Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

(OPINI): Tanda (?) Pilkades Serentak di Halsel

×

(OPINI): Tanda (?) Pilkades Serentak di Halsel

Sebarkan artikel ini
Tanda (?) Pilkades
Serentak di Halsel


Penulis: Rifaldi
Rahalus
Mantan Ketua Hipma Halsel Manado Periode 2014-2015, Ketua Umum HMI-MPO Cabang Manado Periode 2016-2017
Mengawali tulisan ini, perlu saya sampaikan bahwa kehadiran
kita semua saat ini berada di era digital, era serba komplit dari sudut pandang
teknologi. Artinya bahwa, dengan adanya fasilitas teknologi yang memadai
seperti sekarang ini, kejadian dalam bentuk apa saja yang terjadi dibelahan dunia
barat sekejab saja bisa diketahui oleh mereka yang berada di belahan dunia
timur karena kemajuan teknologi tentunya. Termasuk perkembangan di daerah
sampai ke pelosok Desa. Meskipun sebagian besar daerah pelosok saat ini
terbukti masih belum bersentuhan langsung dengan teknologi secara merata hingga
mengakibatkan keterbatasan akses informasi secara memadai.

Tak bisa dimungkiri, kondisi demikian masih dirasakan oleh
masyarakat Desa Wayaua, Kecamatan Bacan Timur Selatan, Kab.Halmahera Selatan.
Desa yang secara administratif adalah Ibu Kota Kecamatan Bacan Timur Selatan itu,
menjadi layak tampil sebagai sebutan Ibu Kota jika dilihat dari aspek geografis
dan jumlah penduduknya semata, akan tetapi tidak demikian jika dilihat dari
aspek yang lain misalnya; fasilitas informasi dan komunikasi yang ada disana,
Desa Wayaua dan kehidupan didalam tidak bedanya dengan sebuah kelompok manusia
yang hidup di jaman primitif yang belum bersentuhan dengan dunia modern
sehingga sangat tidak layak disebut sebagai sebuah Desa apalagi sebagai Ibu
Kota Kecamatan karena sangat jauh dari kemajuan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi. 

Bukan bermaksud menjelek-jelekan tempat kelahiran
saya, namun ini bagian dari bentuk kegelisahan saya selaku generasi muda dan
juga bagian dari masyarakat atas kondisi dan realita yang ada di Desa tersebut.
Tetapi sangat disayangkan karena persoalan itu belum ada perhatian serius dari
pemerintah meskipun sudah menjadi keluhan panjang masyarakat disana. Pun, saya
dan kita semua putra-putri Desa Wayaua yang saat ini masih berada di rantau
(Study dll), merasa bahwasanya daerah kami bukanlah yang paling terbelakang/ketinggalan
akan akses informasi dan komunikasi karena masih banyak daerah lain di Halsel yang
masih jauh tertinggal. Karena kita masih bisa membaca informasi atas kejadian
yang terjadi di Desa Wayaua juga Kabupaten Halsel.

Oleh karena itu, jangan
sampai ada ungkapan bahwa kita (dirantau) tidak mengetahui perkembangan Desa
yang sesungguhnya, jadi jangan berbicara ngawur atau asal-asalan. Apalgi
menegenai perkembangan daerah baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya serta
politik. Termasuk momentum Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) secara serentak.
Dari sumber yang saya rangkum, Pilkades terpaksa ditundah hingga 12 November
dari jadwal yang sebelumnya ditetapkan 19 Oktober lalu. Sebenarnya pembatalan
jadwal Pilkades bukan pertama kali terjadi. Pilkades seharusnya sudah
terlaksana sejak 2014 akhir menyusul beberapa Desa yang masa jabatan Kepala
Desa-nya (Kades) dinyatakan habis dan Desa bersangkutan dibawah pimpinan
carateker, akhirnya ditunda hingga sempat dijadwalkan pada 2015 lalu. Namun
lagi-lagi kembali tertunda hingga 12 November 2016 mendatang. Sampai sejauh ini
saya belum mengetahui secara pasti alasan mengapa Pilkades harus ditunda lagi.
Terus terang, banyak sumber yang sampai detik ini membantu
saya mengikuti proses dan perkembangan Pilkades di Halsel pada umumnya dan Desa
Wayaua khususnya. Saya tidak saja mengamati perkembangan Pilkades dari sumber
berita, akan tetapi secara langsung juga sewaktu saya kembali ke kampung
halaman (Wayaua) Oktober lalu. Saya melihat fenomena sosial masyarakat Halsel
dan Wayaua menjelang Pilkades saat itu dan perkembangannya sampai hari ini
tampaknya seperti ada “predator” yang siap dan saling memangsa antara
satu sama lain. Pertarungan antar kelas (borjuis dan proletar) terus menghangat,
bahkan aksi adu fisik sempat hampir terjadi, saking panasnya moment yang
digelar lima tahun sekali itu. Peristiwa ini saya saksikan dengan mata
telanjang sewaktu berada di kampung. Hal ini tak lain hanya karena demi tahta
dan kekuasaan yang diperebutkan, karena legitimasi dan status sosial dimata
masyarakat, bagi mereka yang haus akan kekuasaan ketimbang sebuah kekeluargaan
dan keharmonisan yang sudah lama terjaga ditengah perbedaan suku, agama, ras
dan kebudayaan yang beragam di Halsel terkhusus di Desa Wayaua
.
Bulan lalu bahkan mungkin sampai hari ini, jika saudara/i
berkunjung ke Ibu Kota Kabupaten (Labuha), banyak sekali tuntutan yang
disampaikan masyarakat dalam bentuk aksi unjuk rasa ke Pemda Kabupaten dari
berbagai Desa. Tuntutan mereka masih seputar Pilkades, dan saya beberapa kali
bertemu dengan massa saat tengah aksi di sepanjang jalan Kota Labuha dan pusat
aksi mereka tepat di depan Kantor Bupati. Mereka adalah pemuda/i dari Desa Tawa
Kec.Kasiruta Timur yang berharap keadilan bisa ditegakkan di Bumi Halsel.
Mereka “Menuding” bahwa Pilkades serentak kali ini sarat kepentingan
pengendali kekuasaan di Halsel saat ini. Dan saya sangat sepakat dengan
analisis intelektual mereka, disamping bukti dan data akurat yang mereka
sertakan berupa SK panitia Pilkades yang tidak jelas dan ada beberapa poin lagi
yang menurut mereka bertentangan dengan UU, dan menurut mereka juga persoalan
tersebut turut melibatkan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Halsel.

Secara struktural pemerintahan di Kabupaten Halmahera Selatan
(Halsel), terdapat 30 kecamatan dan telah ditetapkan sebelumnya 183 Desa yang akan
melaksanakan Pilkades serentak. Akan tetapi terjadi perubahan hingga hanya
terdapat 172 Desa yang akan menggelar hajan Pilkades (Nusantaratimur.com). Hal
ini dikarenakan faktor kesiapan Pilkades yang belum memadai, entah kesiapan
dari segi apa hingga bisa mempengaruhi jadwal yang sudah ditetapkan berulang
kali itu. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat, mengapa bisa
demikian, kenapa Pilkades terus ditundah? Yang pasti pengaruh terbesarnya ada
dalam lingkup politik dan kekuasaan, artinya bahwa hajatan ini bisa berjalan
dengan cepat tanpa hambatan jika dilaksanakan secara politis. Dengan kata lain,
intervensi Pemda dalam hal ini adalah wajar jika seluruh masyarakat Halsel
terutama Desa yang akan menggelar Pilkades ingin agar agenda tersebut berjalan
mulus dan cepat. Dan ini merupakan ciri praktek “politik kotor” yang
sesungguhnya sebagaimana stigma masyarakat umum ketika menilai politik, padahal
bukanlah politiknya namun pelaku didalamnya yang seharusnya dijustis demikian.

Atas dasar itu maka saya sangat yakin ragam pertanyaan akan
terus lahir di tengah masyarakat belum ada kejelasan pasti. Maka dari itu dalam
kesempatan ini saya mencoba berikan sedikit penjelasan mengenai politik.
Sejatinya bahwa, politik itu adalah seni. Seni untuk mempengaruhi orang banyak
melalui sebuah ungkapan kata, sikap dan keberanian seseorang melalui
prediksinya terhadap sebuah kemajuan daerah dan masyarakat didalamnya sekarang
dan dimasa mendatang. Politik juga adalah proses kemampuan seseorang atau
kelompok dalam melihat perkembangan sosial masyarakat kedepan melalui gejala
sosial masyarakat hari ini. Selebihnya politik adalah aturan-aturan berupa
strategis dan kebijakan yang dibuat oleh orang atau kelompok tertentu dan
diharapkan dapat dilaksakan bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Kaitannya dengan itu, politik yang diduga saat ini dimainkan
pihak Pemerintah Daerah melalui momen Pilkades, atau dengan kata lain
intervensi Pemda adalah politik jangka panjang. Yang dalam bahasa trennya
adalah proses penciptaan bangunan “Politik Dinasti” yang hanya
mementingkan keluarga dan kerabat terdekat mereka saja lalu mengabaikan hak
demokrasi orang lain, dan ini jelas-jelasnya bertentangan dengan amanat UU di
negara yang masyarakatnya begitu menjunjung tinggi akan praktek demokrasi.
Lebih jelas lagi, permainan politik Pemda hari ini adalah demi memperkuat basis
menuju Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018 mendatang. Disini saya tidak sekedar
mengait-ngaikan antara Pilkades dan Pilgub, bukan pula sekedar berwacana,
tetapi ini berdasarkan analiisis saya secara sehat juga berdasarkan data
akurat, dan yang demikian itu saya kira sudah menjadi budaya politik kita di
negeri ini. Bayangkan saja jika seluruh Desa yang tersebar di 30 Kecamatan di
Kabupaten Halmahera Selatan kemudian tidak mengikuti garis politik Pemda
Kabupaten saat ini, terutama Desa yang sedang diperhadapkan dengan Pilkades
maka menjadi sebuah ancaman besar bagi kepentingan penguasa saat ini atas
pleaning prospek politik mereka ke depan yaitu Pilgub. Itulah salah satu alasan
menurut saya kenapa Pilkades terus diulur, bahkan ada kemungkinan jadwal yang
sudah ditetapkan pada 12 November mendatang bisa juga dirubah. Percaya atau
tidak, namun sekali lagi karena itu adalah kebijakan politik penguasa di
Kabupaten.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *