(Refleksi Maulid Nabi Muhammad ﷺ 12 Rabiul Awal 1447 Hijriah)
Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A
Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo
Setiap 12 Rabiul Awal, umat Islam memperingati kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa bersejarah ini tidak hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga memantik refleksi akademik: mengapa Nabi lahir dari suku Quraisy di Mekah, bukan dari bangsa lain yang secara politik, ekonomi, atau budaya mungkin tampak lebih kuat? Literatur klasik menekankan jawaban teologis, misalnya hadis sahih yang meriwayatkan pemilihan berjenjang: Allah memilih dari keturunan Nabi Ibrahim, kemudian dari Nabi Ismail, dari Kinanah, dari Quraisy, dari Bani Hasyim, hingga akhirnya Nabi Muhammad ﷺ (Muslim ibn al-Ḥajjāj, n.d.). Meskipun demikian, perspektif ilmiah modern menuntut analisis yang lebih luas dengan menyoroti sejarah, sosiologi, antropologi, geopolitik, dan ekonomi sebagai faktor yang menyiapkan Quraisy menjadi panggung lahirnya risalah universal.
Kajian sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan geopolitik menunjukkan bahwa Quraisy bukan sekadar dipilih, tetapi juga disiapkan oleh konteks sosial-historisnya. Kombinasi posisi geografis yang strategis, netralitas geopolitik, legitimasi nasab, otoritas religius atas Kakbah, serta peran dalam jaringan perdagangan membuat Quraisy menjadi medium paling tepat bagi lahirnya risalah universal. Dari sudut pandang inilah tampak bahwa Quraisy bukan hanya “dipilih”, melainkan juga siap secara structural. Dengan demikian, refleksi atas Maulid Nabi juga berarti memahami panggung sejarah Quraisy yang memungkinkan Islam berkembang luas sampai hari ini.
Sejarah Quraisy dan Konsolidasi Komunal
Untuk memahami secara mendalam, penting menelusuri sejarah konsolidasi Quraisy sejak abad ke-5 M. Qusay bin Kilab memainkan peran sentral dalam menyatukan klan-klan yang sebelumnya terpencar, lalu memusatkannya di sekitar Kakbah. Ia mendirikan Balai Nadwah sebagai dewan musyawarah dan mengambil tanggung jawab penting berupa siqayah (penyediaan air) serta rifadah (penjamuan bagi jamaah haji) (Ibn Isḥāq/Ibn Hishām, 1955; al-Ṭabarī, 1988). Sejak saat itu, Mekah tampil bukan sekadar sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang sosial yang terorganisasi dengan baik dan ditopang oleh tata kelola komunal.
Kehadiran lembaga musyawarah dan tradisi pelayanan jamaah membentuk legitimasi ganda bagi Quraisy: mereka dihormati karena peran religius sekaligus diakui karena peran administratif. Peters (1994) menegaskan bahwa Mekah berfungsi ganda sebagai kota suci sekaligus pusat pasar musiman. Dengan fondasi seperti ini, kelahiran Nabi Muhammad ﷺ terjadi di tengah masyarakat yang sudah terbiasa membangun konsensus, mengatur arus manusia, dan menata otoritas secara kolektif. Hal ini menciptakan ekosistem sosial yang sangat mendukung lahirnya pesan baru dengan cepat diterima dan disebarkan.
Konsolidasi Quraisy juga mengubah pola kehidupan kabilah yang biasanya berjalan sendiri-sendiri menjadi sebuah struktur yang lebih terikat dalam aturan bersama. Balai Nadwah, misalnya, melahirkan mekanisme musyawarah yang mengajarkan nilai kebersamaan di atas kepentingan masing-masing klan (Ibrahim, 1982). Nabi Muhammad ﷺ lahir dalam lingkungan yang sudah mengenal praktik semacam ini, sehingga nilai musyawarah, keadilan, dan kepemimpinan kolektif yang ditekankan dalam ajaran Islam tidak datang dalam ruang hampa, melainkan berakar pada tradisi yang sudah dikenal masyarakatnya.
Nasab, Kehormatan, dan Modal Sosial Quraisy
Di Arabia pra-Islam, kehormatan dan otoritas sangat erat dengan nasab. Quraisy menisbatkan diri kepada Nabi Ismail melalui Adnan dan Kinanah; pengakuan genealogis ini menjadi modal simbolik yang meneguhkan posisi sosial mereka (Hawting, 1999; Robinson, 2022). Robinson (2022) bahkan memperkirakan bahwa populasi Mekah relatif kecil, tetapi keterikatan antar keluarga melalui pernikahan antarklan membentuk jaringan yang rapat dan kohesi internal yang padat. Kondisi ini menjadi prasyarat penting bagi stabilitas sosial dan menjadikan Quraisy sebagai kelompok dengan daya tahan kolektif yang kuat.
Nabi Muhammad ﷺ lahir dari Bani Hasyim, salah satu kabilah terhormat Quraisy yang mengemban tanggung jawab religius di Kakbah. Dalam masyarakat tribal, klaim keagamaan hampir selalu bertumpu pada legitimasi nasab, karena garis keturunan adalah bahasa politik yang menentukan apakah sebuah pesan dapat diterima luas (Hawting, 1999). Oleh karena itu, nasab Quraisy dalam diri Nabi tidak hanya garis biologis, melainkan juga simbol otoritas yang membuat risalah Islam sulit diabaikan.
Fungsi nasab lebih jauh dapat dipahami sebagai modal sosial dalam masyarakat tribal. Ia bukan sekadar penanda identitas, melainkan juga instrumen legitimasi politik yang diwariskan turun-temurun. Dengan nasab yang jelas dan dihormati, Nabi Muhammad ﷺ sejak awal memiliki kredibilitas sosial yang memungkinkan dakwahnya mendapat ruang dengar. Hal ini dipertegas oleh praktik Quraisy sendiri, misalnya Perjanjian Fudul—pakta antarklan untuk membela pihak yang lemah—yang mencerminkan transformasi solidaritas genealogis menjadi etika sosial yang lebih luas. Banyak peneliti menilai kesepakatan ini sebagai embrio masyarakat sipil dan bentuk awal resolusi konflik pra-kenabian (Donner, 2010; Ramadhan & Hidayat, 2024).
Tradisi ini bukan hanya khas Mekah, melainkan bagian dari pola budaya Arab yang lebih luas. Kajian epigrafi terhadap inskripsi Safaitic menunjukkan bahwa masyarakat nomaden pra-Islam sangat menekankan ikatan genealogis dan ritual kolektif sebagai basis identitas (al-Jallad, 2019). Dengan demikian, penghormatan Quraisy terhadap nasab sejalan dengan norma budaya yang berlaku luas di dunia Arab saat itu, yang menjadikan garis keturunan sebagai sumber utama kehormatan dan keabsahan sosial.
Dalam kerangka ini, nasab Quraisy menyediakan landasan kokoh bagi Nabi Muhammad ﷺ untuk tampil sebagai pembawa risalah universal. Legitimasi genealogis yang dimiliki Quraisy bukan sekadar memberi tempat terhormat, tetapi juga memudahkan pesan Islam diterima dalam masyarakat tribal yang sangat sensitif terhadap garis keturunan. Dengan kata lain, penghormatan terhadap nasab menjadi medium kultural yang memungkinkan risalah Islam memperoleh otoritas moral sejak awal kemunculannya.
Letak Geografis Hijaz dan Dinamika Geopolitik Arabia
Secara geografis, Mekah terletak di jalur pegunungan Hijaz yang tandus namun strategis, menghubungkan jalur dagang Yaman–Syam. Posisi ini menyalurkan komoditas dari India, Afrika Timur, dan Arabia Selatan ke pasar Bizantium (Hoyland, 2001). Dari perspektif tata ruang, Mekah bukan sekadar titik perlintasan, tetapi sebuah simpul urban yang terbentuk di persimpangan rute dagang, sehingga arus barang sekaligus melahirkan arus ide, budaya, dan praktik sosial. Inilah yang menjadikan Quraisy tidak hanya pedagang, tetapi juga pengelola jaringan informasi dan simbol identitas kawasan.
Pada saat yang sama, kondisi geopolitik memberi Quraisy posisi istimewa. Arabia Selatan (Himyar) terjebak dalam persaingan antara Aksum Kristen dan Persia Zoroastrian. Tragedi Najran tahun 523 M, ketika komunitas Kristen ditindas lalu memicu intervensi Aksum dan Persia, menunjukkan rapuhnya kedaulatan politik kawasan (Shahid, 1994; Nebes, 2010; Robin, 2015; Yule, 2013). Dari sisi pendekatan antropologi politik, tragedi ini tidak hanya konflik agama, melainkan juga perebutan identitas: siapa yang berhak menentukan kesetiaan komunitas lokal—apakah kepada imperium besar atau kepada tatanan lokal.
Sementara itu, di utara, federasi Ghassanid berada di bawah Bizantium, dan Lakhmid di bawah Persia. Keduanya berfungsi sebagai negara penyangga yang memelihara stabilitas frontier imperium (Graf, 1989; Toral-Niehoff, 2013). Dalam kerangka sosial, kondisi ini menempatkan masyarakat utara maupun selatan dalam sistem patronase yang membatasi otonomi mereka. Identitas kabilah digeser menjadi identitas klien imperium, sehingga peluang melahirkan gerakan universal yang independen sangat kecil.
Berbeda dengan itu, Hijaz—seperti yang disebut Bowersock (1971)—berada di posisi “ruang antara” yang relatif bebas dari kendali langsung imperium. Quraisy mampu berdagang ke utara maupun selatan tanpa kehilangan independensinya (Hoyland, 2015). Kebebasan ini bukan hanya bernilai ekonomi, tetapi juga sosial-budaya: ia memberi ruang bagi Quraisy untuk mengembangkan jaringan lintas-suku tanpa tunduk pada patron asing. Identitas mereka terbentuk secara mandiri, dengan daya tawar tinggi dalam interaksi regional.
Penelitian terkini menegaskan bahwa Mekah dan Yatsrib pra-Islam adalah ruang sosial-politik yang cukup otonom untuk menumbuhkan gagasan-gagasan baru (Danu, 2023; Literasiologi Editorial Team, 2022). Dari sudut pandang urban studies, Mekah berkembang sebagai kota yang memadukan fungsi religius (pusat ritual Kakbah) dengan fungsi ekonomi (pasar musiman), sehingga menjadi magnet interaksi lintas-etnis. Dari keterbukaan ini lalu melahirkan struktur sosial yang relatif cair, sementara secara antropologis, identitas Quraisy tetap berakar kuat pada nasab dan kekerabatan. Kombinasi ruang kota, jaringan dagang, dan kemandirian politik inilah yang menciptakan lahan subur bagi lahirnya risalah Nabi Muhammad ﷺ.
Jaringan Dagang Quraisy dan Basis Ekonomi Quraisy sebagai Jalan Risalah
Dari keunggulan geopolitik Hijaz kemudian berbalas pada kekuatan ekonomi Quraisy. Watt (1953) dan Ibrahim (1982) menggambarkan Quraisy sebagai penghubung utama jalur Yaman–Syam, memanfaatkan musim haji untuk mengelola pasar lintas-kabilah. Sementara itu, Crone (2007) mengoreksi gambaran “kota rempah” dan mengajukan tesis bahwa ekspor penting Quraisy justru hasil pastoral seperti kulit samak, wol, dan hewan ternak. Barang-barang ini sangat dibutuhkan oleh militer Romawi Bizantium untuk perlengkapan tentara. Dengan demikian, hasil pastoral menjadi komoditas dasar dari penggembalaan ternak yang menjadi tulang punggung ekonomi Arab pra-Islam, sekaligus faktor yang menjelaskan mengapa Quraisy dapat menjalin jaringan dagang penting dengan Syam dan kekuatan besar di sekitarnya.
Perdebatan ini memperkaya pemahaman, tetapi keduanya bersepakat pada satu hal: Quraisy berada di pusat jaringan ekonomi regional (Hoyland, 2001). Aktivitas dagang bukan sekadar pertukaran barang, tetapi juga membangun kepercayaan, reputasi, dan jaringan relasi yang melintasi batas kabilah. Kepercayaan ini menjadi aset tak berwujud yang lebih berharga daripada komoditas itu sendiri, karena dengannya Quraisy mendapat legitimasi sebagai pihak yang amanah dan layak dijadikan mitra dagang (Habib et al., 2022). Perdagangan, dengan demikian, tidak hanya menghasilkan kekayaan, melainkan juga menanamkan struktur sosial yang menyatukan kelompok-kelompok berbeda ke dalam suatu ekosistem kepercayaan bersama.
Implikasi ekonomi ini memiliki dampak sosial yang sangat besar. Ketidakmerataan distribusi kekayaan antara klan-klan Quraisy menciptakan stratifikasi yang tajam: sebagian besar klan hidup makmur dari perdagangan lintas wilayah, sementara Bani Hasyim relatif sederhana (Watt, 1953). Nabi Muhammad ﷺ tumbuh dalam situasi ini sebagai anak yatim, namun sejak dini terlibat dalam dunia perniagaan. Pengalaman tersebut memberinya kepekaan terhadap ketidaksetaraan dan sekaligus kecakapan memahami mekanisme pasar. Hal ini membuat risalah Islam yang menekankan keadilan, amanah, dan larangan penipuan menjadi relevan dan mudah diterima, karena selaras dengan kebutuhan praktis masyarakat Quraisy yang sangat bergantung pada etika dagang.
Jika ditarik lebih jauh, dinamika ekonomi Quraisy mencerminkan sebuah tatanan budaya: perdagangan bukan semata ruang akumulasi materi, melainkan arena pembentukan norma sosial dan moral. Ia menjadi medium yang mengatur relasi antar-kabilah, membatasi persaingan agar tidak berujung konflik, dan melahirkan kebiasaan kolektif yang mengedepankan keteraturan, kepercayaan, serta kejujuran. Dengan kerangka ini, ekonomi Quraisy dapat dipahami sebagai fondasi kultural yang mempersiapkan lahirnya risalah universal Nabi Muhammad ﷺ, yang menempatkan keadilan dan amanah sebagai nilai utama.
Politik Quraisy dan Otoritas Simbolik Kakbah
Pengalaman ekonomi yang luas dengan keterampilan geostrategis yang kuat juga berdampingan dengan modal politik yang khas. Balai Nadwah yang didirikan berfungsi sebagai forum musyawarah lintas kabilah—sebuah tata kelola kolektif yang jarang dimiliki komunitas lain pada masa itu (Peters, 1994). Kehadiran forum ini memperkuat kemampuan Quraisy menyelesaikan perselisihan dan membentuk kebijakan bersama.
Di atas semua itu, Kakbah adalah sumber legitimasi simbolik tertinggi. Peters (1994) menyebut Mekah sebagai “kota suci sekaligus kota dagang,” menegaskan keterpaduan fungsi ritual dan ekonomi. Otoritas atas Kakbah tidak hanya menempatkan Quraisy pada puncak hierarki kehormatan, tetapi juga menyediakan panggung kawasan Arab bagi ide-ide baru. Dalam kerangka Weberian, otoritas Quraisy memadukan legitimasi tradisional (nasab), karismatik (penjaga pusat sakral), dan proto-rasional (musyawarah), suatu kombinasi yang menempatkan Quraisy pada puncak legitimasi sosial-politik.
Kekuasaan Quraisy bekerja tidak hanya melalui kontrol material, tetapi juga melalui penguasaan makna. Dengan mengelola Kakbah, Quraisy berhasil membangun apa yang dalam teori hegemoni disebut sebagai kepemimpinan moral-intelektual: mereka mengarahkan persepsi masyarakat tentang siapa yang paling layak memimpin bukan dengan paksaan, melainkan dengan penciptaan konsensus. Sementara itu, menurut kerangka kekuasaan simbolik, otoritas Quraisy semakin kokoh karena mereka berhasil menjadikan pengelolaan ritual dan nasab sebagai “modal” yang diakui sah oleh semua pihak, sehingga wibawa mereka tampak alami, meski sejatinya dibangun secara historis.
Dengan kombinasi modal politik, ekonomi, genealogis, dan simbolik, Quraisy tidak hanya menguasai Mekah tetapi juga membentuk horizon imajinasi politik Arab pra-Islam. Posisi ini memungkinkan Nabi Muhammad ﷺ melancarkan dakwah dari pusat legitimasi yang sudah mapan. Risalah yang dibawanya tidak lahir dari pinggiran, melainkan dari jantung sistem simbolik Arab, sehingga lebih mudah menembus batas suku dan diterima sebagai pesan universal.
Lanskap Keagamaan Arabia dan Keunggulan Quraisy
Setelah melihat bagaimana Quraisy membangun otoritas politik melalui Balai Nadwah dan legitimasi simbolik Kakbah, penting untuk menempatkan posisi ini dalam lanskap yang lebih luas, yaitu dinamika keagamaan di Arabia pra-Islam. Kehormatan Quraisy tidak hanya ditopang oleh struktur politik internal, tetapi juga diperkuat oleh perannya dalam mengelola pusat keagamaan yang menjadi rujukan lintas-suku. Dengan kata lain, keunggulan politik dan ekonomi Quraisy memperoleh makna yang lebih dalam karena bersandar pada legitimasi religius yang diakui secara regional.
Arabia pra-Islam sendiri merupakan ruang yang kaya akan pluralitas tradisi. Komunitas Yahudi menetap di Yatsrib dan Khaibar, kelompok Kristen berkembang di Najran, sementara berbagai praktik kepercayaan lokal masih berakar kuat pada penyembahan berhala. Di sisi lain, kelompok hanif menunjukkan adanya pencarian spiritual menuju monoteisme (Hawting, 1999). Dalam situasi ini, Quraisy tampil istimewa karena dipercaya sebagai penjaga Kakbah, pusat ziarah yang menjadi titik temu kabilah-kabilah Arab.
Jika dibandingkan dengan komunitas lain di wilayah yang sama, posisi Quraisy lebih otonom. Bani Israil di utara berada dalam bayang-bayang Romawi, Himyar di selatan kerap terseret dalam tarik-menarik Aksum dan Persia, sementara Ghassanid dan Lakhmid diposisikan sebagai perpanjangan tangan imperium (Graf, 1989; Toral-Niehoff, 2013; Yule, 2013; Robin, 2015). Quraisy justru mampu menjaga keseimbangan: mengelola simbol religius yang dihormati sembari terbebas dari kendali langsung kekuatan besar.
Selain itu, literasi yang terbatas di Arabia pra-Islam turut memainkan peran penting dalam membentuk identitas kolektif. Inskripsi yang ditemukan di berbagai wilayah menunjukkan bagaimana tulisan berfungsi tidak hanya sebagai catatan praktis, tetapi juga sebagai simbol legitimasi dan pengikat memori komunitas (Macdonald, 2009). Dalam kerangka ini, Mekah dan Kakbah menjadi pusat bukan hanya ibadah, tetapi juga identitas yang menyatukan. Quraisy, sebagai pengelolanya, menempati posisi strategis untuk mengartikulasikan makna kolektif ini kepada masyarakat Arab.
Dengan kondisi semacam itu, kelahiran Nabi Muhammad ﷺ di tengah masyarakat Quraisy dapat dipahami sebagai kelanjutan dari proses sosial-historis yang panjang. Sebuah risalah universal memerlukan sumber yang bebas dari patronase imperium, memiliki legitimasi genealogis, menguasai pusat simbolik pan-Arab, dan terbiasa dengan interaksi lintas-kabilah. Quraisy memenuhi seluruh prasyarat itu, menjadikan Mekah panggung yang tepat bagi lahirnya ajaran yang kemudian menembus batas etnis, bahasa, dan kekuasaan (Robinson, 2022; Hoyland, 2015).
Konvergensi Faktor Quraisy sebagai Fondasi Sosial-Historis Lahirnya Islam
Dari uraian sebelumnya tampak jelas adanya perpaduan faktor yang saling menguatkan dan menempatkan Quraisy dalam posisi unik di antara kabilah-kabilah Arab. Konsolidasi sosial melalui kepemimpinan Qusay bin Kilab, pengelolaan Balai Nadwah, serta pelayanan siqayah–rifadah memperlihatkan adanya struktur kolektif yang melampaui ikatan keluarga semata. Mekanisme ini menanamkan tradisi musyawarah, tanggung jawab bersama, dan legitimasi yang tidak hanya diakui internal, tetapi juga oleh komunitas Arab yang lebih luas.
Selain itu, legitimasi nasab memainkan peran sebagai modal simbolik yang kokoh. Quraisy, khususnya Bani Hasyim, tidak hanya memiliki garis keturunan terhormat, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kesakralan Kakbah. Di masyarakat Arab yang menempatkan asal-usul sebagai dasar kehormatan, posisi ini memberi mereka daya tawar yang istimewa. Nasab bukan sekadar silsilah, melainkan instrumen kekuasaan, penanda status, dan sumber kepercayaan yang membuat pesan dari keturunan mereka lebih mudah diterima.
Posisi geografis Mekah di jalur Hijaz memberikan keuntungan tambahan. Meskipun wilayahnya tandus, Mekah justru terletak di titik simpul perdagangan Yaman–Syam, sehingga Quraisy menjadi penghubung utama arus barang, informasi, dan budaya. Lokasi ini diperkuat oleh keadaan geopolitik: Hijaz berada di ruang antara dua imperium besar, Bizantium dan Persia, namun tetap relatif bebas dari kontrol langsung keduanya. Kemandirian ini memberikan Quraisy keleluasaan untuk menjalin hubungan dagang tanpa kehilangan otonomi politik, sesuatu yang tidak dimiliki suku-suku di utara maupun selatan yang menjadi proksi kekuatan asing.
Dalam ranah ekonomi, Quraisy menata sistem perdagangan musiman yang tidak hanya menopang kemakmuran, tetapi juga menciptakan jejaring kepercayaan lintas-kabilah. Pasar-pasar yang mereka kelola berfungsi bukan hanya sebagai arena transaksi, melainkan juga sebagai ruang pertemuan sosial yang memperkuat reputasi Quraisy sebagai penjaga stabilitas. Keseimbangan antara perdagangan, pelayanan ritual, dan kepemimpinan kolektif inilah yang memperkokoh posisi mereka.
Lebih jauh, otoritas politik yang terwujud melalui Balai Nadwah dan simbol religius yang diwujudkan dalam pengelolaan Kakbah memperlihatkan bahwa Quraisy berhasil menyatukan unsur material dan spiritual. Kehadiran Kakbah sebagai pusat ritual pan-Arab membuat mereka menjadi penentu agenda moral dan kultural kawasan. Dengan kombinasi kekuatan tradisional, simbolik, dan praktis ini, Quraisy memiliki legitimasi yang bersifat menyeluruh: diterima karena garis keturunan, dihormati karena pelayanan publik, diakui karena posisi geografis, dan dipatuhi karena peran religius.
Konvergensi inilah yang menjadi fondasi sosio-historis-geografis bagi Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan risalah universal. Pesan Islam yang menekankan keadilan, musyawarah, amanah, dan keterbukaan menemukan lahan yang subur dalam masyarakat yang sudah terbiasa dengan struktur kolektif, simbol kehormatan nasab, kemandirian politik, dan jaringan perdagangan lintas-kabilah. Dengan latar semacam ini, wajar bila risalah Islam yang lahir di tengah Quraisy mampu menjangkau lintas batas etnis, politik, dan budaya dengan daya tahan yang kuat dan keberlanjutan yang panjang.
Refleksi Maulid: Pelajaran Quraisy untuk Zaman Kini
Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ pada 12 Rabiul Awal bukan hanya sebuah momentum spiritual, tetapi juga undangan untuk menengok kembali warisan Quraisy sebagai sumber pelajaran sosial, politik, dan moral. Kisah Quraisy memperlihatkan bahwa sebuah masyarakat dapat menjadi medium lahirnya perubahan besar bukan hanya karena garis keturunan, tetapi juga karena fondasi historis, tata kelola, dan nilai kolektif yang mereka bangun.
Kecintaan kepada Nabi dalam konteks ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa Nabi Muhammad ﷺ lahir di tengah suku Quraisy yang telah lama menempatkan nasab sebagai sumber legitimasi sosial. Ketika risalah Islam datang, masyarakat Arab menerima Nabi bukan semata karena pesan yang dibawa, tetapi juga karena pengirim pesan itu berasal dari garis keturunan yang dihormati. Inilah yang membedakan Nabi dari figur-figur lain pada masanya. Dalam bahasa Quraisy, nasab bukan hanya silsilah, tetapi juga lambang kehormatan, amanah, dan kesiapan untuk dipercaya memimpin (Robinson, 2022; Hawting, 1999).
Pertama, kekuatan Quraisy terletak pada kepercayaan yang terwujud melalui institusi dan layanan publik. Balai Nadwah berfungsi sebagai forum musyawarah lintas kabilah, sementara siqayah dan rifadah memastikan jamaah haji dilayani dengan baik (Ibn Isḥāq/Ibn Hishām, 1955; Peters, 1994). Hal ini menumbuhkan kecintaan kolektif yang berakar pada pelayanan. Dalam konteks kini, nilai itu bermakna pemerintahan yang transparan, akses setara bagi semua warga, serta forum musyawarah yang memberi ruang bagi suara publik.
Kedua, dunia perdagangan Quraisy menekankan bahwa etika dan reputasi lebih bernilai daripada komoditas itu sendiri. Jaringan kafilah bertahan karena amanah dan kepercayaan yang mereka bangun (Ibrahim, 1982; Crone, 2007; Hidayat, 2024). Dari lingkungan inilah Nabi Muhammad ﷺ tumbuh, dan reputasinya sebagai al-Amīn (yang terpercaya) muncul jauh sebelum kenabian. Cinta masyarakat kepada Nabi pada tahap ini terhubung dengan reputasi moral yang telah melekat pada dirinya.
Ketiga, Quraisy menunjukkan kecerdasan dalam menjaga kemandirian politik sekaligus membuka diri terhadap interaksi global. Dengan berada di antara Bizantium dan Persia, mereka memilih jalur netral yang memberi keleluasaan berdagang dengan semua pihak (Bowersock, 1971; Graf, 1989). Netralitas ini memberi Nabi ruang aman untuk menyampaikan risalah yang bersifat universal tanpa dicurigai sebagai agen kekuatan asing. Kecintaan kepada Nabi di masa awal dakwah pun tumbuh dari kesadaran bahwa pesan beliau lahir dari kemandirian politik bangsa Arab sendiri, bukan titipan imperium.
Keempat, keberanian Quraisy menandatangani Perjanjian Fudul menegaskan pentingnya keadilan di atas loyalitas klan. Perjanjian itu menjadi wujud keberanian moral untuk melindungi yang lemah, bahkan jika harus melampaui ikatan keluarga (Ramadhan & Hidayat, 2024). Pengalaman Nabi yang ikut dalam perjanjian itu menunjukkan bahwa sejak muda beliau mengikatkan diri pada nilai keadilan lintas-kabilah. Kecintaan umat kepada Nabi kemudian berakar pada keyakinan bahwa beliau adalah pemimpin yang mampu melampaui batas suku untuk membela semua manusia.
Akhirnya, perpaduan antara Kakbah sebagai pusat ibadah dan Mekah sebagai pusat perdagangan menampilkan keseimbangan unik antara dimensi sakral dan profan (Peters, 1994). Dari keseimbangan ini lahir risalah Nabi yang menautkan agama dengan etika publik. Kecintaan kepada Nabi pada titik ini tidak hanya berarti penghormatan pribadi, melainkan juga penerimaan atas nilai keseimbangan hidup yang beliau ajarkan: ibadah yang tidak terputus dari keadilan sosial, perdagangan yang tidak terlepas dari amanah, serta kepemimpinan yang berakar pada keberanian moral.
Dengan demikian, refleksi atas Maulid mengajarkan bahwa kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan juga pengakuan bahwa beliau lahir dari konteks Quraisy yang telah menyiapkan fondasi sosial, politik, dan moral bagi lahirnya sebuah risalah universal. Cinta kepada Nabi berarti juga komitmen untuk melanjutkan nilai-nilai yang beliau hidupi sejak awal: kepercayaan, amanah, kemandirian, keadilan, dan keseimbangan.
Daftar Pustaka
al-Jallad, A. (2019). The religion and rituals of the nomads of pre-Islamic Arabia: A reconstruction based on the Safaitic inscriptions. Brill.
al-Ṭabarī. (1988). The history of al-Ṭabarī, Vol. 6: Muhammad at Mecca (W. M. Watt & M. V. McDonald, Trans.). State University of New York Press.
Bowersock, G. W. (1971). A report on Arabia provincia. Journal of Roman Studies, 61, 219–242. https://doi.org/10.2307/299231
Bowersock, G. W. (2013). The throne of Adulis: Red Sea wars on the eve of Islam. Oxford University Press.
Ciptadi, I., Daulay, H. P., & Sumanti, S. T. (2025). Jejak kebudayaan Arab sebelum Islam: Pilar peradaban di tengah padang pasir. Jurnal Penelitian Multidisiplin Terpadu, 9(1).
Crone, P. (1987). Meccan trade and the rise of Islam. Gorgias Press.
Crone, P. (2007). Quraysh and the Roman army: Making sense of the Meccan leather trade. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 70(1), 63–88. https://doi.org/10.1017/S0041977X07000026
Danu, R. (2023). Sejarah bangsa Arab pra-Islam: Dinamika politik, sosial, dan ekonomi. Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah, 5(2), 265–281.
Donner, F. M. (2010). Muhammad and the believers: At the origins of Islam. Harvard University Press.
Graf, D. F. (1989). The Saracens and the defense of the Arabian frontier. Bulletin of the American Schools of Oriental Research, 229, 1–26. https://doi.org/10.2307/1357391
Habib, M. A. F., dkk. (2022). Sosiologi Ekonomi: Kajian Teoritis dan Contoh Penerapan. Akademia Pustaka.
Hawting, G. R. (1999). The idea of idolatry and the emergence of Islam. Cambridge University Press.
Hidayat, A. (2024). Arab pra-Islam: Peradaban sebelum cahaya Islam bersinar. Qazi: Jurnal Kajian Keislaman, 5(2), 45–62.
Hidayat, M. (2021). Sejarah Mekah dan Madinah pada awal Islam: Kajian kondisi geografis, sosial, politik, dan hukum. Ittihad: Jurnal Ilmu Syariah, 1(1).
Hoyland, R. G. (2001). Arabia and the Arabs: From the Bronze Age to the coming of Islam. Routledge.
Hoyland, R. G. (2015). In God’s path: The Arab conquests and the creation of an Islamic empire. Oxford University Press.
Ibn Isḥāq/Ibn Hishām. (1955). The life of Muhammad (A. Guillaume, Trans.). Oxford University Press.
Ibrahim, M. (1982). Social and economic conditions in pre-Islamic Mecca. International Journal of Middle East Studies, 14(3), 343–358. https://doi.org/10.1017/S0020743800050827
Literasiologi Editorial Team. (2022). Sejarah Mekah dan Madinah pra-Islam (tinjauan geografis dan politik). Literasiologi, 4(1).
Macdonald, M. C. A. (2009). Literacy and identity in pre-Islamic Arabia. Arabian Archaeology and Epigraphy, 20(2), 286–308. https://doi.org/10.1111/j.1600-0471.2009.00304.x
Muslim ibn al-Ḥajjāj. (n.d.). Ṣaḥīḥ Muslim.
Nebes, N. (2010). The martyrs of Najrān and the end of the Ḥimyar. In A. Neuwirth, N. Sinai, & M. Marx (Eds.), The Qurʾān in context: Historical and literary investigations into the Qurʾānic milieu (pp. 27–60). Brill.
Peters, F. E. (1994). Mecca: A literary history of the Muslim holy land. Princeton University Press.
Peters, F. E. (1994). The hajj: The Muslim pilgrimage to Mecca and the holy places. Princeton University Press.
Ramadhan, F., & Hidayat, F. (2024). Resolusi konflik pra-kenabian (studi kasus Hilf al-Fudul). Jurnal Kajian Ruang Komunikasi, 6(1), 1–15.
Robin, C. J. (2015). Ḥimyar, Aksūm, and Arabia Deserta in late antiquity: The epigraphic evidence. In G. J. Brooke, A. H. W. Curtis, J. R. Davila, & L. H. Schiffman (Eds.), The Christian world around the New Testament (pp. 225–251). Mohr Siebeck.
Robinson, M. (2022). The population size of Muḥammad’s Mecca and the creation of the Quraysh. Der Islam, 99(1), 10–37. https://doi.org/10.1515/islam-2022-0002
Shahid, I. (1994). On the chronology of the South Arabian martyrdoms. Arabian Archaeology and Epigraphy, 5(1), 62–79. https://doi.org/10.1111/j.1600-0471.1994.tb00068.x
Tim Redaksi Innovative. (2025). Studi sistem-sistem kebudayaan masyarakat Arab pra-Islam. Innovative: Journal of Social Science Research, 5(1).
Toral-Niehoff, I. (2013). Late antique Iran and the Arabs: The case of al-Ḥīra. Journal of Persianate Studies, 6(1–2), 115–126. https://doi.org/10.1163/18747167-12341253
Watt, W. M. (1953). Muhammad at Mecca. Clarendon Press.
Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology (G. Roth & C. Wittich, Eds.). University of California Press.
Yule, P. (2013). A late antique Christian king from Ẓafār, southern Arabia. Antiquity, 87(338), 1124–1135. https://doi.org/10.1017/S0003598X00049873