Oleh:
Fahri H. Samad
Fahri H. Samad
“responde
ergo sum; aku
bertanggung jawab, maka aku ada”
ergo sum; aku
bertanggung jawab, maka aku ada”
detiKawanua.com – Tak
terasa satu periode kepengurusan akab berakhir. Begitu banyak sudah yang kita
lakukan dalam menghidupkan nuansa epistemik dalam tubuh Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), dan juga begitu banyak rintangan yang menghalangi kita. Namun hal
itu merupakan sebuah dinamika organisasi yang terus bergerak menuju kedewasaan.
Dinamika yang terjadi itu bertanda bahwa HMI tetap eksis dalam menyingkapi
tantangan zaman yang begitu kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sebuah
fondasi epistemik yang kokoh dalam menganalisis problem keummatan.
terasa satu periode kepengurusan akab berakhir. Begitu banyak sudah yang kita
lakukan dalam menghidupkan nuansa epistemik dalam tubuh Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), dan juga begitu banyak rintangan yang menghalangi kita. Namun hal
itu merupakan sebuah dinamika organisasi yang terus bergerak menuju kedewasaan.
Dinamika yang terjadi itu bertanda bahwa HMI tetap eksis dalam menyingkapi
tantangan zaman yang begitu kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sebuah
fondasi epistemik yang kokoh dalam menganalisis problem keummatan.
Gagasan
gerakan intelektual merupakan satu seruan mendasar yang ada dalam Islam. Surat
pertama al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, yakni
al-Alaq ayat 1-5, menegaskan satu perintah pengetahuan yang intelektual. Dimana
dalam surat tersebut, Allah menyeru dengan kata “Iqra”, yang dapat
diartikulasikan dengan bacalah dengan total, telitilah dengan sungguh-sungguh,
ketahuilah dengan sebenarnya, pahamilah secara mendalam, dan carilah sampai
ajal menjemput, dan seterusnya. Kata “Iqra” yang bermakna ammar (perintah, red)
tersebut, menegaskan satu prinsip kebertuhanan yang berlandaskan pada
pengetahuan yang intelektual, bukan kebertuhanan yang buta tanpa struktur ilmu
dan pengetahuan yang intelektual. Ini yang ditekankan dalam Khittah Perjuangan
HMI.
gerakan intelektual merupakan satu seruan mendasar yang ada dalam Islam. Surat
pertama al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, yakni
al-Alaq ayat 1-5, menegaskan satu perintah pengetahuan yang intelektual. Dimana
dalam surat tersebut, Allah menyeru dengan kata “Iqra”, yang dapat
diartikulasikan dengan bacalah dengan total, telitilah dengan sungguh-sungguh,
ketahuilah dengan sebenarnya, pahamilah secara mendalam, dan carilah sampai
ajal menjemput, dan seterusnya. Kata “Iqra” yang bermakna ammar (perintah, red)
tersebut, menegaskan satu prinsip kebertuhanan yang berlandaskan pada
pengetahuan yang intelektual, bukan kebertuhanan yang buta tanpa struktur ilmu
dan pengetahuan yang intelektual. Ini yang ditekankan dalam Khittah Perjuangan
HMI.
Islam
merupakan asas yang dipakai oleh HMI dan dalam Islam juga mempunyai bangunan
epistemologi yang alternatif solutif dimana sistemnya tidaklah sekedar dibangun
atas kekuatan opini (inderawi), melainkan sintem yang berlandaskan pada
kekuatan kesadaran kritis atau fondasi intelektualitas (akal budi) dan
spiritualitas. Dan ini merupakan fondasi epistemiknya HMI. Secara sederhana,
epistemologi dimaknai sebagai dasar pengetahuan atau pengetahuan itu sendiri,
yang bersumber dari tataran akal budi yang menghasilkan pendapat (opini) dan
ataupun bersumber dari tataran akal budi yang menghasilkan pada kesadaran
pengetahuan (intelek) dan dari qalbu yang menghasilkan pancaran Ilahi. Ketiga
hal ini merupakan paradigma holistik yang dipakai oleh HMI. Epistemologi yang
ada di HMI tidak lain merupakan pengejawantahan dari pengilmuan Islam dan Islam
sebagai paradigma. Sehingga dalam konteks pertarungan ideologi dunia global,
Islam merupakan alternatif solusi perubahan yang berlandaskan sistem tauhid
(keyakinan muslim) dan menegaskan pada sosial religius (wawasan sosial).
merupakan asas yang dipakai oleh HMI dan dalam Islam juga mempunyai bangunan
epistemologi yang alternatif solutif dimana sistemnya tidaklah sekedar dibangun
atas kekuatan opini (inderawi), melainkan sintem yang berlandaskan pada
kekuatan kesadaran kritis atau fondasi intelektualitas (akal budi) dan
spiritualitas. Dan ini merupakan fondasi epistemiknya HMI. Secara sederhana,
epistemologi dimaknai sebagai dasar pengetahuan atau pengetahuan itu sendiri,
yang bersumber dari tataran akal budi yang menghasilkan pendapat (opini) dan
ataupun bersumber dari tataran akal budi yang menghasilkan pada kesadaran
pengetahuan (intelek) dan dari qalbu yang menghasilkan pancaran Ilahi. Ketiga
hal ini merupakan paradigma holistik yang dipakai oleh HMI. Epistemologi yang
ada di HMI tidak lain merupakan pengejawantahan dari pengilmuan Islam dan Islam
sebagai paradigma. Sehingga dalam konteks pertarungan ideologi dunia global,
Islam merupakan alternatif solusi perubahan yang berlandaskan sistem tauhid
(keyakinan muslim) dan menegaskan pada sosial religius (wawasan sosial).
Kata
intelektual sendiri mempunyai arti cendekiawan, intelegensia, kecerdasan yang
bersumber dari akal pikiran dan akal budi. Ali Syariati dalam bukunya Ideologi
Kaum Intelekual, menyebut seorang intelektual dan sebutan Rausyan Fikr, sebuah
kata Parsi yang berarti “pemikir tercerahkan”. Yang dimaksud pemikir
tercerahkan yaitu bukan hanya memiliki aspek intelektual saja, melainkan
memiliki aspek kepekaan (emosional) dan spiritualitas. Lebih jauh, Ali Syariati
mengungkapkan, bahwa seorang intelektual berbeda dengan seorang ilmuwan.
Seorang intelektual menemukan kebenaran, sedangkan ilmuwan menemukan kenyataan.
Seorang intelektual memberikan penilaian sebagaiman seharusnya, sedangkan
ilmuwan hanya sekedar menampilkan fakta. Seorang intelektual berbicara dengan
bahasa kaumnya, sedangkan ilmuwan berbicara dengan bahasa yang universal.
intelektual sendiri mempunyai arti cendekiawan, intelegensia, kecerdasan yang
bersumber dari akal pikiran dan akal budi. Ali Syariati dalam bukunya Ideologi
Kaum Intelekual, menyebut seorang intelektual dan sebutan Rausyan Fikr, sebuah
kata Parsi yang berarti “pemikir tercerahkan”. Yang dimaksud pemikir
tercerahkan yaitu bukan hanya memiliki aspek intelektual saja, melainkan
memiliki aspek kepekaan (emosional) dan spiritualitas. Lebih jauh, Ali Syariati
mengungkapkan, bahwa seorang intelektual berbeda dengan seorang ilmuwan.
Seorang intelektual menemukan kebenaran, sedangkan ilmuwan menemukan kenyataan.
Seorang intelektual memberikan penilaian sebagaiman seharusnya, sedangkan
ilmuwan hanya sekedar menampilkan fakta. Seorang intelektual berbicara dengan
bahasa kaumnya, sedangkan ilmuwan berbicara dengan bahasa yang universal.
Seorang
intelektual dalam konteks pemikiran Ali Syariati merupakan komunitas yang
terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Menangkap aspirasi masyrakatnya dan
memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang. Sedangkan
menurut Julian Benda, kaum intelektual pada dasarnya, kegiataanya tidak
didasarkan pada tujuan dan kepentingan praktis. Tetapi mereka, dalam kapasitas
intelektualnya, membantu masyarakat menemukan kepuasan dalam konteks
intelektualitasnya. Dapat kita tegaskan, merupakan komunitas yang memegang teguh
prinsip penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan yang universal.
intelektual dalam konteks pemikiran Ali Syariati merupakan komunitas yang
terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Menangkap aspirasi masyrakatnya dan
memberikan solusi pemecahan terhadap permasalahan yang berkembang. Sedangkan
menurut Julian Benda, kaum intelektual pada dasarnya, kegiataanya tidak
didasarkan pada tujuan dan kepentingan praktis. Tetapi mereka, dalam kapasitas
intelektualnya, membantu masyarakat menemukan kepuasan dalam konteks
intelektualitasnya. Dapat kita tegaskan, merupakan komunitas yang memegang teguh
prinsip penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan yang universal.
Komunitas
inilah yang saya sebut sebagai HIMPUNAN. Himpunan itu, bisa dilihat dalam
puisinya Soe Hok Gie, “kita begitu berbeda dalam semua, kecuali
dalam cinta”. Di dalam himpunan, kita tidak dituntut untuk identik
dalam semua hal, melainkan berbeda tetapi integral. Dan untuk mempersatukan
itu, maka dibutuhkan Cinta. Cinta dalam pengertian ini, yaitu sesuatu yang
membuat orang bergerak ke arah yang diinginkan (philos). Karena hakekat dari
cinta adalah pengetahuan, dan dengan pengetahuan itulah maka kita akan
memberdayakan intelek dan sampai pada kebijaksanaan dalam berpikir dan
bertindak, sesuai dengan perkataan Kang Jalal, adil dulu dalam berpikir baru engkau bertindak. Hal ini senada juga
dengan perkataan Erick Fromm dalam “the Art of Loving”, yaitu, “tujuan
pernikahan bukanlah berpikir sama, melainkan berpikir bersama”. Yang dimaksud
dengan “pernikahan” yaitu Himpunan itu sendiri. Karena ketika kita dilantik
menjadi anggota HMI, kita di ba’iat oleh pengurus HMI secara sakral, maka
banyak hal yang didapatkan seperti kesenangan, kebahagiaan, kegembiraan; begitu
juga kesengsaraan, kesusahan, dan lain-lainnya. Dan ini dinamakan dengan cinta
sejati. Sebagaimana sesuai dengan perkataan yang sering dikemukakann oleh kanda
Indra Asiali, “antara Ada dan tiada terdapat jalinan cinta sejati”. Inilah
makna Himpunan. Ada dan tidak ada kita dalam tempat tersebut, kita tetap
dihargai. Dengan demikian, tujuan kita untuk masuk HMI bukan untuk sama,
melainkan bersama dalam membangun HMI. Dan aktivitas yang kita lakukan bukan
tidak berlandasan, akan tetapi mempunyai sebuah landasan yang kokoh, kuat, dan
progresif, yang tertuang dalam Khittah Perjuangan HMI.
inilah yang saya sebut sebagai HIMPUNAN. Himpunan itu, bisa dilihat dalam
puisinya Soe Hok Gie, “kita begitu berbeda dalam semua, kecuali
dalam cinta”. Di dalam himpunan, kita tidak dituntut untuk identik
dalam semua hal, melainkan berbeda tetapi integral. Dan untuk mempersatukan
itu, maka dibutuhkan Cinta. Cinta dalam pengertian ini, yaitu sesuatu yang
membuat orang bergerak ke arah yang diinginkan (philos). Karena hakekat dari
cinta adalah pengetahuan, dan dengan pengetahuan itulah maka kita akan
memberdayakan intelek dan sampai pada kebijaksanaan dalam berpikir dan
bertindak, sesuai dengan perkataan Kang Jalal, adil dulu dalam berpikir baru engkau bertindak. Hal ini senada juga
dengan perkataan Erick Fromm dalam “the Art of Loving”, yaitu, “tujuan
pernikahan bukanlah berpikir sama, melainkan berpikir bersama”. Yang dimaksud
dengan “pernikahan” yaitu Himpunan itu sendiri. Karena ketika kita dilantik
menjadi anggota HMI, kita di ba’iat oleh pengurus HMI secara sakral, maka
banyak hal yang didapatkan seperti kesenangan, kebahagiaan, kegembiraan; begitu
juga kesengsaraan, kesusahan, dan lain-lainnya. Dan ini dinamakan dengan cinta
sejati. Sebagaimana sesuai dengan perkataan yang sering dikemukakann oleh kanda
Indra Asiali, “antara Ada dan tiada terdapat jalinan cinta sejati”. Inilah
makna Himpunan. Ada dan tidak ada kita dalam tempat tersebut, kita tetap
dihargai. Dengan demikian, tujuan kita untuk masuk HMI bukan untuk sama,
melainkan bersama dalam membangun HMI. Dan aktivitas yang kita lakukan bukan
tidak berlandasan, akan tetapi mempunyai sebuah landasan yang kokoh, kuat, dan
progresif, yang tertuang dalam Khittah Perjuangan HMI.
Kehidupan
seorang kader hijau-hitam (kader HMI, red), fitrahnya terintegrasi dengan
pengetahuan dan kebebasan. Perjuangan yang senantiasa dikumandangkan dalam
dirinya merupakan atas dasar satu kemanusiaan untuk menegakkan nilai-nilai
kemartabatan dan keadilan. Karenanya seorang kader HMI sebenarnya tidak
dimiliki oleh HMI saja. Eksistensinya tidak berada dalam ruang yang berpihak
pada satu kelompok, melainkan hidup dalam ruang pengabdian untuk mewujudkan
cita-cita luhur martabat kemanusiaan universal. Dalam bahasa yang lebih
tegasnya, mereka akan senantiasa kritis dan berani terhadap siapapun, termasuk
terhadap kelompok yang mereka tergabung di dalamnya. Atau dengan bahasa lain,
kader HMI mampu mewarnai semua bidang kehidupan dimana pun mereka berada.
seorang kader hijau-hitam (kader HMI, red), fitrahnya terintegrasi dengan
pengetahuan dan kebebasan. Perjuangan yang senantiasa dikumandangkan dalam
dirinya merupakan atas dasar satu kemanusiaan untuk menegakkan nilai-nilai
kemartabatan dan keadilan. Karenanya seorang kader HMI sebenarnya tidak
dimiliki oleh HMI saja. Eksistensinya tidak berada dalam ruang yang berpihak
pada satu kelompok, melainkan hidup dalam ruang pengabdian untuk mewujudkan
cita-cita luhur martabat kemanusiaan universal. Dalam bahasa yang lebih
tegasnya, mereka akan senantiasa kritis dan berani terhadap siapapun, termasuk
terhadap kelompok yang mereka tergabung di dalamnya. Atau dengan bahasa lain,
kader HMI mampu mewarnai semua bidang kehidupan dimana pun mereka berada.
Dengan
demikian, tidaklah mudah untuk menjadi seorang kader HMI yang intelektual. Tidaklah
cukup menjadi orang pintar dan mengetahui banyak hal serta tidak cukup dengan
menggunakan simbol-simbol akademik dan keilmuan. Menjadi seorang kader HMI yang
intelektual membutuhkan komitmen, integritas, akseptabilitas dan kejujuran
serta keadilan.
demikian, tidaklah mudah untuk menjadi seorang kader HMI yang intelektual. Tidaklah
cukup menjadi orang pintar dan mengetahui banyak hal serta tidak cukup dengan
menggunakan simbol-simbol akademik dan keilmuan. Menjadi seorang kader HMI yang
intelektual membutuhkan komitmen, integritas, akseptabilitas dan kejujuran
serta keadilan.
Kalau
dikaitkan dengan Islam, seorang intelektual sesungguhnya generasi para nabi
yang dalam doktrin Islam disebut sebagai ulama, dan di dalam HMI disebut dengan
Insan Ulul Albab. Insan Ulul Albab lebih jauh sebenarnya tidaklah dibangun atas
kuasa materialistik dan simbol-simbol, melainkan tokoh yang membumi dengan
masyarakatnya, memahami bahasa mereka, dan tidak pernah berhenti mendengarkan
jerit tangis masyarakat serta memperjuangkan keadilan masyarakatnya untuk lebih
baik dan membebaskan mereka dari berbagai macam tirani. Sebenarnya seorang
kader HMI ditakdirkan untuk senantiasa gelisah, melawan, sabar dan ikhlas,
karena sesungguhnya mereka mempunyai tanggung jawab pengabdian kepada sang
Pencipta. Sehingga setiap tingkah laku dan hidupnya senantiasa dilandaskan
hanya untuk Allah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang diridhoi-Nya, dan ini
merupakan salah satu ciri Insan Ulul Albab. Dalam setiap perjuangan dan
perilakunya tidaklah berorientasi kepada kepentingan material harta, kawan lain
jenis, kekuasaan dan lainnya, melainkan hanyalah mencari ridho Allah SWT untuk
perwujudan kemanusiaan yang universal (rahmatan lil alamin).
dikaitkan dengan Islam, seorang intelektual sesungguhnya generasi para nabi
yang dalam doktrin Islam disebut sebagai ulama, dan di dalam HMI disebut dengan
Insan Ulul Albab. Insan Ulul Albab lebih jauh sebenarnya tidaklah dibangun atas
kuasa materialistik dan simbol-simbol, melainkan tokoh yang membumi dengan
masyarakatnya, memahami bahasa mereka, dan tidak pernah berhenti mendengarkan
jerit tangis masyarakat serta memperjuangkan keadilan masyarakatnya untuk lebih
baik dan membebaskan mereka dari berbagai macam tirani. Sebenarnya seorang
kader HMI ditakdirkan untuk senantiasa gelisah, melawan, sabar dan ikhlas,
karena sesungguhnya mereka mempunyai tanggung jawab pengabdian kepada sang
Pencipta. Sehingga setiap tingkah laku dan hidupnya senantiasa dilandaskan
hanya untuk Allah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang diridhoi-Nya, dan ini
merupakan salah satu ciri Insan Ulul Albab. Dalam setiap perjuangan dan
perilakunya tidaklah berorientasi kepada kepentingan material harta, kawan lain
jenis, kekuasaan dan lainnya, melainkan hanyalah mencari ridho Allah SWT untuk
perwujudan kemanusiaan yang universal (rahmatan lil alamin).
Untuk
menjadi seorang kader HMI yang otentik membutuhkan pentahapan dan proses yang
holistik. Mulai dari kemampuan epistemologi (intelektual), kepekaan dalam
melihat problem (emosional), dan mempunyai landasan spiritual yang kokoh. Satu
hal yang fundamental dalam terma intelektual, adalah kebenaran ‘idea’ atau
sebuah gagasan, dialektik dan ruang-ruang diskursif – kritisisme dalam berbagai
ruang dan tempat.
menjadi seorang kader HMI yang otentik membutuhkan pentahapan dan proses yang
holistik. Mulai dari kemampuan epistemologi (intelektual), kepekaan dalam
melihat problem (emosional), dan mempunyai landasan spiritual yang kokoh. Satu
hal yang fundamental dalam terma intelektual, adalah kebenaran ‘idea’ atau
sebuah gagasan, dialektik dan ruang-ruang diskursif – kritisisme dalam berbagai
ruang dan tempat.
Keyakinan
sebenarnya merupakan manifestasi dari ideologi. Dimana eksistensi ideologi
sebagai sebuah gagasan yang terstruktur secara ilmu, tidak dibentuk dari
kekuatan ide atau gagasan. Dalam konteks ini, untuk mencapai keyakinan atau
ideologi, seseorang haruslah berfikir secara rasional dan sistemik terlebih
dahulu terhadap pikiran keyakinannya. Sehingga tidak terdapat penyesalan
sedikitpun serta tidak goyah, apabila dibenturkan dengan berbagai situasi dan
kondisi yang akan mengacaukan dan merancukan pemikiran yang berkohesi dengan
keyakinannnya.
sebenarnya merupakan manifestasi dari ideologi. Dimana eksistensi ideologi
sebagai sebuah gagasan yang terstruktur secara ilmu, tidak dibentuk dari
kekuatan ide atau gagasan. Dalam konteks ini, untuk mencapai keyakinan atau
ideologi, seseorang haruslah berfikir secara rasional dan sistemik terlebih
dahulu terhadap pikiran keyakinannya. Sehingga tidak terdapat penyesalan
sedikitpun serta tidak goyah, apabila dibenturkan dengan berbagai situasi dan
kondisi yang akan mengacaukan dan merancukan pemikiran yang berkohesi dengan
keyakinannnya.
Dalam
perspektif inilah kita melihat bahwa untuk mencapai komitmen dan perjuangan
hidup di sisi Allah SWT, selain melandaskan kepada keberimanan kepada Allah SWT
juga meniscayakan landasan pada kemampuan intelektualitas, rasionalitas, dan
membuka ruang-ruang kritisime terhadap berbagai realitas yang kita hadapi.
Sehingga kita tidak terjebak pada berbagai kepentingan, baik politik, ekonomi,
hukum, dan lain sebagainya, yang nota bene kecenderungannya
mengkambing-hitamkan agama. Semoga.
perspektif inilah kita melihat bahwa untuk mencapai komitmen dan perjuangan
hidup di sisi Allah SWT, selain melandaskan kepada keberimanan kepada Allah SWT
juga meniscayakan landasan pada kemampuan intelektualitas, rasionalitas, dan
membuka ruang-ruang kritisime terhadap berbagai realitas yang kita hadapi.
Sehingga kita tidak terjebak pada berbagai kepentingan, baik politik, ekonomi,
hukum, dan lain sebagainya, yang nota bene kecenderungannya
mengkambing-hitamkan agama. Semoga.
* Penulis adalah Kader HMI Cabang Manado