Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

Artikel : Kesalahan Masa Lampau, Mendulang Penderitaan Masa Kini (1)

×

Artikel : Kesalahan Masa Lampau, Mendulang Penderitaan Masa Kini (1)

Sebarkan artikel ini

Penulis : Moh Rifaldi Mokoginta

Dalam berbagai literature yang menerangkan gagasan bapak bangsa kita, yang telah memproklamasikan kemerdekaan. Dengan bangga mengatakan ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Hal ini menjadi pertanda bahwa sejarah memiliki peran penting dalam mewujudkan cita-cita masa depan bangsa yang merdeka, yang kebijakannya berpihak terhadap rakyat.
Telah lebih dari setengah abad gagasan yang terkandung dalam Proklamasi, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sudah digulirkan. Dan hal itupun melahirkan berbagai upaya yang kemudian kita kenal dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menetapkan pendiriannya untuk mengelolah sumberdaya alamnya yang kaya dan kesemuanya itu diperuntukan untuk kesejahteraan  seluruh masyarakat Indonesia. Begitu ajaib, gagasan ini bahkan selalu menjadi pilihan yang tepat ketika memasarkan beberapa calon kepala daerah, calon presiden dan calon-calon orang yang duduk dikursi elit Dewan Perwakilan Rakyat dikemudian hari.
Dalam pidato-pidato bapak proklamator kita, Soekarno memperkenalkan pada kita berbagai gagasannya seperti ekonomi Berdikari yang cemerlang dan tentu banyak diapresiasi oleh rakyat yang sering mendengarkannya dalam berpidato. Tapi realitas dikemudian hari malah tidak sesuai dengan cita-cita masa Revolusi Pasca Kemerdekaan. 
Sekedar mendaur ulang informasi yang banyak diantara kita mengetahuinya. Sejak tahun 1951 Soekarno bersikap tegas terhadap korporatokrasi dan membekukan konsesi bagi Multinasional Corporation (MNC) melalui UU nomor 44/1960 yang berbunyi, “seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan Negara atau perusahaan Negara” (Lihat pengakuan John Perkins). MNC yang sejak awal berpegang pada perjanjian Let alone agreement yang berpegang pada perjanjian yang membuat mustahil nasionalisasi perusahaan-perusahaan potensial dibuat kelabakan oleh Soekarno, karena laba yang diperoleh dengan menjarah sumber daya alam Indonesia telah menurun. Mengetahui menurunnya laba yang diperoleh, tiga besar (Stanvac, Caltex dan Shell) meminta negosiasi ulang, namun pada bulan Maret 1963, Soekarno mengatakan “Aku berikan anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan Aku akan membatalkan semua konsesi jika anda tidak mau memenuhi tuntutanku”. Ancaman Soekarno pun menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri dengan formula pembagian laba ditetapkan 60 persen untuk pemerintah dalam bentuk mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex yang dihitung dalam rupiah.
Setelah berbagai tuntutan Soekarno yang progresif membuat khawatir MNC akan terlempar dari percaturan bisnis di Indonesia sekaligus kehilangan muka terhadap Dunia bisnis. Kemudian segala upayapun dilakukan demi menghentikan Gerakan Soekarno dengan meminta peran CIA melengserkannya dari jabatannya  sebagai Presiden Revolusioner kala itu. Dimulai dengan mengidentifikasi siapa saja yang bersebrangan jalan dengan jalan yang diambil Soekarno. Ajaibnya, Soeharto pun mendirikan kekuasaannya yang ditopang oleh militer local dan asing yang belakangan dinilai oleh sejarahwan Amerika, Bradley R. Simpson sebagai kekuasaan yang mirip dengan boneka AS Shah Reza Pahlevi di Iran.
Dengan perpindahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang kontroversial itu secara langsung pula rakyat Indonesia dibuatnya tertimpa hutang yang luar biasa banyak dengan dalih pembangunan ‘yang belakangan diejek oleh John Perkins sebagai upaya pembangkrutan Indonesia’. Tak heran hutang luar negeri masa pemerintahan Soekarno tidak lebih dari 2,5 milyard dolar AS, sebaliknya hutang luar negeri masa pemerintahan Soeharto lebih dari 100 milyard dolar AS. Namun apakah kemiskinan telah diputus oleh rezim yang berhutang? Tidak. Hutang luar negeri yang dibuat oleh Soeharto justru tidak diamalkan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat Indonesia. Malah terjadi kongkalingkong korporatokrasi dengan kleptokrasi Orde Baru tanpak dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Paiton 1 dan 2 yang nilainya 3,7 milyard dolar AS.
Menurut Budiarto Shambazy (yang tulisannya banyak saya kutip dalam tulisan ini) menuturkan bahwa “Maga proyek ini tidak bermanfaat sebab harga listrik yang dihasilkan 60 persen lebih mahal dari pada di Filipina, atau 20 kali lebih mahal dibandingkan di AS. Dana pembangunan Paiton berasal dari hutang yang disalurkan ECA (Export Credit Agencies) asal Negara-negara maju. Korupsi orde baru dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu disetorkan kepada kroni dan keluarga Soeharto”. Ia melanjutkan dengan mengatakan “Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan lahan sampai monopoli suplai batu bara, dihadiakan tanpa tender kepada konspirasi korporatokrasi dengan kleptokrasi. Setelah Soeharto lengser, ketahuanlah nilai proyek Paiton terinflasi 72 persen. Akibatnya Indonesia selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dolar AS per kWh walaupun kemampuan pemerintah Cuma 2 sen dolar AS”.
Hal lain yang cukup jelas perbandingan antara masa pemerintahan Soekarno dengan Soeharto adalah Sistem kontrak karya versi Soekarno yang sebelumnya Soekarno menerbitkan Regulasi 18 yang dikaitkan dengan penolakannya terhadap paket stabilisasi IMF. Sistem ini menegaskan pemerintah memiliki kedaulatan atas kekayaan minyak bumi sampai komoditas itu diangkut ketempat penjualan (point of sale). Dibandingkan dengan system PSA (Profit Sharing Agreement) versi Soeharto. PSA seolah-olah menempatkan pemerintah sebagai pemilik, sementara MNC kontraktor. Padahal pada praktiknya, MNC yang mengontrol ladang minyak yang mendatangkan laba berlipat ganda. PSA seolah-olah pembagian hasilnya yang adil, padahal tidak.
Demikianlah seterusnya, Modal Internasional semakin membengkak karena memperoleh keuntungan yang melimpah diantaranya: hasil menjarah alam milik Indonesia yang diperolehnya begitu menguntungkan, pekerja Indonesia yang digaji begitu murah, system perundang-undangan yang membebaskan iklim investasi asing di dalam negeri, serta peran aktif militer Indonesia dalam mengamankan setiap hasil investasi asing. Kemudian masih banyak lagi yang dengan bebasnya bisa dinikmati oleh Pemilik Modal Internasional dan para sahabatnya. Sementara sebagian rakyat telah berbenah diri untuk kabur dengan cara menginvestasikan hartanya di negeri lain jika Indonesia dikemudian hari  mengalami kebangkrutan, itulah para pengusaha dan segolongannya yang berduit. Sedangkan rakyat miskin hanya menjadi korban atas perampasan yang telah terjadi sejak masa colonial terdahulu sampai sekarang.
Jika dipikir lagi maka julukan yang tepat untuk Kapitalis global yang berkuasa seperti Amerika Serikat dan gerombolannya lebih tepat disebut Imperium. Seperti kita ketahui bersama, John Perkins memperkenalkan enam ciri-ciri Imperium sebagai berikut: 1) Mengeksplorasi sumber daya dari Negara yang didominasi, 2) Menguras sumber daya dalam jumlah yang besar yang tidak sebanding dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya, 3) Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakan kebijakannya ketika upaya halus gagal, 4) Menyebarkan bahasa sastra, seni, dan berbagai aspek budayanya keseluruh tempat yang berada dibawah pengaruhnya, 5) Menarik pajak bukan hanya dari warga negaranya sendiri, tapi juga dari orang-orang di Negara lain, dan 6) Mendorong penggunaan mata uannya sendiri di Negara-negara  yang berada dibawah kendalinya.

Apabila kita menganalisa pengakuan John Perkins dan realitas masa kini, maka semua ciri Imperium Global tentu melekat pada AS. Berikut uraiannya: Seperti kata Perkins poin (1 dan 2), Penduduk AS kurang dari 5 persen populasi Dunia, tapi menghabiskan lebih dari 25 persen sumber daya Dunia. Jumlah besar ini sebagian besa terpenuhi melalui eksploitasi Negara-negara lain, khususnya Negara berkembang. Poin 3, AS memiliki angkatan militer terbesar dan tercanggih di Dunia. Para pemimpin dunia paham bahwa kapan saja bahwa kapan saja upaya lain gagal, militer akan turuntangan, sebagaimana yang terjadi di Irak. Poin 4, Bahasa Inggris dan budaya AS mendominasi Dunia. Sekalipun tanah yang dianggap paling suci oleh sebagian agama. Poin 5 dan 6, Meskipun AS tidak menarik pajak dari negara-negara lain secara langsung, dan dolar belum menggantikan mata uang negara lain di pasar lokal, tapi diam-diam korporatokrasi menarik pajak global dan pada kenyataannya dolar menjadi mata uang standar dalam perdagangan Dunia. Proses ini telah berjalan sejak akhir Perang Dunia II, saat standar emas Internasional diubah. Imperium ini tentu menjadi lebih mengerikan Lyndon B. Johnson ataupun pemerintahan Richard Nixon. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *