detiKawanua.com – Paradigma Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak lepas dari kata Money Politic. Karena pada dasarnya, Pilkada adalah pesta demokrasi bagi para rakyat, dan persaingan untuk saling merebut kekuasaan di ranah Lembaga Eksekutif. Meski di setiap sesi pertemuan masyarakat dan politisi diwarnai dengan senyum yang terpancar. Lantas, apa yang menjadi akibat hingga Politik uang sangat merekat pada Pilkada jika para politisi nampak menjadi superhero di tengah masyarakat? Serta siapakah yang harus dipersalahkan ?
Perebutan, bukan kata yang sempit untuk ditafsirkan. Perebutan memiliki artian adanya satu individu bahkan kelompok untuk meraih satu tujuan yang sama. Semua strategi terbaik pastinya disajikan pada pesta demokrasi, menghalalkan segala cara pastinya ditempuh untuk meraih kemangan. Bahkan menggunakan aktivitas yang dilarang oleh Undang-undang pada pesta demokrasi, semua karena perebutan dalam Pilkada telah melibatkan pengorbanan materi yang tidak sedikit.
Kalimat “menghalalkan segala cara” mengkondisikan lahirnya money politic atau mencapai tujuan dengan uang. Seakan membunuh hati nurani dengan menggunakan uang sebagai alat, setiap masyarakat hak politiknya didibeli oleh politisi, lagi dan lagi menujukan segala dapat dibeli dengan uang.
Intergitas serta image Paslon yang seharusnya menjadi buruk ketika ingin membeli hak politik masyarakat, justru diharapkan warga sebagai situasi yang paling dinanti pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Transformasi paradigma yang salah ini, seolah masiv di masyarakat kita. Mengakar dan membudaya, tersirat pada realitas yang seharusnya kita tangisi. Bahkan money politic menjadi strategi yang dianggap terbaik untuk ditempuh.
Kepentingan pribadi yang begitu kuat, guna menjaga posisi dan pengawasan politik membuat tak sedikit APBD yang disedot. Kosekuensinya, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi trend di kalangan kepala daerah. Apa yang menguat dari statement ini. Setidaknya sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada tahun 2013 tercatat 56 kepala daerah tersandung kasus korupsi hingga grativikasi (baca berita pada link: m.detik.com/news/berita/2984630/selama-11-tahun-ada-56-kepala-daerah-yang-terjerat-kasus-korupsi-di-kpk). Jika kita belajar dari Empiris bangsa terkait kasus korupsi pastinya kita tahu para pemenang tidak semerta-merta memberikan uang guna duduk di bangku kekuasaan tertinggi tingkat daerah (politik uang) secara cuma-cuma. Namun, timbal balik dengan menggeruk APBD untuk peribadi guna mengganti uang yang telah diglontorkan pada perhelatan Pemilukada menjadi kebiasaan.
Hak politik yang sudah dihargai dengan nominal, lantas mengambil uang rakyat seakan hal biasa terjadi dinegeri ini, membuat demokrasi yang mengarah kepada keadaulatan rakyat menjadi bagian dari pengertian saja.
Siapakah yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Money Politic ?
Politik uang yang terjadi pada Pemilukada seakan seperti transaksi di pasar. Hak politik warga negara ditukar dengan uang. Lantas, kenapa masyarakat seakan masih membutuhkan uang yang sudah jelas bagian dari strategi kotor yang dimainkan para politisi? Pastinya karena warga juga membutuhkan uang.
Penulis teringat pada teori 3 fase kesejahteraan masyarakat, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Melihat teori tersebut, menggambarkan jika politik uang terjadi karena tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih minim, terlebih di tingkatan ekonomi yang memaksa warga rela menerima uang. Warga seperti tidak komprehensif dalam membendung money politic hingga, hingga lahir pelanggaran-pelanggaran pada Pilkada.
Melihat kesejahteraan, masyarakat, semua elemen pemerintah juga terlibat dalam mencegah money politic. Karena money politic tak hanya lahir dari kesalahan setiap politisi tapi juga kesalahan Pemerintah Daerah (Pemda), kenapa seperti itu? Mungkin jadi pertanyaan yang terlintas dibenak kita, karena sumber money politic yang sering jadi sajian pada pemilukada dilakukan oleh tim salah satu paslon.
Yah, tentu Pemda bertanggung jawab. Pasalnya, Pemda dengan arah politik suci yaitu mensejahterakan masyarakat. Pemda memiliki tujuan untuk kepentingan masyarakat, pelayan masyarakat, namun jika money politic masih berlaku pada daerah tersebut, itu menjadi tolak ukur kegagalan Pemda dalam mencapai kata kesejahteraan masyarakat.
Karena penulis berpendapat, jika masyarakat telah cerdas dan memiliki tingkat kesejahteraan maka masyarakat tak akan menerima uang sebagai transaksi membeli hak politik yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hak politik menentukan kebijakan pemerintah untuk masyarakat. Karena pemimpin daerah lahir dari masyarakat melalui hak politik yang mereka miliki.
Jika kesejahteraan tellah lahir, apakah akan ada kesempatan para politisi untuk memainkan money politic di tengah masyarakat? Terlebih, telah memahami dan memiliki tingkat ekonomi yang baik?
Tentu tidak. Jika, Pemda benar memiliki integritas yang baik pastinya masyarakat pun akan memilikinya. Deretan kasus korupsi oleh kepala daerah versi KPK. membuat kita bertanya-tanya kenapa Kepala Daerah melakukan KKN?, singkat dari penulis, karena semua itu berangkat dari pemilu dengan biaya tinggi, terlebih dalam biaya, didalamnya terdapat money politic. Tak heran jika, bayang-bayang Korupsi dan Gratifikasi selalu hadir menghantui Pemerintah Daerah. ***
Penulis adalah Kader HMI MPO Cabang Manado