Suhu 4 November dan Konsumerisme Media
Oleh: Rifaldi Rahalus
Ketua Umum HMI-MPO Cabang Manado
Kegaduhan kembali terjadi. Kali ini bukan saja masyarakat pinggiran, bukan saja para petani dan nelayan bahkan para santri di seluruh pondok melainkan para tokoh-tokoh Islam dan Ulama Indonesia juga turut meraskan suhu yang menghangat dewasa ini. Ada yang menanggapi dengan melihat aspek positif dan ada pula yang menanggapi dengan penuh tuntutan terkait dugaan penistaan terhadap agama oleh Ahok. Alhasil negara menjadi tegang dan tentu membuat pikiran presiden Jokowi menjadi blak-blakan. Dalam konteks ini saya tidak melihat pada aspek politik cultural saja melainkan secara keseluruhan. Bukan tidak mungkin rencana demonstrasi besar-besaran pada 4 November nanti amat besar potensi terjadinya konflik. Entah konflik apa, yang pasti dari sudut pandang yang beragam siapa saja bisa menafsirkan demikian dilihat dari ragam reaksi massa umat Islam saat ini.
Yang terpenting disini adalah saya bukan dipihak Ahok atau sedang berbicara soal Pilkada DKI, apalagi harus memprovokasi ummat islam yang sampai saat ini masih merasa terhina oleh pernyataan Ahok. Saya mengajak kita sekalian yang menjunjung tinggi akan keadilan di negeri ini bahwa perkara hukum sejatinya adalah sebuah proses keseimbangan antara pelaku pelanggaran hukum dan pihak yang dirugikan. Meskipun dalam berbagai kesempatan kita sering menjumpai teriakan masyarakat menuntut sebuah keadilan, sementara praktek hukum dinegeri ini terlalu murah untuk dipasarkan, dan sangat mudah dibesar-besarkan meskipun sebuah masalah tergolong kecil, demikian sebaliknya kasus besar yang jelas merugikan negara pun sangat mudah ditenggelamkan. Tak bisa dimungkiri ini merupakan sebuah fakta budaya hukum kita.
Kembali ke pembahasan awal soal rencana demonstrasi pada 4 November, saya menilai bahwa sebagian ummat islam terlalu menampakkan sikap agresifitas mereka dalam menyikapi persoalan ini. Bahkan terlalu memaksakan diri dan menguras energi mereka melalui rencana dan akan menggelar demonstrasi pada 4 November jika memang keinginan umat islam saat ini semata hanya agar kasus Ahok secepatnya diproses secara hukum. Pertanyaannya, kenapa demonstrasi harus direncanakan? Dalam durasi beberapa waktu sejak direncanakannya demonstrasi tersebut hingga tiba pada 4 November nanti apalagi yang sedang direncanakan? Dimana tokoh-tokoh muslim (PBNU, MUI dan PP Muhammadiyah) sejak awal isu yang berpotensi SARA ini buming? Kenapa pemuka agama seakan “ragu menyikapi” reaksi publik khususnya umat islam sejak awal?, meskipun ada sebagian tokoh yang tampil kritis, Apakah karena pemuka agama terlalu simpatis dan cenderung mendewakan kepentingan pribadi mereka ketimbang kepentingan umatnya? Atau jangan-jangan mereka takut “sikap dramatis” mereka segera tercium?. Mengamati kasus bersimbol “Ahok dan Penistaan terhadap Islam”, tentu banyak pihak yang akan dirugikan, namun pada kesempatan yang sama ada juga pihak ketiga yang memanfaatkan kisru ini. Siapapun dia. Tentu melalui perantara media, apalagi masyarakat saat ini banyak yang terlalu konsumerisme terhadap media, masyarakat tidak terlalu cermat dalam menganalisa isi berita. Akhirnya mereka sangat mudah diperalatkan oleh orang-orang/kelompok yang tidak bertanggungjawab hanya karena mereka inginkan adalah terpenuhinya hasrat kepentingan dengan mengatasnamakan agama, sungguh ironis.
Konsumerisme Media
Karena kebanyakan masyarakat Indonesia yang terlalu konsumtif dan minim menciptakan gagasan berupa solusi menuju keadilan, maka jangan heran jika masyarakat terus dijamu, disajikan dan dipertontonkan dengan berbagai upaya yang kesemuanya itu hanyalah propaganda. Suhu yang berpotensi SARA akhirnya terus-terusan menjulang, padahal jika jauh sebelumnya para pemuka agama islam cepat mengambil langkah dengan mendatangi dan menuntut kepada pihak hukum secara baik-baik dan kemudian pihak penegak hukum juga merespon untuk mengusut kasus tersebut tentu tidak akan tumbuh subur bibit-bibit provokator dan harus berkepanjangan sampai sekarang ini.
Dengan demikian, Jokowi juga tidak bakalan mengundang mereka para pemuka agama untuk hadir di Istana Negara dan tidak harus menjadikan pertemuan itu sebagai agenda resmi. Yang pada intinya tujuan dari undangan resmi presiden terhadap tokoh-tokoh (NU,Muhammadiyah dan MUI) sebagai cerminan ummat islam itu, tak lain dan tak bukan guna membicarakan soal reaksi ummat islam saat ini. Ada persoalan lain yang timbul setelah diadakan pertemuan itu. Bahwa tidak sewajarnya se-orang Jokowi mempertanyakan, mengingatkan dan meminta kepada tokoh-tokoh islam tersebut untuk kembali menyeruhkan semangat “Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaa” penduduk mayoritas di negeri ini. Karena kita semua tentu tahu betapa besarnya kapasitas ke-ilmuan dan pemahaman para tokoh-tokoh islam tentang ajaran agama yang mereka anut. Dan secara pribadi saya akan merasa sangat dipermalukan jika posisi saya ada pada mereka yang harus diberikan kesadaran, terlepas dari sejauh mana pemahaman Jokowi terhadap islam meskipun tidak bermaksud merendahkan Jokowi sebagai seorang presiden.
Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi dialog antara presiden dan para tokoh-tokoh serta beberapa pejabat negara. Sempat ada pertanyaan menuntut sikap presiden terkait konstelasi bangsa saat ini, namun Jokowi tidak memberikan tanggapan jelas dan hanya memberikan isyarat bahwa dalam kasus Ahok, secara hukum presiden tidak mau terlibat apalagi membelanya. Jokowi akan beraksi bilamana tidak ada penyelesaian dari pihak penegak hukum (PORTAL PINYUNGAN 1 November 2016). Oleh karena itu, kepada pemuka agama Jokowi sangat berharap agar mereka bisa memberikan pencerahan kepada seluruh ummat islam Indonesia. Disisi lain juga Jokowi tidak permasalahkan mengenai rencana demonstrasi pada 4 November pekan ini, setidaknya, menurut Jokowi jangan sampai aksi tersebut berujung konflik yang kemudian hanya menimbulkan kerugian negara.
Jika kita mengamati respon presiden Jokowi terkait rencana demo yang menurutnya dibolehkan, maka hanya ada dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, Secara kekuasan yang dimiliki Presiden Jokowi, tentu ia juga bisa memberikan tekanan kepada pihak hukum agar segera menyelesaikan kasus Ahok sehingga tidak terus berkepanjangan. Tetapi sampai sejauh ini tidak ada kebijakan itu dari Jokowi padahal kasus Ahok jelas menjadi persoalan bangsa dan tentu menjadi tanggungjawab seorang presiden sebagai kepala negara. Kedua, Jokowi membolehkan dilakukan demonstrasi pada 4 November, maka jelas pernyataan tersebut akan menjadi pusat perhatian seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian persoalan bangsa lainnya yang begitu bertumpuk dengan sendirinya akan tenggelam, karena perhatian publik sudah pasti tertuju pada rencana demonstrasi pada 4 November nanti.(***)