Manado, detiKawanua.com – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara (Sulut) merupakan lembaga legislatif yang bertugas untuk menyambungkan suara masyarakat Sulut terhadap pemerintah selaku lembaga eksekutif. Oleh karena itu, anggota DPRD adalah representasi dari masyarakat. Demikian juga, seluruh anggota dewan berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat sebagai hak konstitusional mereka.
Namun sangat disayangkan, beberapa kali digelarnya Rapat Paripurna para anggota dewan seakan ditekan untuk tidak mengeluarkan pendapat. Larangan tersebut dibuat oleh Stevanus Vreeke Runtu (SVR) saat diberikan kuasa sebagai Ketua Sementara DPRD Sulut.
Terakhir statemen berupa larangan berbicara para anggota dewan oleh SVR adalah saat digelarnya Rapat Paripurna DPRD mengenai pergantian antar waktu (PAW), Senin (01/02) lalu, seusai anggota fraksi PDIP Julius Jems Tuuk memotong pembicaraan SVR yang sedang memimpin rapat paripurna tersebut.
Sebelumnya, mantan ketua DPRD Provinsi (Deprov) Sulut, Meiva Salindeho Lintang juga mendapat teguran dari SVR setelah Lintang menyampaikan argumennya.
“Sekali lagi saya sampaikan, setiap anggota dewan yang melakukan interupsi harus melalui ijin dari pimpinan fraksi,” kata SVR, dalam paripurna.
Naas, secara spontan larangan SVR yang sebelumnya tidak pernah berlaku oleh pimpinan dewan ini sempat membuat gaduh pada tamu undangan di ruangan rapat dan menjadi perbincangan hangat di lingkungan anggota dewan.
Anggota Deprov Denny Sumolang misalnya, mempertanyakan aturan yang disampaikan SVR tersebut yang menurutnya tidak jelas tertulis dalam Tata Tertib.
“Tidak ada dalam tata tertib interupsi harus seijin ketua fraksi. Karena posisi kami ketika menghadiri rapat paripurna adalah anggota Deprov yang memiliki konstituen di daerah masing-masing,” kata Sumolang.
Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulut, Taufik Tumbelaka menjelaskan, aturan larangan menyampaikan interupsi saat rapat paripurna sama saja dengan mengebiri hak kontitusi anggota Dewan.
“Aturan itu sama saja mengebiri hak konstitusional anggota Deprov sebagai wakil rakyat,” tegas Tumbelaka.
Namun menurut pengamat ini, ada waktu-waktu tertentu memang anggota Deprov Sulut harus mengerti tidak bisa mengeluarkan pendapat dalam sidang.
“Jila memang ada anggota fraksi yang menyampaikan aspirasi di luar izin fraksi, itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan dengan fraksinya. Dan memang harus dimengerti ada paripurna tertentu yang tidak perlu ada pendapat untuk disampaikan. Ini tentu perlu untuk diketahui semua anggota,” jelasnya.
Tumbelaka juga mengingatkan kembali, setiap anggota Deprov perlu mengetahui konteks paripurna yang berlangsung.
“Misalnya soal paripurna pengesahan saja, sebetulnya tidak perlu ada interupsi dan penyampaian pendapat,” pungkas Tumbelaka.
(Rifaldi Rahalus)