Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

(Opini) Jihad “Disandera” Sarinah!

×

(Opini) Jihad “Disandera” Sarinah!

Sebarkan artikel ini

Oleh: Juhlim

detiKawanua.com – Pasca ledakan bom dan penembakan di Sarinah, Jakarta Pusat Kamis 14 Januari lalu membuat masyarakat Jakarta panik. Ledakan bom tersebut, mengakibatkan 15 orang korban luka diantaranya ialah anggota kepolisian.

Diduga pelaku pemboman itu adalah sekelompok orang yang mengatas namakan kelompok ISIS. Selain membuat panik warga Jakarta, namun Islam kini menjadi sorotan Publik sebagai pelaku teror. Media saat ini kebanyakan terlalu berlebihna memberitakan Islam sebagai terorisme. Mereka tidak dapat membedakan mana Islam dan mana pelaku teror. Seperti pernyataan warga Desa Kedungwungu, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, menolak jenazah Ahmad Muhazin alias Ahmad Muhazan alias azan yang menjadi salah satu pelaku dalam penyerangan kelompok teroris di Jakarta, Kamis 14 Januari lalu. (Liputan6.com, Cirebon 17/1/2016).

Menurut hemat penulis, tak hanya keluarga korban yang sedih, namun Islam juga akan di cap sebagai agama yang menakutkan.

Di sisi lain, media saat ini terlau berlebihan dalam menyampaikan informasi. Sebagai media peyampaian informasi untuk masyarakat, seharusnya menyampaikan informasi yang benar-benar terbukti dan tidak mengecilkan kelompok tertentu, seperti Islam. Media yang merupakan sebagai alat untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh informasi tetapi di jadikan sebagai alat untuk memyebarkan fitnah kepada masyarakat.

Sebagai bukti media yang telah melakukan praktek pembohongan publik adalah pada 11 September 2001 lalu, dunia dikejutkan oleh sebuah kasus penyerangan yang luar biasa. Kejadian ini adalah penyerangan kepada gedung kembar World Trade Center dan Pentagon oleh pesawat yang dibajak oleh sekelompok orang yang diduga sebagai teroris dari suatu kelompok ekstrimis umat Islam, yaitu Al-Qaeda. Sekejap setelah kejadian tersebut, hampir seluruh media membombardir masyarakat dengan berita itu.

Masyarakat seolah dijejali dengan fakta teroris atas nama Islam. Hingga muncul istilah “Aksi melawan terorisme”. Kampanye antiterorisme ini datang sendiri dari pihak Barat. Terutama setelah beberapa kejadian mutakhir yang memang cukup menyentak dan menyadarkan kita bahwa retorika citra muslim di media mengalami ledakan ke arah sisi yang negatif justru saat Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet berakhir (Ibrahim, 2005:xxvi).

Sejak saat itu, beberapa kasus terorisme lain kerap bermunculan, katakanlah kasus Bom Bali, Bom JW Mariott, penyergapan orang yang diduga sebagai teroris, NII KW9 dan lain sebagainya. Setiap kasus baru tersebut muncul media selalu membombardir masyarakat dengan alasan bahwa terorisme harus dilawan. Namun disisi lain, kasus terorisme yang diangkat selalu membawa nama Islam.

Meskipun dalam mayoritas berita menyebutkan bahwa pelaku terorisme itu adalah kelompok radikal, namun dampak yang diakibatkan dalam masyarakat luas adalah semakin takutnya masyarakat kepada Islam secara menyeluruh. Sedikit saja ada golongan yang keluar dari konsep moderat, sudah ditakuti dan dianggap radikal. Aksi kekerasan yang dilakukan para teroris di berbagai wilayah di Indonesia, meskipun ditulis atas nama atau dalih agama, dinilai sangat meresahkan dan merusak stabilitas bangsa (Syukron dan Muh. Bahruddin, 2011: 33-41).

Kejadian ini tidak lepas dari peranan media massa sebagai penyebar berita kepada masyarakat luas. Dengan intensnya berita saat kejadian terorisme terjadi, masyarakat menganggap apa yang mereka lihat di berita merupakan apa yang benar-benar terjadi secara menyeluruh di dunia. Sehingga mereka merasa takut dan terancam dengan keadaan. Ibrahim mengatakan bahwa banyak bukti adanya distorsi, misinterpretasi, miskomunikasi, dan misinterpretasi dalam pemberitaan yang dinilai merusak citra Islam (Ibrahim, 2005:xxvii).

Media

Dalam teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. Dengan kata lain untuk mengetahui dunia nyata macam apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh pemirsa televisi. Atau bagaimana media televisi mempengaruhi persepsi pemirsa atas dunia nyata. Asumsi mendasar dalam teori ini adalah terpaan media yang terus menerus akan memberikan gambaran dan pengaruh pada persepsi pemirsanya. Artinya, selama pemirsa kontak dengan televisi, mereka akan belajar tentang dunia (dampak pada persepsi), belajar bersikap dan nilai‐nilai orang (Ido, 2007:8-9).

Televisi adalah sebuah pengalaman yang kita terima begitu saja. Kendati demikian, televisi juga merupakan sesuatu yang membentuk cara berpikir kita tentang dunia (Burton, 2011:1).

Terorisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005), kata ”terorisme” mempunyai makna penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

Meski demikian, arti kata “terorisme” masih menjadi perdebatan hingga saat ini, meskipun beberapa ahli sudah banyak yang merumuskan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan “perang melawan teroris” belum memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan dan dimarjinalkan. Hal ini mengakibatkan kerancuan atas arti kata “terorisme” itu sendiri.

Sebagian besar mengaitkan pemahaman “terorisme” ini adalah persoalan terhadap pelanggaran HAM. Seperti ditegaskan Wahid, dkk dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum” menyatakan bahwa karena akibat terorisme, banyak kepentingan manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian antar umat manusia jelas-jelas dipertaruhkan. (A. Wahid, dkk, 2004:21)

Jihad dalam Islam

Terdapat beberapa kekeliruan yang perlu diklarifikasi terutama terkait dengan pemaknaan jihad di dalam Islam. Pemaknaan perang atau jihad yang banyak ditulis oleh sarjana Barat cenderung mencampuradukkan antara term terorisme dengan jihad. Semua itu dilakukan karena barangkali berangkat dari kebencian dan tidak adanya rasa empati. Padahal sesungguhnya jihad bukanlah terorisme.

Jika orang tidak mengerti ajaran Islam yang sesungguhnya maka tentu akan mencampuradukkan antara makna jihad dengan terorisme hanya dengan melihat beberapa kelompok fanatik yang menjadikan term jihad sebagai pelindung gerakan aktivitas yang mereka lakukan. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad yang dibenarkan agama termasuk membunuh, menculik, merusak, dan membajak kapal terbang. Tetapi kebenaran tetap kebenaran yang mesti ditegakkan, sehingga harus dijelaskan bahwa antara terorisme dengan jihad tidak ada keterkaitan sedikit pun.

Jihad di dalam Islam memiliki landasan yang kuat yakni alQur’an dan hadis yang kemudian pembumiannya telah dicontohkan oleh nabi dan sahabatnya. Oleh karenanya, jihad di dalam Islam bila ditilik dari sudut pandang hukum Islam dan sejarah, maka teori dan aplikasinya akan sangat jauh berbeda dengan terorisme.

Perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Gerakan terorisme tidak membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Pelakunya selalu merasa haus dengan kekerasan dan darah sehingga bila korban berjatuhan barulah kemudian mereka merasa puas, dan tentu perilaku seperti itu dikecam keras oleh Islam.

Al-Qur’an ketika memaknai jihad (jihad besar) yang dimaksud adalah jihad dengan al-Qur’an, dan bukan jihad dengan kekerasan apalagi peperangan. Allah berfirman: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar” (Qs. al-Furqān, 25:52).

Bahkan al-Qur’an ketika berbicara tentang jihad, justeru yang ditonjolkan adalah jihad yang erat kaitannya dengan jiwa dan harta, bahkan mendahulukan konsep jihad dengan harta. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirīn), mereka itulah orangorang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia (Qs. al-Anfāl, 8:74).

Berkaitan dengan konsep jihad ini, Allah juga berfirman dalam Qs. al-Saff, 37: 10-11, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Dari uraian di atas, diharapkan media saat ini harus memainkan peranya sebaik-baiknya. Karena media yang baik akan membawa dampak yang baik pula, tetapi jika media yang buruk dan telah di masuki kepentingan kelompok lain, maka dampaknya terhadap masyarakat akan besar pula, berupa pembodohan atau penipuan berita. (#)

Penulis adalah Kader HMI (MPO) Komisariat FKIP UHO dan Mahasiswa Pendidikan Sejarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *