Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

FILIPINA vs INDONESIA

×

FILIPINA vs INDONESIA

Sebarkan artikel ini
FILIPINA vs INDONESIA
Ajang Pencarian Kerja: Potret Dampak Masyarakat Ekonomi Asean
oleh: Rifaldi Rahalus 
Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Manado

detiKawanua.comTeranyar sebuah kabar “mengerikan”. Apa pasal? Lagi-lagi ini berkaitan dengan “ancaman” bagi pekerja Indonesia menyusul diterapkannya era bebas fersi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Dalam waktu dekat ini Indonesia akan dibanjiri tenaga kerja asal Filipina berlisensi internasional. Pada era ini, di dunia kerja khususnya, etos kerja tanpa kompromi harus melekat dalam diri seorang pekerja, apapun profesinya selama masih berkaitan dengan sistem manajemen atau garis komando dan garis koordinasi dalam suatu lembaga atau perusahaan. Lebih komplit lagi seorang pekerja harus memiliki prasyarat sebagai berikut: kualifikasi, kompetensi, integritas dan loyalitas serta sikap moralitas. Intinya pekerja sekarang harus memiliki lisensi sebagai tolak ukur sebelum ia terjun ke duania kerja, meskipun saat ini justru berkembang biak ada ribuan pekerja utamanya pejabat birokrasi pemerintahan yang hanya sekedar berlisensi namun secara esensi tidak seimbang. Ini fakta yang bisa kita jumpai di berbagai lembaga pemerintah maupun nonpemerintah. Tidak ada salahnya jika strata pendidikan menjadi syarat utama untuk posisi jabatan strategis asalkan benar-benar selektif mengenai kemurnian lisensi tadi hingga berimplikasi pada hasil  kerja yang memuaskan.

Jika tidak demikian, dikhawatirkan  program pemerintah dalam upayah mengurangi dan bukan memberantas kemiskinan seutuhnya di negeri berjulukan “Mutiara di Khatulistiwa” ini justru bertolak belakang. Agenda besar pemerintah dalam upaya penyelamatan ummat dari penjara kemiskinan dan menyediahkan lapangan kerja yang layak, diakui sudah cukup lama berlangsung pasca krisis moneter 1998. Alhasil, yang terjadi hanyalah perubahan kebijakan seiring pergantian kekuasaan, agenda reformasi birokrasi pun gagal total, korupsi merajalela, penyalahgunaan wewenang ikut tumbuh subur. Lebih parah lagi, pemerintah sangat alergi dengan kritikan publik. Cita-cita mulia yang konon katanya menjadi perhatian serius pemerintah, yakni menghapus kemiskinan dari bumi yang berdaulat adil dan makmur ini, ternyata hanya menjadi slogan tanpa makna. Fenomena ini kerap hadir sebagai tanda tanya besar yang semakin mengerikan, belum lagi hutang Negara yang jumlahnya bertrilyunan tak kunjung lunas, malahan bertambah. Sampai sekarang ini belum ada solusi mutakhir dari pemerintah di tengah ganasnya persaingan multidimensi di era modern yang serba kapitalistik ini.

Pemerintah justru lebih gemar melemparkan wacana yang kelak hanya menjadi slogan belaka. Padahal, problematika kebangsaan yang berkepanjangan hingga kini, oleh masyarakat, mereka hanya membutuhkan sebuah kemurnian dan kejujuran pemerintah untuk kiranya mengakui ketidaksanggupan dalam menangani semua perkara ini. Simple.

Mungkin pemerintah beranggapan bahwa untuk mengukur kesejahteraan rakyat, cukup dengan melahirkan wacana baru, makin banyak wacana digagas akan semakin menunjang kesejahteraan rakyat, tentu melalui janji, dan janji melulu. Sesungguhnya langkah tersebut adalah pembodohan masal oleh pemerintah, meskipun  masyarakat indonesia tidak sebodoh itu, bahwa tabiat tersebut bukan rahasia umum jika bukan sekedar mengalihkan perhatian  masyarakat kala pemerintah di derah mengalami kebuntuan.

Sesungguhnya untuk mengukur kesejahteraan masyarakat, paling tidak pemerintah harusnya fokus menyediakan lapangan kerja yang memadai sehingga Negara yang besar dan lengkap sumberdaya alam ini, masyarakatnya tidak harus mengadu nasib di Negara lain, menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita). Yang sangat memalukan adalah Negara-negara kecil tetangga seperti Malaisya yang justeru SDA-nya terbilang tidak memadai justru menjadikan Indonesia sebagai budak yang menggantungkan hidup meskipun terkadang berisiko pada kematian. Fenomena ini dipastikan terbalik di saat pemerintah Indonesia melegalkan rakyatnya  menjadi TKW dan TKI sebagai dampak dari minimnya lapangan kerja. Pada saat yang sama era bebas (MEA) justeru membuka peluang bagi pekerja yang berlisensi internasional asal Filipina untuk bekerja di Indonesia. Sangat tidak logis.

SULUT Menjadi Target Utama Pekerja Berlisensi Internasional

Masyarakat jangan kaget jika sebentar lagi banyak sopir berlisensi internasional yang berasal dari Filipina mulai beroperasi di Manado khususnya dan Sulawesi Utara (Sulut) pada umumnya. Jangan pula kaget karena mereka fasih berbahasa Indonesia. Menurut pengakuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy, sedikitnya 12.000 sopir berlisensi internasional asal Filipina terdiri dari 40 persen pekerja wanita itu akan segera masuk ke Indonesia. Dari jumlah itu, tidak bisa dipungkiri sebagian besar akan masuk ke Sulut, mengingat, secara geografis daerah ini lebih berdekatan dengan Filpina. Tujuan kedatangan pekerja berlisensi internasional asal Filipina tersebut, saat ini juga mereka tengah gencar-gencarnya mempelajari Bahasa Indonesia di salah satu Perguruan Tinggi Filipina. Bahkan Filipina termasuk Negara yang paling siap berbahasa Indonesia
.
Terkait hal itu, pemerintah Indonesia berencana akan menerapkan pola pendidikan yang mampuh menunjang penguasan keahlian para peserta didik (pendidikan vokasi). Alasannya, ketika pendidikan vokasi itu diterapkan maka dengan sendirinya  akan terciptanya tenaga kerja yang terampil. Dengan demikian, kita tidak lagi harus takut untuk bersaing di dunia kerja. Alasan tersebut bisa dibenarkan, tetapi pada kesempatan yang sama masyarakat bisa menilai sejauh mana upaya dan keseriusan pemerintah untuk menciptakan tenaga kerja yang kompetibel dan profesional untuk anak usia didik? Mengingat, fenomena era bebas ini sudah sejak dua tahun lalu menjadi buah bibir masyarakat, namun saat ini pemerintah baru menyadari dan baru mulai berencana membentuk pendidikan demikian setelah adanya rencana ribuan pekerja Filipina masuk ke Indonesia yang secara tidak langsung akan menyingkirkan pekerja pribumi sendiri. Tentu saja catatan pengangguran di Badan Pusat Statistik (BPS) akan segera mengalami perubahan karena secara spontan pengangguran di Indonesia ikut bertambah. Jumlah pengangguran Indonesia pada Mei 2016 lalu, tercatat sebanyak 7,02 orang, angka ini baru termasuk yang sudah terdata. Angka ini pun diprediksi bakalan meningkat dua kali lipat menyusul masuknya pekerja asal Filipina yang syarat lisensi internasional itu. Kendati angka pengangguran begitu banyak, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi menolak tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.

Pengangguran di SULUT

Sedikitnya, angka pengangguran di Sulut per tahun 2016 ini mencapai 7,8 persen. Adapun realisasi angka itu sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya (BPS Sulut). Meski demikian, pemerintah harus tetap waspada. Biasanya, pejabat pemerintah hanya memberikan imbauan meskipun yang dibutuhkan masyarakat bukanlah imbauan semata melainkan solusi. Apalagi masyarakat Sulut kerap akan diperhadapkan dengan menjamurnya pekerja asing asal Filipina, khususnya mereka para sopir yang tidak memiliki lisensi. Maka kesimpulan terakhir, Sulut pun bakalan ketambahan pengangguran karena para sopir lokal justru harus kalah bersaing dengan sopir berlisensi internasional asal Filipina itu. Pemerintah daerah mau tidak mau harus siap menerima reaksi publik berupa cercahan sebagai akibat dari persaingan di lintas pekerja sopir yang menggeserkan pekerja/sopir lokal.  Maka segeralah pemerintah daearah menyikapi hal ini, paling tidak ada semacam pernyataan dari pemda sebagai respon atas rencana datangnya ribuan sopir asal berlisensi asal negeri berjulukan state rice itu.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *