(Refleksi Kritis atas Polarisasi Menjelang Muktamar ke-34 NU)
Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama mulai memasuki momen yang krusial. Hajatan akbar organisasi para ulama yang rencananya akan digelar di Lampung akhir Desember tahun ini kian memanas. Aroma rivalitas para kandidat dari masing-masing kubu calon yang diusung semakin nyata tercium. Terakhir, dua nama yang menguat dalam konstelasi suksesi kepemimpinan tersebut adalah Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Ketum Tanfiziyah) dan K.H. Yahya Cholil Staquf (Katib Syuriyah).
Kondisi menjadi runyam ketika muncul kebijakan pemerintah terkait PPKM yang akan diberlakukan bersamaan waktunya dengan perhelatan akbar itu. Maka, muktamar yang awalnya dijadwalkan berlangsung tanggal 23-25 Desember 2021, dengan terpaksa akan diundur untuk menghormati kebijakan pemerintah. Dari sini kemudian terjadi silang pendapat soal kepastian pelaksanaan muktamar.
Rais Aam dengan menggunakan kewenangannya sebagai pimpinan tertinggi PBNU bersikukuh agar jadwal dipercepat, yakni sebelum pemberlakuan PPKM. Sementara Ketum Tanfiziyah berpendapat agar muktamar ditetapkan saja pada Januari bertepatan dengan Harlah NU (31 Januari 2022). Perbedaan pandangan dalam menentukan kepastian jadwal pelaksanaan muktamar ini kemudian menjadi polemik yang berimplikasi pada rivalitas dua kandidat tersebut di atas. Sehingga, terjadilah polarisasi yang tajam sampai ke pengurus wilayah dan cabang seluruh Indonesia. Bahkan kondisi ini memunculkan nuansa yang kurang elok. Di mana terjadi silang pendapat yang tidak mencapai titik temu antara Rais Aam dan Ketum PBNU dalam penentuan jadwal final muktamar.
Dari hasil pengamatan kami, polarisasi dua kubu calon telah mengarah pula pada pembelahan secara geografis-regional. Santer terdengar bahwa kedua calon kuat itu diklaim telah merangkul sekian banyak pengurus wilayah dan cabang yang tersebar di wilayah Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Dapat dipastikan bahwa dengan hanya dua kandidat utama yang akan bertarung dalam arena muktamar, maka konstelasi pemilihan terasa kurang kompetitif dan nuansa polarisasi semakin menukik tajam. Hal ini tentu akan mengganggu suasana persaudaraan dan kekeluargaan tidak hanya pada level struktural namun juga hingga ke aras kultural. Maka potensi chaos (kekacauan) dikhawatirkan tidak akan terhindarkan.
Mencermati perkembangan terkini perihal polarisasi yang terjadi pada dua kubu kandidat menjelang muktamar, kami berpendapat, perlu adanya calon alternatif yang akan mengurangi panasnya “suhu politik dan gesekan tajam” di antara kedua kubu. Dari pada fokus kita tertanam hanya pada dua calon, kenapa tidak sebaiknya kita melihat calon lain sebagai penyeimbang yang mumpuni?. NU punya banyak sekali figur potensial yang bisa diusung sebagai calon alternatif Ketua Umum PBNU. Sebut saja satu di antaranya, Dr. H. Andi Jamaro Dulung, M.Si. Beliau adalah mantan Ketua PBNU (1999-2009). Inilah yang menjadi faktor utama betapa layaknya beliau diusung juga sebagai kandidat Ketum PBNU. Di samping sejumlah faktor lainnya. Misalnya, beliau pernah memegang sejumlah jabatan strategis di perguruan tinggi, dan komisaris beberapa perusahaan besar. Dua aspek sumberdaya yang beliau miliki ini menjadi relevan dengan beberapa upaya NU untuk memajukan program pendidikan dan penguatan ekonomi umat. Satu hal pula yang tidak bisa kita nafikan, bahwa beliau adalah kader NU tulen. Beliau pernah berkiprah di beberapa badan otonom NU seperti menjadi Ketua PMII Cabang Ujung Pandang (sekarang Makassar) tahun 1983-1985, Ketua Pengurus Pusat
Gerakan Pemuda Ansor (1995-1999).
Kiprah beliau dalam berorganisasi bahkan hingga ke mancanegara yang kalau diuraikan di sini akan panjang. Kemudian, beliau memiliki latar belakang pernah memimpin organisasi paguyuban kedaerahan yakni Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Yang tidak kalah menarik, beliau adalah Pimpinan Pondok Pesantren Sirathal Mustaqiem di Soppeng, Sulawesi Selatan. Maka semua aspek yang disebutkan di atas sangat menunjang beliau sebagai calon Ketua Umum PBNU. Maka, dengan niat yang murni, kami berharap Dr. H. Andi Jamaro Dulung, M.Si. dapat menjadi figur alternatif Ketua Umum PBNU periode berikutnya yang akan membuka babak baru kepemimpinan yang dinamis, sebagai kandidat yang diusung dari wilayah timur Indonesia.
Manado, 6 Desember 2021
SAHRIR ALBAR, S.I.P.
Ketua Umum Lembaga Pemberdayaan Keumatan “Khaira Ummah “ Sulawesi Utara.
Ketua Himpunan Pengusaha Nahdliyyin Provinsi Sulawesi Utara.
Ketua Lakpesdam PWNU Sulawesi Utara.
Gaung Baru Kepemimpinan PBNU : Andi Jamaro Dulung Suara Dari Poros Indonesia Timur
