialisasi dan komunikasi politik para calon yang bersaing.
Meskipun gambaran posisi etnis berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, namun yang pasti bahwa dinamika politik lokal merupakan ruang eksistensi kekuasaan sekaligus ajang kontestasi etnis tertentu yang mengandung semangat primordial. Barth (1988) menyebutkan, etnisitas merujuk pada kelompok etnik yang pada umumnya dikenal sebagai suatu populasi yang secara biologis mampuh berkembangbiak dan bertahan, mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membangun jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan menentukan ciri kelompoknya sendiri yang di terimah oleh kelompok lain dan dapat juga di bedakan dengan kelompok populasi yang lain.
Sementara, Etnik menurut Sjaf (2014), adalah produk sosial yang berisi konsep relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri (subjektivitas) dan asal usul sosial (objektivitas). Dengan demikian, identitas etnis dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasih dan ditegakkan dalam kondisi sosio historis yang spesifik.
Lebih lanjut, Schultz dan Lavenda (2001), berpendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnys merupakan sebuah konsep yang di konstruksi secara budaya. Identitas dan Etnisitas di ciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu. Etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim di sebut askripsi (ascription). Askripsi merupakan proses pendataan sekelompok orang-orang atau masyarakat tertentu dengan sembarangan atau apapun tandanya (sebagai ciri khas, pelabelan kelompok tertentu), umumnya berlangsung hingga berabad-abad lamanya.
Dari proses itu, terjadi interaksi orang dari aneka latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung atau terjadi justru ketika orang-orang benar-benar menyendiri, tetapi di perlakukan sebgai anggota atau wakil keleompok masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula.
KONTESTASI POLITIK dan DOMINASI ETNIS
Isu etnisitas selalu krusial ketika menjelang pemilihan umum kepala daerah di berbagai daerah, hal ini terjadi karena etnisitas merupakan salah satu modal sosial yang dapat di pergunakan untuk menjaring dan menklaim suara. Etnisitas dalam era demokrasi saat ini ibarat dua sisi pada satu kepingan mata uang, di satu sisi sebagai kekuatan penunjang politik dan di sisi lain sebagai sebuah sumber masalah. Etnisitas menjadi sumber masalah saat dalam sebuah kontestasi politik di gunakan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik dan digunakan oleh penguasah untuk melanggengkan kekuasaan. Menjelang Pemilukada di beberapa Kabupaten dan Kota di Sulut yang rencananya dilaksanakan secara serentak pada bulan Desember tahun ini, dan beragamnya etnis di daerah nyiur melambai ini tidak menutup kemungkinan isu etnisitas akan mencuat ke permukaan.
Mobilisasi pemilih dilakukan secara masif dilakukan dengan mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan etnisitas, baik kesamaan etnis berbasis suku, agama dan tak pelak lagi sebutan-sebutan penduduk asli dan pendatang akan ikut mencuat. Dalam studinya tentang dinamika politik lokal, Sjaf (2014) menyebutkan bahwa, pembentukan politik identitas di pengaruhi oleh tiga faktor, yakni: kepentingan ekonomi, kepentingan kekuasaan dan kepentingan kultural. Seperti di jelaskan oleh Marzuki (2010) dalam tatanan rezim politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja di coba untuk dieliminasi dari panggung arena politik.
Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu terus bermain dalam politik identitas di atas panggung kekuasaan secara laten. Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru nampak terus mengalami penguatan dan mendapatkan ruang ekspresi yang semakin luas. Bahkan, identitas seringkali menjadi dasart legitimasi sejarah sosial politik struktur politik pada level lokal atau daerah.
Dalam konteks itu, kesadaran etnisitas mutlak di perlukan dalam era globalisasi seperti sekarang ini, sebagai penangkal pengaruh dunia barat yang begitu menghegemoni dan mendominasi negara-negara dunia ketiga. Selain itu, kesadaran etnis juga menjadi sangat berarti dalam era otonomi daerah saat ini. Seharusnya, desentralisasi kekuasaan melalui mekanisme otonomi daerah dapat menjadi kesempatan bagi siapapun dan apapun etnis dan suku bangsa, untuk dapat berdiri sejajar, sama rata dan sama rasa. Dengan peningkatan kesadaran dan kebangkitan etnisitas, diharapkan menjadi modal sosial dan instrument dan pendewasaan berdemokrasi di tingkat lokal sebagai representasi demokrasi pada level selanjutnya.
Dengan demikian, konstruksi etnisitas harus dimaknai sebagai penjewantahan Bhineka Tunggal Ika secara lebih mendalam “Kesadaran etnis, dengan semangat nasionalisme Bhineka Tunggal Ika, bukan ”Kebangkitan etnis” dengan semangat primordialisme.
Salam Hangat Penulis