Penulis : Hendra Makalalag
Was-was…. yaaa, itulah kalimat yang tepat menyikapi agenda Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak Tahun 2020 ditengah situasi pandemi covid-19. Musuh bersama yang tak terlihat tapi mematikan bahkan, meneror keselamatan jiwa setiap kita yang tidak patuh dengan protokol kesehatan sebagai standar pencegahan terhadap virus mematikan bernama CORONA.
Apakah Pilkada harus ditunda karena corona..?, tidak ! itu hanya sebatas wacana karena pemerintah tidak mau kalah dengan corona, kurang lebihnya demikian. Walau nurani kita setuju, bila Pilkada serentak ditunda.
Apa dan bagaimana suksesi kepemimpinan Sulawesi Utara (SULUT) ke depan, yang hangat dibicarakan saat ini diseantero bumi nyiur melambai. Bahwa masa bakti setiap Kepala Daerah dibatasi 5 Tahun masa tugasnya, dan setelahnya dipilih kembali paling tinggi 2 periode kepemimpinan berdasarkan, regulasi tentang otonomi daerah maupun kepemiluan.
Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dinegeri ini, kembali menentukan siapa nanti yang akan memimpin SULUT selama 5 Tahun mendatang. Rakyat diberi kesempatan mencari terbaik, diantara yang baik melalui saluran politik dan demokrasi yang diyakini mewakili aspirasi sesuai hati nurani. Pendidikan politik kepada rakyat bahwa, memilih pemimpin penting dilaksanakan guna keberlanjutan jalannya roda pemerintahan, perencanaan maupun pembangunam disegala bidang sebagai cita-cita mencapai masyarakat yang adil dan makmur sejahtera. Dengan melek politik kita bisa membedakan mana pemimpin kita yang lurus, benar-benar bekerja untuk bangsa dan loyal pada kita sebagai rakyat serta mana pemimpin abal-abal, penipu, dan hanya memperkaya diri sendiri dan keluarga, partai dan kroninya.
Dimensi politik keMongondowan sedang diuji eksistensinya menghadapi Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur. Satu (1) paket yang tak terpisahkan sebagaimana ditegaskan oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam proses Pemilukada.
Dimensi 3 pilar politik keMongondowan masihkah sebagai alat pemersatu di tanah Totabuan ?? entah. Masing-masing kita punya cara, dan pandangan politik yang berbeda, terbelah pula pada partai-partai politik yang ada, dilema yaa dilema bagi mereka yang hanya jadi pengikut saja.
Masih kuatkah 3 pilar dihati kita sebagai anak Totabuan ? jawaban ada di masing-masing kita. Bagaimana ‘Mototompiyaan’ (Bahasa Mongondow-red) yang oleh leluhur mewasiatkan dan mewariskan, kepada kita sebagai generasi penerus cita-cita besar mereka untuk tetap dan tetaplah berpegang pada hubungan silaturahim dalam ‘Bobahasa’a’ terjemahan saya terhadap Mototompiaan plus O’aheran dan Bobangkalan. Apakah ‘Mototabian’ sebagai pilar kedua masih dapat menggerakkan energi kekuatan kita untuk saling asah, asih dan asuh? Saling hormat serta saling “Baku-Baku Sayang” (Saling menyanyanyi). Dua pilar getarannya akan dahsyat, apabila dimaknai dalam dimensi persatuan dan kesatuan gerak langkah linier dengan para elite penguasa, serta tokoh masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR) bahu membahu, bersatu padu dalam Motobatu’ Molintak Kon Totabuan,
Siapa the kingmakernya ?.
‘Mototanoban’ sebagai pilar ketiga merupakan perwujudan sikap mental, antara pemimpin (penguasa) dan yang di pimpin (rakyat). Filosofi politiknya adalah, saya bisa duduk dikursi pemimpin karena rakyat, kalau tidak karena rakyat mungkin anda atau kita tidak menjadi apa-apa. Atau boleh jadi saya pengangguran. Filosofi politik inilah yang selalu, dan selalu LUPA atau pura-pura tidak tahu.
Pemimpin yang dekat dengan rakyat adalah, dia sering datang menemui rakyat dan berdialog langsung seraya menanyakan apa yang kalian rakyat inginkan. Pemimpin yang Egaliter di BMR dalam amatan saya, dia adalah Sehan Salim Lanjar (SSL). Hanya Eyang (panggilan akrab Sehan Salim Landjar) pemimpin rakyat yang mendatangi rumah-rumah penduduk dan menanyakan apa kesulitan kalian wahai rakyat??. Suka atau tidak suka, itu realita yang saya amati selama ini. Sehingga, Mototanoban_ antara pemimpin dan yang dipimpin terpelihara serta berkorelasi dengn perjanjian sakral antara Paloko dan Kinalang (Pemimpin dan Rakyat) dengan motto atau semboyan “Sintak In Akuoi Ba Bibitonku Iko”.
Semoga tiga pilar akan selalu menjadi energi pemersatu di Bumi Totabuan. (tak perlu menjadi profesor politik untuk memaknainya). Tabe’ takin salamat. (*)