Lebaran: Sebuah Perjalanan Melintas Waktu
detiKawanua.com – Secara singkat, dalam bahasa yang ppular, kita menjadi modern dengan kehilangan rasa kemanusiaan kita. Kita sibuk dengan kegiatan kita sehari-har hampir tidak sempat lagi memperhatikan keluarga kita. Kita kehilangan rasa sayang, bahkan semua emosi kita yang manusiawi. Sebagai gantinya, kita mengembangkan sikap kasar, mementingkan diri sendiri (egois), dan agresif. Otot-otot kita setiap saat siap menerkan orang lain – yang sudah kita pandang sebagai mangsa. Kita mengembangkan struktur sosial ayam – yang berusaha mematuk yang lemah dan seterusnya.
Kita menjadi materialistis. Kita siap mengorbankan perasaan kemanusiaan kita yang luhung sekalipun untuk memperoleh keuntungan material sebanyak-banyaknya. Pada tingkat penguasa atau pengusaha (keduanya seringkali sukar dibedakan), kita memandang rakyat atau pegawai-pegawai sebagai angka-angka yang dapat kita manipulasikan (pangkat-kali-bagi-tambah-kurang) untuk kepentingan kita. Kita tidak melihat lagi mereka sebagai sosok yang mempunyai perasaan – mempunyai sanak keluarga. Pada tingkat orang kecil, kita menemukan orang-orang yang membunuh rasa kekeluargaan hanya untuk memperoleh sesuap nasi. Di Bekasi, misalnya, pernah diberitakan seorang ibu yang menyembunyikan kandungannnya karena kuatir diberhentikan dari pabrik. Bukan itu saja. Ia juga berusaha tidak menangis ketika anaknya lahir, karena kuatir tetangganya membawanya ke dokter. Anaknya ia sembunyikan di rumah kontrakannya dan hari itu juga pergi ke pabrik (masih dengan darah yang menetes di kakinya).
Kota-kota besar – jantungnya modernisasi – telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar. Semua orang sakit, termasuk para dokter dan petugas rumah sakit. Penyembuhan individual sangat sulit. Diperlukan penyembuhan massal. Tetapi yang diberikan haruslah membuat orang manusiawi dan memperlakukan orang lain secara manusiawi pula. Mereka harus berangkat dari semangat memiliki yang material ke semangat kekeluargaan yang spiritual. Dari mengambil ke memberi. (baca juga: ARTIKEL. Lebaran: Terapi Modernistis* (bagian 2))
Itulah makna mudik. Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan dirinya dalam hiruk-pikuk kota ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka yang hanya dihitung sebagai angka dan sekrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia. Mereka ingin meninggalkan – walaupun sejenak – wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati kembali wajah-wajah kampung yang ramah. Meraka ingin mengungkapkan kembali perasaan kekeluargaan yang meyejukkan. Anda melihat anak yang hilang bersimpuh di hadapan orangtuanya, memohon maaf seraya menangis terisak-isak. Suami istri menjalin kembali cinta kasih mereka, setelah pernah menjadi orang-orang asing yang tidak saling mengenal. Para tetangga dan sahabat saling menegur dan saling memberi setelah selama setahun mereka saling bersaing dan saling memeras.
Inilah makna silaturahim atau halal bihalal. Istilah halal bihalal itu – walaupun tidak akan pernah dipahami oleh orang Arab – seakan-akan menunjukkan lebaran sebagai tempat perilaku yang halal setelah pada hari-hari lain kita melakukan yang haram. Silaturahim ditandai bukan saja dengan menyebarkan keramahan, memperkukuh ikatan dengan bersalaman, tetapi juga memasyarakatkan budaya memberi alih-alih mengambil.
Silaturahim tidak saja ditujukan kepada mereka yang masih hidup, tetapi juga yang sudah mati. Orang-orang almarhum mencerminkan masyarakat yang sudah lama hilang. Mereka mewakili masa lalu. Orang-orang modern yang sudah dicabut dari akar sejarahnya perlu sekali-kali kembali kepadanya. Mereka harus akrab lagi dengan dunia mereka – yang karena modernisasi telah diasingkan dari mereka. Karena itu biarkan mereka mengarungi darat, laut dan angkasa, bersimbah keringat dalam kendaraan, berpayah-payah menempuh perjalanan jauh. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang melewati waktu – perjalanan historis. Mereka tengah membawa masa kini mereka ke masa lalu, supaya memperoleh kekuatan buat menempuh masa depan.
Mudik, silaturahim, nyadran adalah kreasi bangsa yang menakjubkan. Ketiganya berfungsi sebagai terapi untuk manusia modern. Sayang, kebanyakan yang mudik adalah orang-orang kecil, yakni – menurut Denis Goulet – “generasi yang dikorbankan” (sacrificed generation) untuk masa depan pembangunan yang dijanjikan. Memang, mereka yang tertindas, mereka yang hampir putus asa, mereka yang kehilangan jati diri, mereka yang tidak mampu mengontrol hidupnya, memperoleh wujud mereka ketika mudik. Mudik bukan hanya semata-mata hiburan – seperti kata Gus Dur – tetapi juga terapi massal yang biayanya tidak membebani pemerintah. Alangkah baiknya bila para konglomerat dan birokrat pun mudik, silaturahim dan nyadran. Kelak bila kedua kelas ini bertemu lagi di kota, mereka bukan lagi robot. (Tamat)
Dikutip dari Buku “Islam Aktual”