Example floating
Example floating
MANADO

Benteng Kokoh Sulawesi Utara

×

Benteng Kokoh Sulawesi Utara

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suhendro Boroma
Sekretaris JAJAK Sulut

detiKawanua.com – INSIDEN di Perumahan Agape Tumaluntung, Minut beberapa hari terakhir ini menyita perhatian banyak pihak. TNI-Polri dengan cepat telah memperbaiki kerusakan gedung yang sehari-harinya digunakan warga muslim Perumahan Agape untuk melaksanakan ibadah. Proses hukum sedang dijalankan oleh jajaran Polri, dan berbagai elemen masyarakat, tokoh-tokoh agama, pemerintah dan tokoh-tokoh lintas agama dan budaya menyerukan dan meminta agar semua pihak menahan diri, tetap menjaga kerukunan dan kedamaian di bumi Nyiur Melambai.

Warga dan para pemimpin di Perumahan Agape telah bertemu, bermusyawarah dan menelorkan “Deklarasi Damai” Sabtu (1/2) lalu. Deklarasi Damai tersebut memuat delapan poin. Intinya menolak tindakan radikal, intoleran, menjaga kerukunan dan kedamaian, mengedepankan penegakan hukum, dan berkomitmen menjaga “torang samua basudara”. Perijinan pendirian rumah ibadah agar dilengkapi dan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku, dan umat muslim di Perum Agape boleh melaksanakan sholat di musholah yang sudah diperbaiki.

Dari dokumen yang beredar, Deklarasi Damai itu ditandatangani oleh tokoh-tokoh yang mewakili umat Kristen, Islam, pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan Forkompida Minut. Juga disaksikan Gubernur Olly Dondokambey, Kapolda Irjen Sigit Tri Hardjanto, dan jajaran Forkompinda Sulut.

Boleh jadi, Deklarasi Damai ini tak memuaskan berbagai pihak. Tetapi, hendaknya semua pihak punya kesepakatan yang sama: menjaga Sulawesi Utara, bumi Nyiur Melambai tetap rukun dan damai. Inilah ‘titik temu’ dan tujuan kita semua. Tidak saja untuk menjaga reputasi Sulut sebagai “percontohan hidup rukun dan damai”. Tapi itulah perintah semua agama yang kita anut, akar kearifan lokal, dan salah satu wujud “kemuliaan budaya” warga Sulut.

Dengan reputasi, kearifan lokal, dan kemuliaan budaya tersebut, Sulut memiliki banyak kepeloporan dan keteladanan tentang toleransi dan hidup berdampingan secara damai. Kampung Jawa Tondano (Jaton), Mesjid Al Muhajirin, Gereja GMIBM Immanuel, dan Pura Puseh satu halaman di Desa Mopuya Selatan, Dumoga, Bolmong, dan paling terakhir Munumen Bukit Kasih di Kanonang, Minahasa, merupakan tiga dari sekian banyak puncak-puncak keteladanan hidup rukun damai langgeng di Sulut.

Ketika terjadi kerusuhan dan konflik horisontal di Ambon, Ternate, Halmahera, dan Poso di tahun 2000-2002, Sulut menjadi “rumah rukun damai” bagi mereka yang menjadi korban konflik. Mereka yang mengungsi ke Sulut pada waktu itu membawa penderitaan, kepedihan, kekelaman, dan semua memori yang bisa menyulut tindakan destruktif. Tetapi, yang luar biasa, semua itu “melebur dalam budaya rukun dan damai” warga Sulut.

Sekadar menyegarkan ingatan, gerakan reformasi 1997-1998 menghasilkan beberapa hal yang monumental: pemilu langsung, kebebasan politik, kebebasan pers, otonomi daerah, dan supermasi sipil dengan tampilnya Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Perubahan-perubahan ini dikukuhkan secara kelembagaan (lewat undang-undang dan pembentukan lembaga-lembaganya), tetapi dalam praktiknya memerlukan waktu untuk berjalan efektif. Terjadi krisis kepercayaan terhadap hampir semua lembaga negara: birokrasi, TNI, Polri, MPR, DPR, lembaga-lembaga penegak hukum, dan di saat yang bersamaan lembaga-lembaga negara hasil pemilu 1999 masih tahap konsolidasi. Partai politik yang mulai berkuasa di lembaga eksekutif masih gagap, otonomi daerah baru dimulai, dan birokrasi kehilangan “power dan wibawa” di mata masyarakat. Pada kondisi seperti itu konflik horizontal terjadi di beberapa tempat. Korban konflik Ambon, Ternate, Halmahera dan Poso mengungsi ke Sulut.

Tahun 2000-2003 merupakan ujian yang berat bagi bangsa Indonesia. Di Sulut, banyak pihak yang melakukan berbagai upaya dan kegiatan untuk menjadikan bumi Nyiur Melambai sebagai benteng perdamaian. Teman-teman di Manado Post pada masa itu mencari “akar budaya dan kearifan lokal” yang bisa menjadi perekat masyarakat, sekaligus membuat warga Sulut punya daya tahan yang kuat (resilience) terhadap ancaman konflik horisontal.

Dari upaya inilah, dan didukung tokoh-tokoh pemuda lintas agama, tokoh masyarakat, tokoh budaya, jajaran TNI-Polri, pemerintah, Gubernur AJ Sondakh (alm) mencanangkan Tahun 2002 sebagai Tahun Kasih, dengan tagline Kasih Mengubah Dunia. Jaringan Kerja Kasih (JAJAK) Sulut –LSM yang digerakkan oleh tokoh-tokoh pemuda lintas agama, kemudian dibentuk (ketuanya Pnt Ir Marhany Pua), yang mendedikasikan semua kegiatan dan upayanya untuk membumikan “kasih” dalam kerja-kerja kemunusiaan, perdamaian dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat. JAJAK ikut berkontribusi besar dalam memberikan gagasan pembangunan monumen Bukit Kasih di Kanonang, Kawangkoan.

Sudah pasti banyak pihak yang bekerja kongkrit dan berandil besar dalam menjaga Sulut tetap rukun damai di tengah suasana konflik horisontal di masa itu. Sinode GMIM, Keuskupan Manado, GPdI Suluttenggo, KGPM, NU, Muhamadiyah, SI, MUI, BKSAUA, FKUB, dan berbagai elemen pemuda berada di garda terdepan melakukan upaya-upaya optimal untuk menjaga dan mempertahankan Sulut tetap rukun, aman dan damai.

Pendek kata, semua komponen masyarakat di Sulut bersatu padu bak sebuah orkestra dengan aransemen yang indah dan memukau, menunjukkan kepiawaian mempersembahkan “hidup rukun dan damai itu indah.” Itulah yang membuat ujian berat konflik horisontal di Indonesia (kala itu) oleh semua elemen warga Sulut diubah menjadi kesempatan sekaligus medan untuk menunjukkan kepeloporan dan keteladanan hidup berdampingan secara rukun dan damai. Dan kerja-kerja kongkrit untuk hal ini dilakukan dan dikedepankan oleh masyarakat sendiri, bukan dimobilisasi dari atas.

Banyak ahli yang telah meneliti tentang keunggulan kearifan lokal warga Sulut ini. Tiga di antaranya disebutkan di sini. Martin Ramstedt dan Fajar Ilmu Thufail yang menulis buku Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru (Grasindo, 2011). Nono SA Sumampouw yang menulis buku Menjadi Manado, Torang Samua Basudara, Sabla Aer dan Pembentukan Identitas Sosial (UGM Press, 2018). Paling awal menelaah tentang kearifan budaya lokal Sulut ini peneliti dari Belanda, Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, yang mengabadikannya dalam buku Politik Lokal Indonesia (Leiden KITLV Press, 2007, Yayasan Obor, 2014). Untuk buku yang terakhir ini khusus untuk bab tentang Memelihara Perdamaian di Minahasa ditulis David Henley, Maria JC Schouten, dan Alex J Ulaen, budayawan Sulut dari Fakultas Sastra Unsrat.

Penelusuran yang lebih jauh dan dalam dilakukan oleh Prof Dr Jan Turang (alm). Mantan Rektor IKIP/Unima ini merupakan ilmuwan yang intens merumuskan falsafah mapalus dalam budaya Minahasa. Pada seminar tentang “Tahun 2002 Tahun Kasih, Kasih Mengubah Dunia” di awal tahun 2002, Prof Jan Turang secara gamblang menyebutkan “nilai-nilai dan praktik kasih” sudah lama hidup dalam budaya mapalus sebagai local spirit and local wisdom masyarakat Minahasa. “Inti dari Mapalus Way”, kata Prof J Turang, “adalah Kasih.”

Hal yang sama ada dalam masyarakat Sangihe, Mapaluse, dan di Bolmong hidup dan dipraktikkan secara turun temurun Momosad. Dalam makna yang sama, Huyula, dalam masyarakat Gorontalo. Mapalus, mapaluse, momosad, dan huyula ini sudah lama tertanam dan dipraktikkan dalam masyarakat Minahasa, Sangihe, Bolmong, dan Gorontalo. Jauh sebelum kedatangan agama-agama.

Mengikuti rumusan Prof J Turang, inti dari nilai-nilai dan praktik mapalus, mapaluse, momosad dan huyula adalah ‘kasih’, maka boleh dikatakan “kasih way” sudah lama hidup dan dipaktikkan dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Minahasa, Sangihe-Talaud, Bolmong dan Gorontalo. “Kasih Way” sudah dijalankan oleh warga Sulut jauh sebelum agama-agama datang.

“Kasih Way” inilah yang merupakan inti kearifan lokal warga Sulut. Itulah yang membuat warga dan daerah ini resilience, berdaya tahan tangguh dari zaman ke zaman dalam menjaga suasana hidup berdampingan secara rukun dan damai. Boleh dikatakan, inilah “jati diri Sulut.”

Maka, janganlah jati diri ini direngut, hanya oleh peristiwa di Perum Agape Tumaluntung Minut. Tanpa bermaksud mengecilkan peristiwa tersebut, hendaknya kita kembali pada jati diri Sulut yang sesungguhnya: “Kasih Way”. Apapun perbedaan pendapat, latar belakang suku, agama, ras dan tingkat pendapatan, kita harus senantiasa ingat, “Kasih Way” merupakan warisan para leluhur di Minahasa, Sangihe-Talaud, Bolmong, dan Gorontalo yang terpenting, mulia, membanggakan dan menembus jauh ke masa depan. Insiden di Perum Agape kita jadikan sebagai ujian yang kian menguatkan dan mengokohkan praktik “Kasih Way.”

Adapun keberadaan rumah ibadah, alangkah baiknya kita jadikan sebagai salah satu perwujudan kualitas hidup berdampingan secara damai. Sebagaimana yang sudah terpampang di Mopuya Selatan. Atau di Panango-Tabilaa, kompleks Kantor Bupati Bolsel yang menyandingkan masjid, gereja, pura dan vihara dalam satu halaman.

Mari kita perkuat, perteguh, perkokoh “Kasih Way” dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam membina kualitas relasi hubungan antar umat beragama di daerah ini. Dengan itu, kita sangat berharap, tidak ada tempat bagi siapapun, terutama pihak-pihak atau pun anasir-anasir dari luar untuk mengganggu ketentraman, kedamaian dan kerukunan di Sulut. Andai ada mau coba-coba, mari kita ajak, sentuh hati mereka untuk menikmati keindahan hidup rukun dan damai. Jika ada yang ‘memaksa’, jangan kita beri ruang sejengkal pun. Seperti warga Sulut tampilkan dan hadirkan kala menjadi “rumah damai nan indah” di kala menerima pengungsi dari Ambon, Ternate, Halmahera, dan Poso di masa silam.

Bagi Pemkab Minut, Pemrov Sulut, dan TNI-Polri , saat ini jauh power full dibanding saat menghadapi dan mengatasi konflik horisontal pasca orde baru atau awal reformasi. Dengan kondisi itu, kecepatan dan ketepatan menangani masalah agar tidak melebar kemana-mana mestinya berjalan efektif dan tetap sasaran. Paling baik, kondisi power full itu dilakukan dengan mengedepankan modal sosial dan kearifan lokal yang sudah hidup turun-temurun di Sulut: “Kasih Way”. Sebab itulah benteng alamiah yang kokoh bagi warga Nyiur Melambai menjaga dan melanggengkan hidup berdampingan secara rukun dan damai.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *