Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

PILKADA DI MATA F.W. NIETZSCHE; Analisis Orang-orang Kuat dan Menang di Pilkada 2017

×

PILKADA DI MATA F.W. NIETZSCHE; Analisis Orang-orang Kuat dan Menang di Pilkada 2017

Sebarkan artikel ini
Oleh: Bustamin Wahid
(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sorong, dan
DirekturRiset Dan PublikasiPasifikRecources Indonesia)

       

Analogi politik dan peperangan beda dalam kebuasaan tetapi sama dalam pergerakan, jika perang kita membunuh banyak orang tetapi hanya terjadi sekali untuk subjek. Tetapi politik dia membunuh banyak orang dan bisa terjadi berulang-ulang kali.
(Prof. Sarson)

detiKawanua.com – Frederic Wilhelm Nietzsche. Jika nama ini muncul di permukaan, publik pasti persis katakan tokoh ini adalah sosok proklamator tentang kematian Tuhan. Sosok Nietzsche menanggalkan tentang agama dan adat karena ketakutan yang menegaskan tentang kebaikan dan keburukan, kita harus bebas dari penjarah dan berada pada ruang kebebasaan.

Namun, narasi kedoxan ini tidak bicara tema tentang kematian Tuhan. Analisis ini mengkaitkan Pilkada 2017 dengan pandangan Nietzsche, sosok tokoh eksistensialisme yang selalu menegaskan tentang kebebasaan dan manusia super (manusia unggul).


Sikap Nietzsche yang terpola dengan logika ke-barat-an yang terus skeptis untuk menuju pada sebuah kebenaraan, sosok yang terpengaruh dengan teori Darwin tentang evolusi dan seleksi alam untuk menjadi manusia unggul dan kuat. Karena sesungguhnya pemaknaan bahwa orang yang lahir adalah orang yang bertahan hidup dan unggul yang tidak bisa disamakan dengan orang lain. Nah sikap penolakan F.W. Nietzsche ini terbangun ketika konsep demokrasi yang selalu menyamakan persamaan hak padahal secara kodrat manusia dimiliki diferensiasi, sifat yang dipelihara bukan disamakan. Tak hanya itu pendapat F.W. Nietzsche yang sangat vulgar ketiga, yaitu kebajikan yang utama adalah kekuatan yang kuatlah yang akan menang, maka perang adalah menentukan siapa yang terkuat dan yang kala tenggelam dan hancur. F.W. Nietzsche orang yang sangat menolak demokrasi dan tidak memberikan solusi yang sifat keumatan dan universalitas, karena disadari demokrasi akan bicara masalah persamaan dan perwakilan satu subjek/individu untuk banyak orang, dan itu akan mematikan potensi lain., Tetapi mau tidak mau dia berada pada episode mengadakan eksistensinya sebagai orang hebat dan kuat yang harus menang dalam pertarungan apapun.
  
Jika disimak, Nietzsche memberikan ketegasan tentang pilihan-pilihan yang bisa dipertegaskan dalam pandangan dan pilihan politik dalam dunia demokrasi. Ragam pandangan ada memilih pada posisi oposisi dan model keputusan sebagai kelompok golput (atau tidak memilih), karena tidak ada figur yang tepat dalam syarat kepemimpinan mereka, atau kelompok ini tidak memiliki sikap pilihan politik karena anggapan tentang keunggulan, kuat, kehebatan, kemenangan dan kebebasaan individunya jauh lebih kuat dan hebat dibandingkan manusia yang lain atau analisis penulis sebagai Nietzschianisme (tidak ada pillihan selain dirinya).
  
Pilkada dalam pandangan Nietzsche adalah ancaman yang bagi potensi banyak orang yang unggul dan hebat, karena prinsip mewakili dan keterwakilan adalah bagain daripada ancaman untuk membunuh potensi subjek/individu. Kerena sesungguhnya kehidupan itu substansinya adalah insting untuk tumbuh, berkembangan dan menumpukan kekuatan, untuk berkuasa jika tidak ada kehendak untuk berkuasa adalah datanglah kehancuran dan kegelapan.
  
Kini telah tiba irisan dalam selimut untuk merebut rekomendasi partai politik telah tiba di depan mata, ada kandidat yang menyapu bersih setiap partai dalam merebut rekomendasi partai politik tanpa sisa.Dan ada juga kandidat yang menguasai rekomendasi partai-partai besar yang menguasai parlemen, ada bakal calon yang tidak berhasil mengkantongi rekomendasi partai politik dan itu bisa terjadi di kompetisi demokrasi. Sehingga sesuai dengan adigium F.W. Nietzsche tentang orang siap mengorbankan orang lain demi perjuangan dirinya. Prinsip ini akan membunuh siapa saja yang akan menerjemahkan kuasanya dan membangun perlawanan secara kekuatan termasuk perlawanan politik. Ini jauh dari oposisi kreatif yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun yang terbuka dan mengedepandakan wilayah intelektual rasional dalam dunia politik dan mendorong potensi-potensi lain yang berkompetisi secara sehat dan elegan.
  
Fenomena politik Nietzscheianisme ini sudah berlaku di mana-mana dalam mengamankan kepentingan politik dalam rebut kekuasaan, semangat seluruh bakal calon yang akan bertarung di pilkada serentak pada 15 Februari 2017 di seluruh Indonesia sebanyak 102 daerah yang terdiri dari 7 Provinsi, 76 Kabupaten, dan 19 Kota (baca: CNN Indonesia). Kepentingan seluruh kandidit untuk merebut partai politik dan ada pula yang perjuangan politiknya di jalur perseorangan (independen) atau Koalisi Tanpa Partai (KTP). Jalur independen ini pun bagian daripada perjuanagan untuk mencari kualitas, kehebatan, unggul dan menang sebagai seorang indidivu dan seorang kandidat yang bertarung. Pada tahapan ini penghujung perjuangan rekomendasi partai politik semakin terlihat untuk bakal calon di daerah seluruh Indonesia, kerena sesungguhnya sudah ada proses dan tahapan pendaftaran yang terjadwal Komisi Pemilihan Umum (KPUD) tiap daerah. Gugur dan kalah dalam proses verifikasi setiap bakal calon yang akan dilakukan KPUD. Kuat, menang, dan unggul ketika mendapat kepercayaan dari rakyat dengan penentuan suara terbanyak dan diplenokan oleh KPU sebagai pemenang.
  
Silogisme dari tulisan ini berada pada dua perspektif yang berbeda sebagai seorang Nietzsche karena di satu sisi dia menolak tentang konsep demokrasi karena alasan persamaan dan kesetaraan, sedangkan di sisi lain adalah Nietzsche menegaskan tentang pertarungan untuk menunjukkan keunggulan, hebat, dan kuat dalam pertarungan itu adalah bagian dari pada naluri politik praktis yang selalu diamalkan dalam instrumen berdemokrasi di Indonesia (pemilihan langsung). Ketegasan perangkat politik sebagai modal politik, sebagaimana modal sosial dan modal finansial sebagai perangkat politik untuk merebut kemenangan. Ketegasan kuat, hebat, unggul dan menang harus menyiapkan seluruh perangkat politik. Narasi ini bagian dari pada tradisi diskursus dalam menyimak realitas yang terjadi dalam dunia politik, di penghujung harapan bisa memperkaya dari sudut dan lokus lain dalam membaca perspektif ini. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *