Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

INDONESIA KE NUSANTARA

×

INDONESIA KE NUSANTARA

Sebarkan artikel ini
Penulis: Hi. Muhsin Bilfaqih

detiKawanua.com – Ada yang terkikis dari kearifan lokal yang diwariskan dari para leluhur Bangsa ini. 
Semangat gotong royong luntur dan semakin tergantikan oleh sifat individualistis. 
Tenggang rasa dan toleransi yang tumbuh kuat ditopang akar kemajemukan bangsa, kini menipis.
Dengan cepat tergeser sikap mudah curiga maupun mudah mencela.
Sepertinya begitu sulit bagi sebagian kita untuk tidak melontarkan kata hinaan ataupun tudingan tanpa klarifikasi terlebih dahulu. 
Inilah potret dimana nama Indonesia semakin tergerus menipis dan tak kuat lagi membendung arus rotasi kehidupannya.
Potret nama Indonesia benar-benar terlucuti dan perlahan-lahan tak mampu bertahan.
Tidak mengherankan bila konflik demi konflik berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan, tiada hentinya bermunculan. 
Label-label negatif dan stereotip disematkan untuk menjustifikasi serangan.

Kita merasa sedih saat ada saudara yang melontarkan ucapan dan tindakan rasialis terhadap saudara lainnya yang sebangsa. 
Lebih memprihatinkan lagi ketika dengan mudahnya pihak-pihak yang menginginkan kekacauan di negeri ini, ikut menunggangi. 
Kita lihat secara akurat dengan isu pengusiran mahasiswa asal Papua dari Malang dan Surabaya membesar dan makin liar.
Hasilnya seperti yang terjadi kemarin, saudara-saudara di Papua dan Papua Barat terpancing emosi mereka. Sejumlah insiden kerusuhan terjadi. 

Itu adalah bagian bahwa Nama Indonesia yang tak kuat lagi menanggung derita ini.
Lagi-lagi peristiwa itu membuktikan isu SARA telah menjadi basis yang paling mudah dipakai untuk memprovokasi dan mengadu domba.

Beruntung masih tersisa sedikit warisan kearifan luhur yang melekat. Para pemimpin berupaya menenangkan situasi dengan cara-cara damai. 
Himbauan demi himbauan disampaikan berbagai kalangan agar semua pihak menahan diri dan menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Walikota Surabaya Tri Rismah, dan Walikota Malang Sutiaji, dengan kerendahan hati meminta maaf kepada saudara-saudara asal Papua dan Papua Barat yang merasa ditekan tindakan rasialis.
Sikap yang benar-benar terpuji. Patut pula warga mengikuti dengan lebih mawas diri dan mengedepankan tenggang rasa. 
Saudara-saudara di Tanah Papua pun merespons dengan meredakan emosi diri.
Tentu lebih jauh kita berharap mereka bisa mengesampingkan ego dan mengutamakan suasana damai dan persatuan bangsa hingga bersedia memaafkan.
Memaafkan itu sangat sulit, bahkan mungkin mustahil, bagi orang-orang yang tidak mampu mengendalikan amarah dan selalu diliputi kebencian. 
Akan tetapi, kepala yang dingin dan hati yang terpaut pada perdamaian akan mudah memberi maaf.

Sikap tenggang rasa seyogianya perlu kembali dipupuk. Semangat toleransi dan saling menghormati hak sesama warga negara merupakan bagian dari kualitas sumber daya manusia yang unggul. 
Rasa persaudaraan yang tinggi tanpa memandang latar belakang SARA akan melandasi kolaborasi harmonis mewujudkan Indonesia maju. Bukan sekadar menjadi negara maju, melainkan juga dengan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. 
Itu semua harus dimulai dengan menyingkirkan diskriminasi dan sikap penuh prasangka, maupun kebiasaan memandang rendah segolongan saudara yang lainnya. 

Yang lebih penting lagi menjaga perdamaian sebab pembangunan hanya bisa berjalan dalam suasana damai.

Dan wajib dicatat, semua ini bisa terwujud jika nama Indonesia dirubah menjadi Nusantara.
Ingat, kita semua Bersaudara. Papua yang damai ialah untuk Republik Nusantara damai. #

Manado 19 Agustus 2019


(Penulis adalah Staf Khusus Gubernur Sulawesi Utara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *