Oleh: Taufani, MAdetiKawanua.com – Beberapa hari lalu, saya beserta keluarga berkunjung ke salah satu swalayan terbesar di Kota Makassar. Tak sengaja, saya berjumpa dengan beberapa orang pria bercelana cingkrang dan dengan kompak mengenakkan kaos seragam berwarna hitam dengan sisi belakang bertuliskan ‘Syiah bukan Islam’ dan di sisi depan kurang lebih bertuliskan ‘saya Islam dan saya bukan Syiah’. Beberapa hari kemudian, di situs media online, saya kembali membaca berita yang mengulas tentang propaganda ‘Syiah bukan Islam’ di Kota Yogyakarta. Bedanya, di Yogyakarta, propaganda tersebut muncul lebih terstruktur, sistematis, dan masif dalam bentuk spanduk liar yang bertuliskan ‘Syiah bukan Islam’, ‘Syiah kafir’, dan sejenisnya di beberapa sudut jalan raya.
“Mengatakan Syiah bukan bagian dari Islam adalah pendapat yang sangat dangkal, emosional, dan cenderung tendensius karena kaum Syiah sendiri mengakui keesaan Allah dan kenabian Nabi Muhammad yang termanifestasi melalui syahadat yang merupakan batas minimal seseorang dianggap sebagai muslim….” (Taufani, MA)
Dari apa yang saya amati, fenomena anti Syiah memang belakangan ini tumbuh sangat gencar bak jamur di musim hujan. Di dunia maya, terdapat banyak situs-situs yang kontennya sangat agresif melakukan wacana ideologisasi anti Syiah. Di berbagai kampus, juga bermunculan berbagai aktivitas anti Syiah, baik melalui kajian keislaman maupun melalui seminar dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang selama ini anti pada keberadaan Syiah.
Berdasarkan literatur sejarah Islam, pada awalnya Syiah merupakan kelompok/faksi pendukung Ali bin Abi Thalib sebagai penerus kekhalifahan umat Islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad. Kaum Syiah tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, sedangkan kaum Sunni mengakui kepemimpinan keempat khalifah tersebut. Kaum Syiah menganggap bahwa Ali-lah yang seharusnya menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat Islam karena ia merupakan sepupu terdekat dan juga menantu Nabi, yang telah dipilih langsung oleh Nabi Muhammad. Berawal dari konflik politik, hal tersebut kemudian melebar menjadi persoalan teologis yang sering berujung pada tindakan saling kafir-mengkafirkan hingga dewasa ini.
Mengatakan Syiah bukan bagian dari Islam adalah pendapat yang sangat dangkal, emosional, dan cenderung tendensius karena kaum Syiah sendiri mengakui keesaan Allah dan kenabian Nabi Muhammad yang termanifestasi melalui syahadat yang merupakan batas minimal seseorang dianggap sebagai muslim. Mereka juga meyakini kebenaran Al-Quran, berhaji ke tanah Makkah, menunaikan zakat, mendirikan shalat, memercayai adanya akhirat dan masih lagi banyak persamaan lainnya dengan mazhab Sunni, tanpa menafikan juga perbedaannya.
Mengapa penting membahas masalah ini? Pertama, umat Islam di Indonesia selama ini dikenal sangat moderat, toleran, dan akomodatif. Perbedaan mazhab atau aliran bukanlah masalah besar bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia telah lama berinteraksi dengan berbagai perbedaan, tanpa harus ikut terjebak dalam konflik sektarian tingkat akut sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah. Sebagai contoh, NU (yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia dan di dunia) secara kultural banyak dipengaruhi oleh tradisi Syiah, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Gusdur selaku mantan Ketua Umum NU.
Kedua, fenomena anti syiah bukanlah sesuatu yang mainstream di kalangan umat Islam sendiri. Proses menjembatani dialog antara Sunni dan Syiah telah lama dilakukan oleh mufti besar Universitas Al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, selaku pemegang otoritas Sunni. Hal tersebut masih terus berlangsung hingga saat ini. Pada tahun 2004, misalnya, Raja Yordania, H.M. King Abdullah II bin Al-Hussein memprakarsai suatu deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Amman. Deklarasi tersebut adalah suatu usaha untuk menjembatani dialog antara mazhab/aliran dalam Islam. Isi deklarasi tersebut menegaskan bahwa Syiah adalah salah satu mazhab resmi dalam Islam. Untuk memperkuat legitimasinya, maka deklarasi tersebut secara resmi didukung oleh beberapa ulama senior, seperti Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi, Ayatullah Agung Irak Ali Al-Sistani, dan Yusuf Qardhawi. Indonesia juga turut serta menyetujui isi deklarasi tersebut melalui perwakilannya, yakni Hasyim Muzadi (Ketua NU), Din Syamsuddin (Ketua Muhammadiyah), dan Maftuh Basyuni (Menteri Agama).
Ketiga, membenturkan antara Sunni dan Syiah sama saja dengan menggiring kembali mental kolektif kita ke zaman dahulu yang penuh dengan barbarisme konflik sektarian. Era globalisasi yang penuh dengan kompetisi seharusnya menggenjot kaum muslim untuk berpikir dan berinovasi jauh ke depan untuk mengejar ketertinggalan peradaban, bukan sebaliknya.
Menurut saya, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi masifnya propaganda anti Syiah di Indonesia. Pertama, beberapa kalangan muslim memiliki semangat aktivisme keislaman yang sangat tinggi, namun tidak diimbangi dengan pengetahuan Islam yang komprehensif. Hal ini membuat mereka menjadi mudah ‘disesatkan’ oleh pihak-pihak yang sengaja ingin mengkonstruksi dan menyuburkan pandangan anti Syiah.
Kedua, munculnya fenomena anti Syiah tidak bisa dilepaskan oleh masifnya transmisi ideologi Wahabisme di Indonesia. Selama ini, para penganut ideologi Wahabisme dikenal sangat kaku, tekstual dan hitam-putih dalam menafsirkan Al-Quran. Kaum Wahabi cenderung sangat anti terhadap Syiah. Dengan kekuatan petro dollar yang dimiliki, kaum Wahabi yang disponsori oleh Arab Saudi, dengan gencar melakukan propaganda anti Syiah ke berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia dengan berbagai modus. Saudi sangat berkepentingan dengan propaganda tersebut karena Saudi ingin meruntuhkan kewibawaan dan legitimasi Iran (yang merupakan basis utama Syiah), yang selama ini menjadi seteru abadi Saudi dalam konstelasi politik Timur Tengah.
Ketiga, ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin membenturkan antara Sunni dan Syiah karena isu ini adalah isu yang ‘seksi‘ untuk digoreng dan dijual demi kepentingan politik jangka pendek.
Untuk itu, pemerintah dan seluruh pihak hendaknya tak boleh kenal lelah untuk melakukan
counter wacana terhadap pandangan Islam yang sempit, kaku, dan intoleran. Selain itu, pengarus-utamaan ajaran Islam moderat dan inklusif harus terus dilakukan. Kalau tidak, cepat atau lambat negeri ini akan mengikuti jejak Suriah dan Irak yang tercabik-cabik dalam ketidakpastian akibat konflik sektarian. Maukah kita mengikuti jejak mereka?
Penulis adalah lulusan S2 Agama dan Lintas Budaya UGM Yogyakarta, dan sekarang berprofesi sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado.
Editor: (v1c)