Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

Artikel : Kesalahan Masa Lampau, Mendulang Penderitaan Masa Kini (2)

×

Artikel : Kesalahan Masa Lampau, Mendulang Penderitaan Masa Kini (2)

Sebarkan artikel ini
Penulis : Moh Rifaldi Mokoginta

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin rezim despotik Soeharto yang terbuka terhadap investor asing kemudian mengafirmasi gerakan Imperium AS yang ingin menghisap kekayaan alam Indonesia dengan dalih Pembangunan (yang kemudian hari tidak terbukti, hasilnya malah korupsi). Kemudian lengser dari kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun berkuasa. Betapa senangnya rakyat Indonesia ketika mengetahui berita gembira itu sebagai petanda berakhirnya masa-masa menakutkan yang diantaranya, pemerkosaan kelompok Tionghoa, diskriminasi terhadap agama atau golongan tertentu serta berbagai penculikan para aktivis mahasiswa yang dilakukan oleh tangan-tangan gaib yang berkuasa. Kemudian Reformasi lahir dengan berbagai harapan diantaranya menuntut atas segala kezaliman di bawah pemerintahan Soeharto dan gerombolannya yang terlembaga. Tapi dengan bergulirnya waktu Soeharto dan gerombolannya yang berlembaga pun lolos dengan hasil yang gemilang (tanpa diadili). Terbukti kekayaan Soeharto dan lembaganya tidak terusik oleh keadilan. Dan kemudian sebagian pejuang Reformasi pun menganggap perjuangan melawan Orde Baru telah selesai begitu saja. Ini adalah kesalahan masa lampau dan menyusahkan di masa depan.
Begitu berakhirnya pemerintahan Soeharto, bukan berakhir pula warisannya. Tidak jarang, warisan politik korup Orde Baru mulai terungkap kepermukaan, dan tentu tak lupa warisan terburuk Soeharto yaitu hutang negeri yang menggunung, siap ditimpakannya kesetiap warga Indonesia. Sungguh lompatan prestisius yang membuat mimpi buruk terpanjang Indonesia hingga sekarang.
Hingga 2015 hutang Indonesia yang banyak tidak pernah terselesaikan. Hutang yang sesungguhnya dibuat tanpa persetujuan seluruh rakyat Indonesia. Pernahkah pemerintah menanyakan persetujuan seluruh rakyat Indonesia sebelum berhutang kepada bangsa asing? Sudahkah pemerintah meminta persetujuan seluruh rakyat ketika menetapkan kebijakan yang akhirnya berdanpak kepada masyarakat? Jika sudah, mengapa banyak masyarakat yang merasa terampas, tergusur, teraniaya dari hak-haknya? ketika pemerintah dan militer mengamankan investasi asing semisal Freeport di Papua dan masih banyak lagi di tempat lain. Sudahkah lupa pemerintah atas janjinya ketika dilantik sebagai pejabat negara untuk menjaga kedaulatan, kehormatan dan kesejahteraan rakyat. Berdaulatkah negeri yang dibiarkan sumber daya manusia dan alamnya dijarah oleh bangsa asing?  Dimanakah kehormatan Negara ketika membiarkan warga negaranya sebagai buruh murah yang kadang dianiaya? Kesejahteraan manakah yang dipanen oleh rakyat Indonesia? Hampir tidak ada.
Pemerintah yang berkuasa memperkenalkan diri kepada mayoritas rakyat Indonesia yang miskin sebagai tuan-tuan penguasa yang harus dihormati. Kata pemerintah, lihatlah jalanan telah dibuat mulus dengan aspal agar masyarakat bisa menghormati penguasa yang memakai jalan itu. Pandanglah sumur minyak kita yang sebentar lagi akan dikelola oleh bangsa asing. Perhatikanlah hutan kita yang digunduli dengan gemilang memperoleh rekor Dunia tahun 2008. Bukalah mata terhadap lubang mas kita yang dijarah bangsa asing dan Negara memperoleh keuntungan 0,1 persen dari pengahasilan perusahaan milik asing yaitu pajak.Sulit mempercayai pemerintah yang begitu manis menjanjikan pemerintahan yang merakyat, namun ketika menjabat begitu merasa asing dari kehidupan rakyat miskin.
Pemerintahan Reformasi yang berdiri sejak lengsernya Gusdur, hampir tidak mewarisi semangat para pendiri bangsa. Semangat para pahlawan bangsa yang jujur dan ikhlas membaktikan pikiran dan tenaganya untuk kedaulatan Indonesia, tapi oleh penerusnya yang memerintah justru sebaliknya membiarkan kedaulatan tercabik-cabik dengan mendiamkan sumber daya Manusia dan Alamnya dieksploitasi.
Kini cita-cita ekonomi Berdikari hanyalah isu pendulang suara kemenangan penguasa. Jangankan Berdikari, menekan inflasi saja pemerintah keok. Memang benar ketegasan tidak bisa diperoleh dari raut wajah, tapi apakah ketegasan yang dijanjikan pemerintah pusat telah diwujudkan? Jika menindak para kriminal dengan hukuman mati sebagai ketegasan. Dimanakah bukti koruptor pernah dihukum mati?  Pernakah terpikirkan oleh pemerintah bahwa efek koruptor sama dengan efek penjual narkoba (sama-sama merusak masyarakat)? Jelas sudah bahwa slogan masa lalu (nawacipta milik Soekarno) dipergunakan sebagai topeng belaka untuk berhutang dan menawarkan aset-aset negara yang potensial untuk digarap bangsa asing.
Jika dianalisa, sejak pemerintahan Megawati, SBY dan Presiden saat ini memberikan contoh yang baik untuk membuka keran investor asing untuk memperoleh keuntungan yang besar di Indonesia. Contoh sederhana, pada September 2004, Indonesia memilih Presiden dan yang terpilih adalah dari kalangan militer. Dia adalah Jendral Susilo Bambang Yudhoyono, yang menurut The New York Times, “mengalami kenaikan pangkat yang cukup pesat selama masa pemerintahan otoriter Jendral Soeharto”. SBY terpilih mengikuti latihan militer di Ford Benning, Georgia pada 1976 dan dua kali mengikuti program pendidikan latihan militer Internasional di AS. Menurut John Perkins, “setelah tsunami SBY menjadi pemimpin sempurna untuk menumpas Gerakan Kemerdekaan di Provinsi Aceh”.
Seperti kata Perkins, banyak gerakan lokal di seluruh nusantara. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) lahir dari hasrat untuk merdeka dari pemerintah yang dianggap berlaku eksploitatif dalam urusan ekonomi dan menindas dengan brutal. Meski lingkungan dan budaya mereka rusak akibat tangan-tangan korporasi asing, namun keuntungan yang diterima rakyat Aceh sangat sedikit. Salah satunya adalah proyek sumber daya terbesar di Indonesia, fasilitas Gas alam cair (LNG), berlokasi di Aceh. Tapi hanya sedikit keuntungan LNG itu yang disalurkan ke sekolah rumah sakit, dan investasi lokal lainnya untuk membantu rakyat Aceh sebagai pihak yang terkena danpak paling besar dari perusahaan itu. Apabila kita membaca keinginan rakyat Aceh, maka sesungguhnya “sudah lima dasawarsa, Aceh yang kaya sumber daya menginginkan kemerdekaan dari Indonesia,” Ungkap jurnalis terkenal Melissa Rossi.
Setelah itu, kemudian pada 26 Desember 2005 sehari setelah Natal, tsunami menerjang. Sekitar seperempat juta orang meninggal akibat terkena danpak gelombang dahsyat itu. Akibat lain dari danpak tragedy tsunami Aceh itu juga membuat GAM yang arah kegiatannya dari posisi menolak dan proses tawar menawar menjadi kegiatan mengurus korban tsunami dan mengelola upaya pemulihan oleh karena beberapa orang pentingnya meninggal serta system komunikasi dan transportasinya porak-poranda. Seperti pengakuan John Perkins, pemerintah cepat-cepat mengambil keuntungan dari hiruk-pikuk ini. Pasukan baru yang diterbangkan dari Jawa dan kawasan Indonesia lainnya yang tak terkena tsunami. Dalam hitungan bulan, mereka akan mendapat bantuan personel militer dan prajurit upahan dari AS, seperti Neil. Meskipun angkatan bersenjata memegang komando dengan dalih meringankan korban bencana, agenda terselubung mereka tak lain menumpas GAM.
Kenyataan terhadap agresi militer ini semakin jelas ketika Pemerintahan Bush tidak menunggu waktu lama. Sebulan kemudian setelah tsunami tepatnya Januari 2005, Washington membalik kebijakan Clinton pada September 1999 yang memutuskan hubungan dengan militer Indonesia kala itu. Gedung Putih mengirimkan peralatan militer sejumlah 1 juta dolar AS keb Jakarta. Hal itu pula yang diterangkan pada 7 Februari 2005 oleh The New York Times bahwa “Washington menyabet kesempatan yang muncul pasca-tsunami. Menlu Condoleeza Rice mengambil langkah dengan memperkuat pelatihan Amerika terhadap pejabat Indonesia secara signifikan. Di Aceh, angkatan bersenjata Indonesia yang selama 30 tahun memerangi pemberontakan sparatis mencapai kondisi prima sejak tsunami”.
Setelah letih dengan berupaya membangun kembali Aceh dari bencana dan membantu masyarakat local, kembali harus behadapan dengan tekanan berat dari angkatan bersenjata Indonesia dan AS sebagai pendukungnya, GAM menandatangani perjanjian damai yang sangat berat sebelah dengan Pemerintah. Dan sekali lagi Perkins mengungkapkan korprasi asing yang dulu dan sekarang menjadi pemenang terbesar. Sebagai contoh yang meyakinkan, realitas menunjukan betapa korporatokrasi mengeksploitasi bencana Alam, bisa dilihat di Taman Nasional Gunung Lauser, Aceh. Begitulah satu gerakan Korporatokrasi bisa mendulang dua keuntungan yang besar. Pertama, bisa mendominasi kebijakan politik, kedua, menguasai sumber daya alam. Dan bila kita analisa lebih jauh lagi maka di tahun 2016 yang akan datang, tidak salah jika pasar Indonesia akan didominasi oleh produk milik asin akibat penguasaan para kapitalis Global terhadap sumber daya yang potensial.
Sampai seperti itulah jika Pemerintah Indonesia menganggap pihak eksternal mengelolah sumber daya Indonesia dan mengesampingkan pengetahuan orang Indonesia dalam mengelolanya untuk kemajuan ekonomi Negara. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan sampai kering tanahnya dan tercemarnya laut tidak akan sampai membayar hutang luar negeri yang menggunung. Cukup masuk akal jika dipikir mengapa AS sebagai pemilik kekuasaan terbesar IMF dan Bank Dunia memberikan pinjaman pada Pemerintah Indonesia. Jelas sudah maksudnya untuk menumpas sehabis-habisnya pengaruh Uni Soviet dan Cina di Indonesia (lihat tragedy pembunuhan 1965). Dan ternyata AS berhasil dengan gemilang serta mendapat keuntungan untuk mengeruk habis sampai kering kekayaan alam Indonesia (lihat pendapat Richard Nixon dalam buku The Secret History of The American Emipire Economic Hit Men, Jakal, and The Truth About Global Corruption).
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini untuk menyelamatkan Indonesia dari jurang kehancuran? Tentu saja, kebijakan yang tepat adalah memutus rantai penjajahan Imperium ini. Soal kekejaman AS, pada 30 Juni 2007 Fidel Castro sendiri mengingatkan pada dunia bahwa “Imperialis benar-benar telah menciptakan mesin pembunuh bukan hanya buatan CIA dengan segala metodenya. Bush telah membuat struktur Intelejen yang mahal dan kuat talah mengubah angkatan darat, laut dan udarah sebagai Instrumen kekuasaan yang menyebabkan terjadinya perang, ketidakadilan, kelaparan dan kematian dibagian manapun di Dunia dalam rangka mendidik penghuninya tentang demokrasi dan kebebasan. Rakyat Amerika pelan-pelan mulai menyadari ini”.
Dimanakah posisi kaum terpelajar mengetahui keadaan ini? Apakah keputusan yang tepat memilih berdiam diri dalam ruang kuliah yang membosankan? Atau malah telah memilih mendaftarkan namanya dalam list gerombolan perampok kekayaan tanah air demi menghidupi sanak keluarga? Ataukah memilih malawan Imperium AS dan gerombolannya yang berkuasa? Semua tergantung pada generasi muda yang memiliki kesadaran untuk melawan penindasan ini.
Hingga saat ini harapan pendiri bangsa di masa lampau pada generasi muda masa kini adalah generasi yang bukan pandai bersolek mempertontonkan tubuhnya didepan kamera, generasi yang didambakan bukanlah generasi yang hanya diam dibangku kuliah dan menunggu waktu tiba diwisuda. Tapi generasi yang diidam-idamkan para pendiri bangsa adalah generasi yang berani mewakafkan dirinya pada negeri ini untuk terus memberikan ide-idenya pada Indonesia yang tercinta. (Selesai)
Bolaang Mongondow, 29 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *