Tanggal 10 November menjadi simbol keberanian dan semangat juang pemuda Indonesia yang tak tergoyahkan dalam mempertahankan kemerdekaan. Saat ultimatum Inggris menuntut penyerahan tanpa syarat, arek-arek Surabaya bersama para pemimpin dan rakyat dengan tegas menolak, meski harus menghadapi serangan dahsyat dari darat, laut, dan udara.
Pertempuran besar yang terjadi pada 10 November 1945 ini mengubah Surabaya menjadi medan “neraka” yang berkobar selama hampir tiga minggu, menelan ribuan korban jiwa dan menghancurkan kota. Namun, perjuangan mereka membuktikan bahwa semangat patriotisme tak akan pernah tunduk pada ancaman kekuatan asing.
Di tengah kobaran semangat juang itu, sosok Bung Tomo tampil sebagai pengobar semangat perlawanan melalui siaran Radio Pemberontakan, menyatukan jiwa pemuda dan rakyat Surabaya dalam satu tekad.
Peristiwa heroik ini akhirnya mengukuhkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, dan pengorbanan para pejuang dikenang setiap tahun pada Hari Pahlawan, 10 November.
Penetapan hari bersejarah ini melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 bukan hanya sebagai penghormatan, tetapi juga sebagai pengingat abadi akan keberanian, tekad, dan patriotisme pemuda Indonesia yang tak lekang oleh waktu.
Dalam setiap alur sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, mulai dari terbentuknya Budi Utomo, dideklarasikannya Sumpah Pemuda, peristiwa Rengasdengklok sebagai pemantik kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, hingga peristiwa patriotis 10 November 1945 di Surabaya, serta puncaknya pada runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, setiap peristiwa penting bangsa ini tak lepas dari peran aktif patriotik para pemuda sebagai garda depan dalam menggerakkan semangat juang masyarakat dalam mengawal setiap perjuangan dan perubahan yang terjadi di Indonesia.
Kini Indonesia telah memasuki era demokrasi pasca peristiwa reformasi 1998. Di era ini, pemuda secara kuantitas tetap mendominasi dalam tatanan masyarakat Indonesia. Setiap proses demokrasi pasca reformasi tetap diwarnai dengan keterlibatan para pemuda. Pertanyaannya, di manakah posisi eksistensi pemuda khususnya dalam kontestasi demokrasi lima tahunan yang menjadi titik awal perubahan kepemimpinan bangsa, mulai dari tingkat nasional hingga daerah? Akankah pemuda saat ini menjadi pejuang demokrasi, atau malah menjadi ‘sapi perah demokrasi’ dalam ajang perpolitikan lima tahunan?
Kita tahu bahwa Indonesia saat ini dihadapkan pada kondisi demografi yang unik, di mana populasi Gen X, Milenial, dan Gen Z (usia 17–45 tahun), yang notabene merupakan kategori pemuda, mencapai lebih dari 50% dari total populasi masyarakat Indonesia (BPS, 2024). Namun, pada kenyataannya, dominasi statistik ini tidak serta-merta membuat peran pemuda mendominasi setiap pengambilan keputusan dan kebijakan dalam negara ini.
Generasi muda bangsa, atau pemuda, sering kali digadang-gadang sebagai “masa depan bangsa.” Namun, pada kenyataannya, hal ini sering kali hanya menjadi wacana yang dimanfaatkan oleh para politikus dalam agenda perebutan kekuasaan. Akibatnya, pemuda lebih sering dijadikan “sapi perah demokrasi” oleh rezim yang ingin berkuasa, untuk meraih simpati dan mendulang suara pemuda dalam kontestasi pemilu atau pilkada.
Dengan janji-janji masa depan cerah yang menggoda, pemuda yang unggul secara kuantitas dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dalam setiap momen politik lima tahunan. Fenomena ini menunjukkan kecenderungan eksploitasi suara pemuda demi kepentingan praktis dalam pemilu, alih-alih memaksimalkan keterlibatan pemuda dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan dalam pemerintahan ke depannya.
Eksploitasi generasi muda oleh penguasa bukanlah fenomena baru. Michel Foucault (1926–1984), dalam teori “power-knowledge”-nya, menyatakan bahwa penguasa sering menggunakan kekuatan dan wacana untuk mengendalikan kelompok yang lebih lemah.
Dalam konteks ini, kelompok yang lebih lemah tak lain adalah generasi muda, terutama Gen Z dan Milenial, yang menjadi target utama para politisi karena jumlah mereka yang besar dan pengaruhnya dalam pemilu.
Situasi ekonomi yang sulit, kurangnya lapangan kerja, rendahnya kualitas pendidikan yang berbanding terbalik dengan tingginya biaya pendidikan, serta minimnya kesadaran politik membuat pemuda mudah diiming-imingi narasi-narasi manis seperti kepastian lapangan kerja, karier, pendidikan, dan lain sebagainya.
Politisi sering memanfaatkan narasi seperti “kami mewakili suara pemuda” untuk menarik dukungan, meskipun kebijakan yang diterapkan sering kali tidak menjawab kebutuhan nyata mereka. Janji pemerintah tentang pendidikan murah, pelatihan keterampilan, akses kesehatan, dan lapangan pekerjaan yang memadai hanya muncul saat kampanye dan sering terlupakan setelah kekuasaan diraih.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara perkataan rezim dan realitas yang dihadapi oleh generasi muda. Pemuda dijanjikan masa depan yang cerah, tetapi di sisi lain mereka dihadapkan pada kenyataan yang penuh tantangan.
Mahalnya biaya pendidikan membuat banyak pemuda terpaksa harus bekerja sambil kuliah, atau bahkan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ini berdampak pada kurangnya pengetahuan dan lemahnya kemampuan pemuda untuk mengakses lapangan kerja. Kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada pemuda menyebabkan sulitnya akses terhadap bahan pokok yang sehat dan bergizi, serta minimnya lapangan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.
Keadaan ini semakin diperparah oleh orientasi individualistik yang tumbuh di kalangan pemuda. Dalam bukunya *The Theory of the Leisure Class*, Thorstein Veblen menyebutkan bahwa masyarakat modern cenderung mengutamakan konsumsi yang bersifat prestise daripada upaya untuk memajukan masyarakat secara kolektif.
Hal ini tercermin dalam sikap banyak pemuda yang lebih pragmatis, berpolitik demi kepentingan pribadi, menjadi broker bagi sesama pemuda untuk melayani rezim politikus yang mencalonkan diri.
Dalam hal ini, konsep Veblen tentang konsumsi mencolok (hedonisme) mencerminkan bagaimana anak muda dapat termanipulasi untuk mendukung politisi demi janji yang hanya memenuhi hasrat mereka akan status dan pengakuan sesaat, tetapi tidak memberi perubahan substansial bagi kesejahteraan mereka.
Gaya hidup hedon ini, yang tampak modern dan progresif, justru dimanfaatkan sebagai alat bagi politisi untuk meraih kepentingan pribadi, sementara kebutuhan mendasar generasi muda—seperti pendidikan yang terjangkau, lapangan pekerjaan berkualitas, dan peluang untuk berkontribusi secara produktif—sering kali diabaikan.
Di ranah kampus, mahasiswa fokus pada pencapaian pribadi seperti SKS dan IPK tinggi agar mendapatkan pekerjaan dan gaji tinggi, tanpa memikirkan kontribusi mereka sebagai pemuda terhadap masyarakat, melanjutkan amanah perjuangan kemerdekaan.
Pemuda, terutama mahasiswa yang terpelajar dan intelektual, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan perubahan.
Menurut Antonio Gramsci, intelektual organik adalah mereka yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga berperan aktif dalam menggerakkan perubahan sosial. Namun, di Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa cukup kompleks. Mereka terjebak dalam sistem pendidikan dan ekonomi yang tidak mendukung pengembangan diri dan kontribusi maksimal mereka terhadap masyarakat.
Salah satu tantangan terbesar adalah mahalnya biaya pendidikan. Banyak pemuda berpotensi besar terpaksa menunda atau bahkan menghentikan pendidikan mereka karena ketidakmampuan finansial.
Selain itu, program pelatihan keterampilan yang ditawarkan pemerintah sering kali tidak efektif dan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Akibatnya, banyak pemuda yang lulus dari pendidikan formal tetapi tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bersaing di dunia kerja.
Selain itu, akses kesehatan yang sulit dan mahal menjadi masalah lain yang menghambat pengembangan diri pemuda. Ketika kebutuhan dasar seperti kesehatan tidak terpenuhi, sulit bagi pemuda untuk fokus pada pengembangan keterampilan dan potensi mereka.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh harga bahan pokok yang mahal, yang menyebabkan banyak pemuda tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi yang cukup untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Bahkan hal ini menjadikan money politik sebagai daya tarik bagi pemuda dan masyarakat Indonesia, dengan salah satu alasannya adalah kondisi ekonomi yang kian mencekik
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemuda Indonesia perlu mengubah cara pandang mereka terhadap peran dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat. Paulo Freire dalam bukunya *Pedagogy of the Oppressed* menekankan pentingnya kesadaran kritis sebagai langkah pertama menuju pembebasan dari penindasan.
Dalam konteks ini, pemuda Indonesia perlu menyadari bahwa mereka bukan sekadar objek yang dimanfaatkan oleh rezim, apalagi dengan sukarela menjadi ‘sapi perah demokrasi’ bagi politikus, tetapi mereka harus menjadi subjek yang wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintahan karena potensi yang mereka miliki untuk mengubah kondisi negara maupun daerah.
Namun, untuk mencapai hal ini, pemuda perlu membangun kembali rasa percaya diri mereka, menumbuhkan rasa cinta dan bangga akan bangsa dan negara, memperkuat solidaritas sosial antar sesama pemuda lintas strata, memperkuat jejaring pengetahuan, hingga melakukan gerakan bersama sebagai bentuk perjuangan pemuda masa kini dengan tidak terbawa arus pragmatisme, hedonisme, individualisme, ataupun apatisme.
Pemuda harus mampu bangkit sebagai garda depan dalam menghadapi segala tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini. Pemuda, jika mampu menciptakan sebuah narasi yang kuat dan konsisten, bisa menjadi motor penggerak perubahan sosial yang dibutuhkan bangsa ini.
Maka dari itu, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November, mari kita semua sebagai pemuda untuk kembali membangun komitmen dalam mengawal demokrasi Indonesia yang sehat dan terhindar dari politik pragmatis.
Pemuda harus aktif berpartisipasi dalam politik, bukan hanya sebagai pendukung tetapi sebagai penggerak yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Pemuda harus berani menuntut peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Pemuda harus terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan bangsa dan negara.
Manado, 10 November 2024