Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

Mudik dan Konflik Antar Kampung

×

Mudik dan Konflik Antar Kampung

Sebarkan artikel ini
Oleh: Ardiman Kelihu.

detiKawanua.com Mudik selalu menjadi aktifitas rutin menjelang perayaan hari-hari besar. Banyak masyarakat yang telah lama tinggal di kota karena kerja, merantau, atau bersekolah, mulai berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Kebiasaan mudik tentu berbeda dengan seseorang yang pulang karena liburan biasa, hajatan keluarga, atau untuk menjenguk sanak keluarga yang sedang jatuh sakit. Mudik identik dengan kerinduan seseorang untuk berkumpul bersama keluarga setelah lama berpisah karena merantau di daerah perkotaan. Emha Ainun Nadjib (2002) mengartikan mudik sebagai tuntutan sukma seseorang untuk berakrab-akraban dengan asal-usulnya. Asal-usulnya dalam hal ini kampung halamannya, sanak keluarganya, kulturnya, ataupula secara luas dengan Tuhannya. Sehinggar, meskipun jauh kampung halaman seseorang, jalanan yang padat, panjangnya antrean tiket, maupun bisingnya bunyi kendaraan, sederet hal itu tak jadi soal bagi pemudik. Ia bahkan rela berdesak-desakan dengan manusia lainnya agar bisa mudik.
Mudik yang identik dengan suasana keakraban tersebut, ternyata tak selamanya berjalan demikian. Ia justru, kerapkali berubah menjadi media mengekspor gaya hidup, status sosial, dan citra semu tatkala seseorang kembali ke kampung halamannya. Mulai dari model pakaian, status ekonomi, jenis kendaraan, gaya bahasa, dan berbagai model pergaulan diperkenalkan, bahkan dipaksakan untuk diterima oleh masyarakat kampung. Masyarakat kampung yang tak biasa dengan hal itu, pun seakan terhipnotis, lalu tanpa filter menganggap semuanya itu sebagai kemajuan. Berbagai narasi tentang kondisi perkotaan pun tak luput diceritakan dengan gegap gempita, tatkala berkumpul dengan suadara-saudaranya di kampung halaman. Alhasil mudik yang seharusnya mengakrabkan, berubah menjadi panggung “pamer” dan cari sensasi para perantau. Semua orang saling bersaing untuk memperkenalkan diri, gaya hidup, dan kebolehannya kepada khalayak kampung untuk dipuji sebanyak-banyaknya.
Sisi lain mudik tersebut tentu sangatlah miris, bila disandingkan dengan makna daripada mudik sendiri. Sebab sikap yang demikian cenderung memupuk kesombongan dibanding menebar kemanfaatan, mengejar nama ketimbang makna didalamnya, melebarkan jurang keakraban ketimbang memupuk persaudaraan. Tak jarang kerinduannya untuk berkumpul bersama keluarga tersebut secara tidak langsung semakin menguatkan ikatan primordialnya dengan sanak saudaranya. Ikatan-ikatan kultural tersebut serta merta menjadi terkuatkan karena alasan-alasan primordial. Namun di lain sisi, sebuah fenomena belakangan ini yang tak luput dari pandangan kita yakni konflik antar kampung yang kerap terjadi dalam suasana mudik. Lebih tepatnya saat para pemudik tersebut tengah berada di kampung halamannya masing-masing.
Kerap konflik itu pun merembet dari mereka-mereka yang misalnya tengah bermudik atau berlibur di kampung halamannya. Bahkan ketika konflik mulai terjadi dan menjalar dari konflik individu ke konflik antar kampung, para pemudik juga malah sering cepat terbakar emosinya untuk berkonflik. Seakan-akan tatkala si pemudik berkonflik dengan mengatasnamakan kampungnya, dia dianggap lebih ideologis dalam membela dan mempertahankan akar-akar kebudayaan, tradisi, atau ikatan primordial di kampung halamannya. Semacam dirinya ingin menunjukan kelebihan diri serta superioritas kampung halamannya terhadap kampung yang lain. Sebuah kondisi sosio-kultural yang dikotomik karena menghadap-hadapkan dua entitas kebudayaan sebagai tolak ukur superioritas. Kemunculan kondisi ini tentu bukan tanpa pendorong. Ia  bisa hadir karena dorongan kultural akibat seseorang mulai merasa kehilangan akar-akar kebudayaannya.
Seringkali kerinduan primordial tatkala seseorang berada di perkotaan dan jauh dari kampung halamannya
akan lebih kuat, ketimbang seseorang yang tengah berada di kampung halamannya. Prof. Yasraf Amir Piliang, dalam Islam dan Hegemoni Sosial, menuturukannya sebagai pengambilalihan realitas primordial yang sempat hilang. Sebuah fenomena di mana seseorang terpaksa menarik realitas primordialnya di masa lalu ke masa sekarang, disebabkan dirinya tengah berada jauh dari akar-akar primordialnya, baik secara geografis maupun secara sosiologis. Tatkala jauh dari akar-akar primordialnya tersebut, nilai-nilai kultural itu perlahan-lahan hilang, bahkan sulit untuk ditemukan. Kondisi yang demikian mengharuskannya untuk kembali menggali akar-akar kebudayaannya yang ternyata telah terkikis bahkan hilang termakan zaman. Namun tatkala ditelisik, ia pun sulit menemukan akar-akar primordial (kebudayaan) tersebut.
Dengan demikian, mengharuskannya untuk berpegang kepada apa saja yang dianggapnya sebagai entitas primordial kampung halamannya, sebagai bukti bahwa dirinyalah yang paling ideologis terhadap nilai-nilai primordial kampung halamannya. Di samping juga sebagai modal, bahwa kampungnyalah yang paling superior terhadap kampung yang lain.
Dorongan kultural seperti ini kemudian semakin mencuat ketika menyatu dan bercampur dengan dorongan untuk memamerkan diri, gaya hidup, dan status sosialnya ke masyarakat tatkala mudik ke kampung halaman. Keduanya saling mengisi dan seperti memberi “bara” bagi berlangsungnya konflik antar kampung. Di satu sisi dirinya ingin menunjukan kepada kampung halaman lain bahwa kampungnya superior atas kampung halaman lain, di sisi yang lain ia juga ingin dipuji sebagai seseorang yang sangat fanatik dan cinta terhadap kampung halamannya meskipun telah bertahun-tahun merantau. Bagaimanapun secara moril ia merasa ingin bertaruh harga diri, saat berkonflik dengan orang lain lalu dan kampung halamannya dibawa-bawa. Maka tujuan mudiknya sebenarnya hanya ingin memamerkan diri, gaya hidup, dan menunjukan kebolehan atas dasar primordial kepada kampung halamannya. Maka kecintaannya kepada kampung halamannya, pun sekejap berubah jadi sebentuk fanatisme primordial yang bablas.
Secara kultural, tentu hal itu akan merekatkan ikatan internal kampung halamannya. Namun sebenarnya ikatan internal tersebut hanya dilandasi oleh emosi dan fanatisme sempit yang demikian, hanya akan membatasi interaksi sosial yang luwes, terbuka, dan harmonis dengan semua orang. Sebab interaksi tersebut masih hanya didasarkan pada emosi solidaritas sempit, dan sikap untuk memamerkan diri, status sosial, dan gaya hidup ala perkotaan di kampung halamannya. Masyarakat kampung adalah sebuah tipe masyarakat yang dengan kepolosannya dapat tercemari oleh apa saja, apalagi berbagai model yang kononnya dibawa dari daerah perkotaan. Seharunsya yang dibawa ke kampung halaman adalah perbaikan kondisi soslogis, kultural maupun ekonomis, bukan sebaliknya mengutak-atik kehidupan yang rukun antar sesama warga. Masih lebih beruntung mereka yang setelah mudik akan kembali ke perkotaan, sedangkan masyarakat di kampunglah yang akan menanggung beban sosial atas konflik tersebut. (#)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *