detiKawanua.com – Sore tadi saya sempat melalui arah jalan dari Terminal Mardika Kota Ambon menuju Kelurahan Tantui , dan lewat persis di depan salah satu Tempat Pemakaman Umum (TPU), namanya Taman Makam Australia. Saat itu banyak pengunjung yang datang kesana, namun kali ini bukan ziarah yang dilakukan melainkan selfie dan berfoto ria di taman makam tersebut. Pikiran saya langsung menyentuh pada sepenggal tema Philosophy World Day 2016 lalu, yakni “Aku Eksis Maka Aku Ada“. Taman makam pun serentak berubah dari tempat yang kental akan nuansa kedukaan, menjadi pentas hiburan untuk memuaskan hasrat ber-selfie.
Dari pemandangan itu, dapat disimpulkan bahwa segala lini kehidupan manusia dewasa ini, hampir sepenuhnya tak lepas dari tradisi berburu citra dan simbol. Lokasi pemakaman yang kental dengan suasana kebathinan, spiritual, atau kedukaan, bahkan tak lepas dari sentuhan dan perkembangan gaya hidup manusia modern. Fungsinya bisa berbalik 180 derajat, dari duka menjadi suka. Secara sekilas fenomena ini dapat dilihat sebagai bagian dari keinginan untuk eksis di ruang publik. Utamanya pada ruang-ruang cyber, di mana style dan profile picture-nya bisa leluasa bertebaran dengan berbagai citranya untuk memperoleh pujian.
Pada titik ini, mungkin sementara kita harus menambahkan satu tesis yang berbeda dari pandangan umum, bahwa hasrat mendasar manusia bukanlah kehendak untuk berkuasa semata. Di era cyber, dengan bantuan berbagai erkakas teknologis, maka hasrat manusia modern sesungguhnya adalah hasrat untuk eksis.
Perkembangan digital mungkin telah banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan dunia kita, namun sebaliknya ia turut mengambil alih ruang waktu sosial dan menggantinya dengan ruang waktu media. Bahkan di situasi dewasa ini, implikasinya turut membuka ruang bagi siapa saja untuk eksis mempromosikan gaya hidup serta status sosialnya. Di sinilah segala yang nyata dan maya lalu menemukan keterpaduan sekaligus keterputusannya dalam bentuk citra, simbol, ataupula tanda.
Saat makan dirinya selfie, ke mall sefie, beli aksesoris ia pun
selfie. Hampir sebagian besar kehidupan sosialnya tak lepas dari
sentuhan selfie, meski sebenarnya kondisi kesehariannya berbanding
terbalik dengan yang ditampilkan dalam foto selfienya.
Apa-apa yang ada di dunia nyata (sosial) diekspose dan menemukan citranya di dunia maya sebaliknya, seringkali segala yang ada di dunia maya harus terputus dari apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata (sosial). Sampai di situ, maka sejatinya yang diburu para penikmat cyber pada era ini adalah tanda dan citranya di media sosial. Sebuah tradisi berburu citra yang dekat pada adagium “aku selfie maka aku ada“. Ia hanya mengejar eksis-gaya dan status sosialnya dengan mengumbar dirinya. Meski sebaliknya, antara apa yang ia alami dengan yang ditampilkannya di media sosial terkadang sangat berbeda. Prof. Yasraf Amir Piliang (2010) menyebutkan situasi digital ini sebagai hyperrealitas atau post realitas, yakni sebuah realitas yang telah melampui kondisi normalnya sendiri.
Tak jarang, hanya karena keinginannya untuk eksis, berbagai kondisi sosialnya pun bisa dimanipulasi sedemikian rupa. Saat makan dirinya selfie, ke mall sefie, beli aksesoris ia pun selfie. Hampir sebagian besar kehidupan sosialnya tak lepas dari sentuhan selfie, meski sebenarnya kondisi kesehariannya berbanding terbalik dengan yang ditampilkan dalam foto selfienya. Semuanya disentuh citra dan kamera atas dorongan dan keinginannya untuk eksis Bahkan untuk ritual ritual sprituil, saat melakukan ibadah, sedekah, sakit, atau menolong orang lain, semuanya tak lepas dari sorot camera. Segalanya dikemas untuk memperoleh citranya di ruang cyber. Entah berujung pada keinginan memperoleh likers yang banyak, komentar yang segudang, followers yang jutaan, namun hampir semuanya didorong oleh keinginan “aku selfie maka aku ada“.
Masyarakat modern mungkin akan merasa hidup dan memiliki segalanya, karena begitu dekat dengan teknologi. Segalanya bisa dikemas mengikuti kemauannya, utamanya untuk mengeksplore gaya hidup, status sosial, dan ekspresinya.
Perkembangan tekonologi dalam spirit yang demikian lalu secara serentak membawa kita untuk memburu simbol dan citra yang berkeliaran, namun lupa akan makna segala sesuatunya. Segalanya pun dilihat dan diukur kepuasannya menurut selera dan gaya hidupnya yang penuh dengan hasrat untuk eksis.
Dalam permainan bebas tanda dan simbol yang demikian hebat, yang didukung oleh hasrat untuk eksis yang demikian tinggi, maka wajar jika orang akan berlomba-lomba untuk mengejar citra hanya karena dorongan simbolik. Dirinya merasa memiliki segalanya, karena hidup berdasarkan penilaian orang lain atas dirinya, utamanya dalam mengeksplore citra tentang dirinya.
Pada situasi ini, makna atas realitas pun akan semakin terkikis, sedangkan simbol dan citra semakin terjual dengan laris. Kita pun terjatuh pada sebuah situasi di mana orang berbondong-bondong mengerjakan segala sesuatu hanya untuk memburu citra dan pujian bukan menggarap keinginan bijaknya agar memperoleh makna atas kehidupan. Padahal jauh dibalik simbol-simbol itu, masih terpendam berbagai makna dan kebijaksanaan yang dalam.
Implikasi lain dari kondisi ini, apabila seseorang kerap memburu citra dan tanda, maka dirinya akan lebih peduli pada interaksi dunia maya dibanding melakukan interaksi sosial di dunia nyata. Ia mungkin akan menangisi artis Hollywood yang tinggal jauh di ujung bumi yang bahkan tak mengenalnya, dibanding memperdulikan tetangganya yang sedang jatuh sakit. Ia akan memilih ber-selfie dengan orang yang belum dikenali secara baik, lalu menuliskan berbagai caption seakan lebih kenal, ketimbang peduli pada sanak keluarga yang setiap hari bersamanya. Seluruh makna-makna sosial secara nyata menjadi mati (the death of social) dan berhamburan dalam wilayah perebutan tanda dan citra. Tentu ini adalah side effect dari menguatnya dorongan untuk menjadikan “aku eksis maka aku ada”.
Victor Frankl, seorang psikoanalis berkebangsaan Austria, pernah menulis bahwa hasrat paling mendasar manusia adalah kehendak untuk memperoleh makna hidupnya. Baik melalui, karya, refleksi untuk mengenali diri (self discovery), tanggung jawab, penentuan pilihannya, perasaan menjadi istimewa dan tak tergantikan, maupun diperoleh melalui jalan transendensi. Secara umum makna hidup menurut Frankl (1984), adalah kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas. Artinya dalam proses untuk menemukan makna seseorang mampu menjadikan realitas sebagai sarana untuk memperoleh makna kehidupan, termasuk di dalamnya kekuasaan, kenikmatan, maupun simbol-simbol dari realitas tersebut.
Dalam situasi apapun, entah bahagia, sedih, menderita, gembira ataupula terhibur, berbagai makna tentu dapat diteguk. Seeorang kemudian dapat berrefleksi tentang siapakah dirinya, who I am?, yang membuatnya semakin mengenali kebermaknaan hidupnya. Ini tidak membuatnya untuk hanya berhenti pada jebakan-jebakan citra, kenikmatan hidup, dan simbol semata.
Kita memang tak harus terpaku untuk eksis melalui tradisi selfie, foto, dan berbagai model narsisme digital lainnya, sehingga segalanya membuat kita terjebak pada kenikmatan gaya hidup, bahkan status sosial (baca : kekuasaan) yang pada akhirnya harus kehilangan makna substansinya. Yang kedua jangan sampai kita berbondong-bondong untuk eksis dan memburu citra, hingga rela memanipulasi situasi sosial sebenarnya. Teknologi digital sebenarnya memiliki manfaat untuk membenahi kualitas hidup manusia dalam dibanding diarahkan fungsinya untuk hanya mengulit pada simbol dan citra yang amat dangkal. (#)
Penulis adalah Alumni INGAGE Ambon.