detiKawanua.com – Peristiwa pengeboman di sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Sabtu (14/01) pekan lalu, menjadi bukti bahwa eksistensi terorisme masih berada di Republik Indonesia (RI).
Bahkan, peristiwa yang menewaskan sedikitnya delapan orang dan 24 lainnya terluka ini, disinyalir dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Hal ini bisa saja terjadi jika pemerintah melalui aparat keamanan tidak menyikapi pergerakan para teroris sedini mungkin.
Di sisi lain, hal ini juga sangat berdampak pada merosotnya kepercayaan sebagian masyarakat nasional terhadap aparat keamanan.
Itu disebabkan, karena pengawasan baik “Tentara Naisonal Indonesia (TNI)” maupun “Polisi Republik Indonesia (Polri),” sangat lengah dalam hal pengawasan pergerakan teroris dengan cara tidak sigap sedari awal.
Meskipun, peranan mereka dalam proses penyergapan Budi Rachmat Cs di tempat kejadian setelah meledaknya Bom di sekitar Plaza Sarinah, tidak bisa diabaikan.
Namun demikian, aksi “biadab” yang diklaim merupakan perpanjangan tangan dari ISIS ini juga tidak bisa dilupakan. Karena, baik TNI maupun Polri diketahui tidak sigap sedari awal dalam hal pengawasan.
Jika demikian; jika kita melihat aksi teror ini sebagai permasalahan urgen yang kemudian para aparat keamanan diwajibkan menyikapinya sedari awal. Maka, sudah sepatutnya Undang – undang Nomor 15 Tahun 2003, dilakukan revisi.
Terlebih juga, untuk Undang – undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Karena, Undang – undang inilah yang lebih spesifiik mengatur kinerja BIN.
Tujuan dilakukannya revisi terhadap kedua Undang – undang tersebut, dimaksudkan untuk memperluas peranan Badan Intelijen Negara (BIN) tanpa menunggu para teroris meledakkan Bom-nya terlebih dahulu.
Dalam Undang – undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, disebutkan bahwa BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran.
Sementara, dalam pasal 34 (Undang – undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara), BIN tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan maupun penahanan. Meskipun, terkait masalah penanganan terorime di Indonesia, BIN juga mempunyai kewajiban dengan mengacu pada batas kewenangan yang dimilikinya.
Dari sini dapat dikatakan bahwa, ruang gerak BIN dibatasi oleh Undang – undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang – undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Sehingga, salah satu alternatif untuk memantau dan mengamankan negara dari aksi teror, adalah dengan cara merevisi kembali Undang – undang tersebut guna “melebarkan sayap” BIN dalam menangani persoalan teroris di negeri ini.
Alasan untuk dilakukannya revisi terhadap kedua Undang – undang di atas, dapat kita lihat bagaimana cara BIN melakukan pendeteksian terhadap pergerakan para teroris.
Sebagai contoh kecil yang akibatnya sangat besar, mereka (BIN), jauh
sebelum para teroris mengebom sekitar Plaza Sarinah. Oleh BIN,
keberadaan dan potensi ancaman para teroris sudah diketahui terlebih
dahulu yang kemudian diberitahukan kepada pihak yang dianggap lebih
berwenang, dalam hal ini aparat keamanan, jauh sebelum terjadinya
peristiwa yang membuat mata kita terbuka lebar.
Penanganan terorisme di Indonesia tergolong sangat menghormati HAM dan
kebebasan dengan mengedepankan proses hukum. Di negara-negara seperti
AS, Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya, ketika keamanan nasional
terancam oleh terorisme, mereka dapat mengedepankan proses intelijen.
Lembaga Intelijen diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dan
penahanan.
Selain itu, hal ini juga dapat dilihat dalam pernyataan Kepala BIN, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso, sewaktu melakukan konferensi pers di kantor BIN, Jakarta Selatan, Jumat (15/01) pekan lalu, terhadap peran penting BIN dalam mendeteksi pergerakan para teroris.
Menurut Sutiyoso, BIN telah melakukan tindakan sesuai kewenangan warning dan indikasi-indikasi tanpa mengabaikan pasal 34 UU No. 17 Tahun 2011.
Kemudian, BIN juga telah memberikan sinyal-sinyal tentang adanya potensi serangan teroris sejak November 2015. Salah satunya, potensi ancaman terkait ratusan komplotan ISIS yang kembali ke Indonesia, khususnya menjelang Natal dan Tahun Baru.
“BIN sudah mengimbau melalui Kominda dan Kominpus. Bahwa, kemungkinan akan ada serangan teroris pada 9 Januari 2016, ternyata aksi teroris dilakukan pada 14 Januari 2014,” kata Sutiyoso.
Selain itu, Sutiyoso juga mengatakan, bahwa serangan teroris tidak mengenal ruang dan waktu, serta sasaran. Sehingga, sulit untuk mendeteksinya.
Penanganan terorisme di Indonesia tergolong sangat menghormati HAM dan kebebasan dengan mengedepankan proses hukum. Di negara-negara seperti AS, Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya, ketika keamanan nasional terancam oleh terorisme, mereka dapat mengedepankan proses intelijen. Lembaga Intelijen diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan.
Demikian juga yang diungkapkan Sutiyoso. Bahwa, mengingat peranan BIN sangat dibutuhkan dalam dalam mendeteksi pergerakan para teroris, negara tetangga Malaysia sudah mengubah Undang – undang terorisme mereka. Karena, mereka (teroris) dianggap sangat membahayakan.
“Anda ingin tahu? Mereka dikasi gelang elektronik. Sehingga dalam 24 jam dapat dipantau oleh Intelijen,” ungkap Sutiyoso.
Dari penjelasan Kepala BIN ini, di satu sisi dapat dikatakan bahwa ruang dan gerak mereka dibatasi oleh Undang – undang yang penulis sebutkan tadi. Sehingga, salah satu alternatif untuk memantau dan mengamankan negara dari aksi teroris, adalah dengan cara merevisi Undang – undang tersebut di atas.
Di sisi lain, mengingat keberadaan dan potensi ancaman para teroris sudah membuktikan bahwa mereka masih eksis dalam melakukan teror di Republik ini, apa salahnya jika BIN diberikan kewenangan dalam hal melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap para teroris yang sudah mereka deteksi.
Di akhir artikel singkat ini, dengan wacana luar biasa namun analisis yang sangat – sangat sederhana, tidak ada sedikitpun maksud penulis untuk memprovokasi pihak manapun, tak terkecuali bagi aparat keamanan yang sudah dan telah membantu proses penanganan terorisme di Indonesia sejak beberapa tahun silam.
Kemudian, meskipun para teroris hanya menyerang Ibu Kota Indonesia, DKI Jakarta, tepatnya di sekitar Plaza Sarinah saja, penulis mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap waspada, khususnya masyarakat Kota Manado (tempat penulis tinggal) yang sempat juga dilanda teror oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab tepat di depan Masjid Raya Ahmad Yani.
Untuk itu, sebagai warga Kota Manado yang dikenal santun dan damai melalui slogan “Torang samua basudarah,” penulis juga mengimbau kepada seluruh warga Kota Manado agar tidak perlu takut untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Meskipun, tak bisa dipungkiri bahwa ancaman serangan dari para teroris masih tetap ada dan sedang membuntuti kita dari segala arah. (#)