Sulut – Aliansi Masyarakat Adat, Sipil, Mahasiswa Sulut (AMARAH SULUT) melakukan aksi unjuk rasa dikantor DPRD Sulut, Jumat (11/10).
Aliansi ini didalamnya tergabung elemen masyarakat adat, organisasi mahasiswa, nelayan, petani dan organisasi masyarakat sipil.
Koordinator aksi Kharisma Kurama mengatakan, unjuk rasa ini diikuti ratusan orang secara tertib dan kreatif. Selain itu, Tonaas Supit Karundeng juga memimpin ritual adat sebagai salah satu prosesi penting dalam unjuk rasa ini. Ritual adat ini bertujuan untuk meminta pertolongan kepada Sang Khalik dengan ragam pertunjukan ritual adat.
“Pada Pukul 13:15 WITA, massa aksi sampai di Gedung Cengkih dan langsung melakukan orasi secara bergantian. Setelah melakukan orasi, terjadi negosiasi antara massa aksi dan Anggota DPRD Sulut yang menerima massa aksi yakni Prycilia Rondo dan Feramitha Mokodompit dari Fraksi PDIP Perjuangan untuk berdiskusi didalam ruang rapat,” kata Kurama yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulut.
Dia menuturkan, awalnya massa aksi tidak diberikan kesempatan untuk masuk, sehingga terjadi dorong-mendorong antara massa aksi dengan pihak kepolisian, sampai pada akhirnya negosiasi berhasil tercapai dan massa diberikan akses untuk masuk dalam ruangan rapat.
“Dalam ruangan rapat masing-masing elemen diantaranya masyarakat adat, petani, nelayan dan mahasiswa menyampaikan aspirasinya secara satu per satu dan semua aspirasi pun diterima, disetujui bahkan berjanji untuk ditindaklanjuti pada Forum Musyawarah DPRD Sulut oleh Prycilia Rondo dan Feramitha Mokodompit selaku anggota DPRD Sulut, dengan bukti tertulis penandatanganan secara resmi 9 tuntutan lokal dan 9 tuntutan nasional Aliansi Masyarakat Adat, Sipil, Mahasiswa Sulut,” tuturnya.
Lebih lanjut, aksi ini dimaksudkan untuk menyuarakan aspirasi terkait kekecewaan terhadap 10 Tahun pemerintahan Joko Widodo dan pemerintahan daerah Sulut yang
abai akan pemenuhan pemenuhan hak asasi warga negara dan khususnya hak masyarakat adat. Penolakan pemerintah terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat serta sebagian besar kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis, kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki.
“Aksi ini juga didasarkan pada penderitaan masyarakat sebagai korban kebijakan selama pemerintahan Joko Widodo yang telah memicu krisis multidimensi, mulai dari krisis politik, sosial, ekologi, agraria hingga krisis hukum. Demikian pula, yang terjadi pada skala lokal Sulut praktik perampasan lahan, pengabaikan terhadap hak masyarakat adat, petani, nelayan masih terus terjadi termasuk didalamnya perusakan lingkungan hidup demi pembangunan yang tidak pro rakyat,” tandasnya.
Sementara itu, Anggota DPRD Sulut Prycilia Rondo mengatakan, aspirasi yang disampaikan telah diterima dan akan disampaikan kepada pimpinan yang ada di DPRD Sulut.
“Tuntutan dari aksi damai telah kami terima dan akan disampaikan kepada pimpinan yang ada di dewan sesuai dengan mekanisme yang ada,” kata wakil rakyat daerah pemilihan Mitra-Minsel.
Hal senada pun dikatakan, Anggota DPRD Sulut Feramitha Mokodompit. Menurutnya dari 45 Anggota DPRD sampai saat ini baru menetapkan pimpinan definitif dan juga baru menetapkan fraksi-fraksi tetapi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) belum ditetapkan.
“Artinya adalah dalam rangka teknis lainnya nanti kami akan bawah dimana tadi dari 18 point tidak hanya membicarakan tentang kekerasan seksual tapi ada juga membicarakan masalah masyarakat adat, pertambangan ilegal. Tdak semata-mata hanya kami berdua menyelesaikan dan juga ada upaya-upaya mendorong ketika kami mendiskusikan dengan teman-teman fraksi, AKD dan pimpinan, misalnya ada khusus kita turun ke lapangan untuk observasi akan ditindaklanjuti kalau sudah ada keputusan pasti,” sambung wakil rakyat daerah pemilihan Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Adapun 18 tuntutan kepada DPRD Sulut, antara lain:
Tuntutan Lokal:
1. Stop perampasan wilayah adat dan perusakan situs masyarakat adat;
2. Stop perampasan ruang hidup masyarakat Kalasey Dua dan Perkebunan Kelelondey;
3. Tolak Reklamasi di Teluk Manado dan hentikan kriminalisasi nelayan
Karangria;
4. DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulut membentuk Perda Masyarakat Adat;
5. Stop kriminalisasi terhadap produk dan petani Cap Tikus;
6. Tuntaskan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Sulawesi Utara;
7. Cabut izin usaha PT Futai Sulawesi Utara di kota Bitung;
8. Hentikan aktivitas PT Tambang Mas Sangihe (TMS);
9. Cabut Pergub Sulut nomor 20 tahun 2021 dan berantas pungli di sekolah sekolah.
Tuntutan Nasional:
1. Sahkan RUU Masyarakat Adat;
2. Sahkan RUU Perampasan Aset;
3. Sahkan RUU PPRT;
4. Stop Kriminalisasi Jurnalis dan Aktivis HAM, Lingkungan dan Masyarakat Adat;
5. Mencabut UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, UU KSDAHE, Pengesahan UU
KUHP, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 14 Tahun 2024;
6. Tuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini;
7. Menolak Revisi UU TNI & UU Polri;
8. Menolak Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR XI/1998;
9. Tolak Perpres PKUB dan diskriminasi penghayat kepercayaan terhadap TYM. (*)