Ilustrasi Pemilihan. (Dok : Ist)
Sulut, detiKawanua.com – Pemilih di Sulut adalah pemilih rasional, karena orang di Sulut dari segi literasi/pendidikan atau pengetahuan di atas rata-rata.
Begitu pun juga tidak primordial/kedaerahan, dan itu sudah terbukti pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Dimana, orang Sulut tahu akan memilih pemimpin yang rasional dengan mengutamakan kemajuan dan perkembangan NKRI.
Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, Provinsi Sulut dalam pelaksanaan pesta demokrasi Pemilihan Umum dan Kepala Daerah (Pemilukada) terbilang pemilih yang cerdas dari segi literasi yang tinggi.
Dengan adanya tingkat pengalaman tersebut, membuktikan bahwa masyarakat Sulut tidak mengadopsi pemikiran primodialisme (pandangan terhadap ras, agama, suku, hingga jenis kelamin) Tingkat pengalaman membuktikan pemikiran primodialisme tidak laku, yang ada rasionalismelah yang laku. Contoh, warga Tionghoa bisa terpilih dan tanpa pandang bulu.
Karakter pemilih rasional adalah pemilih yang memiliki keyakinan. Jika calonnya terpilih maka kepentingan pemilih akan diakomodasi jika calon yang dipilihnya itu berkuasa.
Misalnya komunitas wartawan pasti akan memilih caleg yang menjanjikan gaji yang tinggi bagi semua wartawan.
Jadi motif seseorang memilih bukan karena imbalan uang atau bukan karena kesamaan keyakinan, tetapi oleh karena suatu kepentingan yang sama antara pemilih dengan calon.
Misalnya pertama, memilih sesuai imbalan. Memilih sesuai kesamaan keyakinan dan memilih karena kepentingan tertentu.
Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulawesi Utara, Ferry Daud Liando menilai, pemilih kritis atau pemilih rasional adalah pemilih yang dipengaruhi oleh tawaran visi dan misi.
“Mana visi yang paling rasional, paling implementatif dan masuk akal untuk memenuhi kebutuhan dari seorang pemilih atau kelompok tertentu maka calon yang empunya visi itu pasti akan dipilih,” tuturnya, Senin (12/2/24).
“Jadi dasar bagi seseorang dalam memilih adalah keyakinannya bahwa jika capres yang dipilihnya akan terpilih jadi presiden maka kebutuhan individu atau kelompok yang memilihnya akan terpenuhi,” sambung Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat itu.
Walau demikian, lanjut Liando, populasi dari jenis pemilih ini sangat sedikit di Indonesia. Sebagian besar hanya oleh kalangan intelektual atau aktivis.
Perilaku pemilih di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh pemilih-pemilih pragmatis, sosiologis, apatis dan psikologis.
“Pemilih pragmatis akan ditentukan oleh imbalan yang ia terima. Tanpa imbalan maka ia tidak akan memilih,” ujarnya.
Lebih jauh Liando mengatakan, pemilih sosiologis tidak melihat kapasitas calon tapi melihat pada kesamaan agama, kesamaan etnik atau kesamaan daerah.
Sebab dasar bagi seseorang dalam memilih adalah karena hubungan sosiologis itu.
Lagi pula, pemilih apatis adalah pemilih yang trauma dengan kondisi politik di masa lampau. Ia tidak pernah yakin bahwa siapapun calon yang akan terpilih akan mampu mengubah nasibnya atau nasib bangsanya.
Sehingga dari sifat apatismenya itu menyebabkan ia tidak akan memilih siapapun.
“Pemilih psikologis adalah pemilih yang cenderung melihat pada kondisi fisik calon. Kapasitas bukan soal, yang penting ganteng dan berwibawa. Jenis pemilih ini besar didominasi oleh pemilih ibu-ibu dan gadis-gadis muda,” pungkasnya.
Sementara wartawan senior di Sulut Irfan Sembeng menambahkan bahwa lolosnya Wacapres Gibran Rakabuming Raka adalah pelanggaran konstitusi.
“Ini menabrak konstitusi NKRI,” pungkas Sembeng. (*)