Manado, detiKawanua.com – Gambaran teori tentang governabilitas sebuah pemerintahan demokratis, antara lain diungkapkan ilmuwan sosial Ralf Dahrendorf, beberapa dekade lalu. Mengutip Theodor Schieder, Dahrendorf, dalam sebuah artikelnya berjudul, Effectiveness and Legitimacy: On the ‘Governability’ of Democracy (The Political Quarterly, 1980), mencirikan adanya empat macam krisis governabilitas (‘ungovernability’) pemerintah dalam memfungsikan tugas-tugasnya. Pertama, ada kelemahan atau sama sekali tidak ada pengungkapan kemauan politik yang seragam karena consensus politik. Kedua, proses pengambilan keputusan, karenanya, terancam serius atau tidak mungkin lagi.
Ketiga, lembaga-lembaga politik dan birokrasi yang ada tidak berfungsi lagi, tidak cukup dan tidak cocok. Keempat, akibatnya, fungsi kelestarian diri (self-preservation) dihadapkan pada ancaman. Kegagalan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahannya, antara lain ditandai dengan ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan perubahan, sehingga masyarakat tak bisa lagi diperintah (ungavernabele), karena tak mmpuh lagi ‘melestarikan dirinya’ dalam Negara. Bila masyarakat tak mau diperintah (ungavernabele society), maka sungguh pemerintah telah gagal (setidaknya, tidak efektif) dalam memerintah.
Hari-hari ini Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi, Negara tampak gaduh dari segi social, politik dan eknomi. Itu artinya, Jokowi gagal menjalankan roda pemerintahan yang baik (good governance). Paham governability berbicara soal efektivitas pemerintah. Disatu sisis, paham ini mengatakan kepada kita bahwa apakah pemerintah dapat mengatasi persoalan kebangsaan saat ini? Disisi lainnya, kita diperhadapkan dengan pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi sekarang bisa memepertahankan legitimasinya?.
Yang juga membuat efektivitas pemerintah (demokrasi) lemah, adalah tatkala kepemimpinan pemerintahan Jokowi memiliki “beban yang berlebihan” (overloading). Tafsirannya bisa luas. Antara lain, apabila pemerintah telah menetapkan agenda-agenda dan tujuan-tujuan baru, yang suda harus dilaksanakan, padahal, pekerjaan-pekeraan lama yang pada hakekatnya sama pun belum kunjung tuntas. Pemerintah demokrasi juga diperhadapkan pada, bukan pada persoalan teknis sehari-hari, yang mana disaat banyak sekali ditemukan overloading (terutama di wilayah birokrasi), tapi juga persoalan yang tak kalah penting, legitimasi (moral).
Bila efektivitas pemerintah dalam menyesuaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya kendur, dimana ia berada dalam posisi ungovernability, maka tentu saja legitimasinya terancam. Sebab, ketidakefektivan itu menyulut ketidakpuasan-ketidakpuasan. Legitimasi pemerintah makin parah bila, dari sudut moral politik, banyak pelanggaran yang terjadi-sehingga menyebabkan kalangan parlemen membikin ‘mosi tidak percaya’. Maka di Indonesia saat ini, Jokowi dalam posisi itu.
Salam hangat penulis.