dr.H. Khairul, M.Kes
Benarkah pesona
Dasar Negara kita telah memudar sehingga
tidak lagi mengakar kuat dalam hati sanubari bangsa
Indonesia? Benarkah ia tak lagi
berkharisma
kemudian absen sebagai kompas kehidupan berbangsa dan bernegara?
Dasar Negara kita telah memudar sehingga
tidak lagi mengakar kuat dalam hati sanubari bangsa
Indonesia? Benarkah ia tak lagi
berkharisma
kemudian absen sebagai kompas kehidupan berbangsa dan bernegara?
Jawabannya
dapat kita temukan lewat penafsiran berbagai gejala kehidupan sosial kita
sehari-hari. Gejala-gejala itu timbul-tenggelam, tetapi mengakar dan tak jarang
direproduksi aktor yang berlindung di bawah bendera institusi legal. Gejala-gejala
yang menunjukkan bahwa seolah ia dengan
mudahnya dapat diganti dengan sesuatu yang lain, bukan sesuatu yang wajib
dipertahankan. Seolah ia hanya urusan upacara bendera, bukan cara pandang,
sistem nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Singkatnya, Pancasila
dikerdilkan dalam pemaknaan dan didistorsi dalam pemahaman.
dapat kita temukan lewat penafsiran berbagai gejala kehidupan sosial kita
sehari-hari. Gejala-gejala itu timbul-tenggelam, tetapi mengakar dan tak jarang
direproduksi aktor yang berlindung di bawah bendera institusi legal. Gejala-gejala
yang menunjukkan bahwa seolah ia dengan
mudahnya dapat diganti dengan sesuatu yang lain, bukan sesuatu yang wajib
dipertahankan. Seolah ia hanya urusan upacara bendera, bukan cara pandang,
sistem nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Singkatnya, Pancasila
dikerdilkan dalam pemaknaan dan didistorsi dalam pemahaman.
Pendistorsian
ini terlihat di banyak ruang kehidupan sehari-hari dimana nilai-nilai Pancasila sejatinya diejawantahkan
dengan tidak berjarak dari “yang semestinya”. Bila kita list satu per satu, terlalu banyak penyangkalan terhadapnya.
Apalagi jika diturunkan. Jujur saja, bahkan tak sedikit dari kita yang tidak
(mungkin belum) ‘tertarik’ menghafal Pancasila, alih-alih mengkajinya.
ini terlihat di banyak ruang kehidupan sehari-hari dimana nilai-nilai Pancasila sejatinya diejawantahkan
dengan tidak berjarak dari “yang semestinya”. Bila kita list satu per satu, terlalu banyak penyangkalan terhadapnya.
Apalagi jika diturunkan. Jujur saja, bahkan tak sedikit dari kita yang tidak
(mungkin belum) ‘tertarik’ menghafal Pancasila, alih-alih mengkajinya.
Jika
kita mengacu pada gagasan dasar Pancasila – sebagaimana ketika ia dikumandangan
pada 1 Juni 1945 – sebagai ukuran, akan kita temui barisan panjang hasil
diagnosa berbagai wajah penyangkalan itu saat ini. Mulai dari merebaknya gejala
penuhanan teknologi, trend kematian
nilai-nilai kemanusiaan (terutama kepekaan sosial), fenomena gerakan
disintegrasi di tubuh NKRI (tidak hanya dalam konteks kesatuan wilayah tetapi
juga dalam kesatuan ideologi), demokrasi yang dikendalikan segelintir orang
(kekuatan elit ekonomi-politik) hingga praktek keadilan yang masih tertatih-tatih. Kesemua ini
menyediakan ruang luas bagi perbincangan dari berbagai perspektif.
kita mengacu pada gagasan dasar Pancasila – sebagaimana ketika ia dikumandangan
pada 1 Juni 1945 – sebagai ukuran, akan kita temui barisan panjang hasil
diagnosa berbagai wajah penyangkalan itu saat ini. Mulai dari merebaknya gejala
penuhanan teknologi, trend kematian
nilai-nilai kemanusiaan (terutama kepekaan sosial), fenomena gerakan
disintegrasi di tubuh NKRI (tidak hanya dalam konteks kesatuan wilayah tetapi
juga dalam kesatuan ideologi), demokrasi yang dikendalikan segelintir orang
(kekuatan elit ekonomi-politik) hingga praktek keadilan yang masih tertatih-tatih. Kesemua ini
menyediakan ruang luas bagi perbincangan dari berbagai perspektif.
Kini,
sudah 71 tahun silam sejak rumusan Pancasila melalui pidato Ir Soekarno di
depan Sidang BPUPKI menggema. Sebuah rumusan yang lahir dari proses pergulatan
panjang demi merekat kepingan-kepingan kepentingan di antara debat-debat
ideologis yang nyaris berujung perpecahan saat itu.
sudah 71 tahun silam sejak rumusan Pancasila melalui pidato Ir Soekarno di
depan Sidang BPUPKI menggema. Sebuah rumusan yang lahir dari proses pergulatan
panjang demi merekat kepingan-kepingan kepentingan di antara debat-debat
ideologis yang nyaris berujung perpecahan saat itu.
Sebagai
titik temu, Pancasila tidak hanya menjadi jawaban kegelisahan generasi peletak
dasar bangunan bangsa dan negara (founding father) saat itu, tetapi juga
menjadi potret wajah masa depan generasi pengisi kemerdekaan. Para founding father menghabiskan banyak
energi untuk sampai pada titik ini. Tidak berlebihan menyebut ini sebagai
pengorbanan besar sehingga berlapis generasi setelah mereka tidak mengulang
sejarah ‘yang sama’, tetapi fokus pada bagaimana mengisi kemerdekaan dan
mengejar ketertinggalan yang teramat jauh.
titik temu, Pancasila tidak hanya menjadi jawaban kegelisahan generasi peletak
dasar bangunan bangsa dan negara (founding father) saat itu, tetapi juga
menjadi potret wajah masa depan generasi pengisi kemerdekaan. Para founding father menghabiskan banyak
energi untuk sampai pada titik ini. Tidak berlebihan menyebut ini sebagai
pengorbanan besar sehingga berlapis generasi setelah mereka tidak mengulang
sejarah ‘yang sama’, tetapi fokus pada bagaimana mengisi kemerdekaan dan
mengejar ketertinggalan yang teramat jauh.
Sebagai
dasar Negara, Pancasila merupakan nilai-nilai fundamental yang menjadi
pandangan hidup manusia Indonesia. Lahir dari kanal-kanal budaya orisinal
masyarakat Nusantara yang telah mengakar bahkan jauh sebelum gagasan tentang
Republik Indonesia ada. Pancasila lebih dari sekedar layak untuk dilestarikan,
dilembagakan dalam struktur kesadaran, pemikiran dan laku.
dasar Negara, Pancasila merupakan nilai-nilai fundamental yang menjadi
pandangan hidup manusia Indonesia. Lahir dari kanal-kanal budaya orisinal
masyarakat Nusantara yang telah mengakar bahkan jauh sebelum gagasan tentang
Republik Indonesia ada. Pancasila lebih dari sekedar layak untuk dilestarikan,
dilembagakan dalam struktur kesadaran, pemikiran dan laku.
***
Setiap
1 Juni, momen hari Kelahiran Pancasila diperingati – selain Hari Kesaktian
Pancasila, 1 Oktober. Memang seremoni peringatan hari-hari bersejarah selama
ini bersifat artifisial. Tetapi setidaknya membantu kita untuk menolak lupa
pada perjuangan besar dan pergulatan sejarah panjang yang melahirkan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka critical
point-nya adalah membumikan nilai-nilai itu dalam praktek kehidupan
sehari-hari, wujud kecil pertanggungjawaban kita sebagai generasi pewaris
dengan atmosfir permasalahan yang tentunya berbeda.
1 Juni, momen hari Kelahiran Pancasila diperingati – selain Hari Kesaktian
Pancasila, 1 Oktober. Memang seremoni peringatan hari-hari bersejarah selama
ini bersifat artifisial. Tetapi setidaknya membantu kita untuk menolak lupa
pada perjuangan besar dan pergulatan sejarah panjang yang melahirkan pedoman
kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka critical
point-nya adalah membumikan nilai-nilai itu dalam praktek kehidupan
sehari-hari, wujud kecil pertanggungjawaban kita sebagai generasi pewaris
dengan atmosfir permasalahan yang tentunya berbeda.
Atmosfer
sosial abad ke-21 jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada 7 dekade silam.
Maka lagi-lagi kita dituntut menerjemahkan beragam anasir dalam atmosfer sosial
abad ini. Apa yang kita sebut sebagai “arah perubahan” adalah hasil
penerjemahan terhadapnya. Sederhananya, kita perlu memiliki peta yang jelas dan
akurat tentang apa yang sedang terjadi saat ini. Sebuah peta yang di dalamnya
terdapat perbedaan, pertentangan hingga pertarungan memperebutkan posisi
dominan. Sebuah peta dimana semuanya menjadi serba terhubung: batas-batas
teritorial menjadi semakin tidak berarti sehingga kejadian di tingkat lokal tak
lagi berdiri di ruang terpisah dengan kejadian di tingat nasional dan global.
Pada titik inilah pengetahun lengkap dan akurat tentang daerah menjadi semakin
relevan.
sosial abad ke-21 jelas berbeda dengan apa yang terjadi pada 7 dekade silam.
Maka lagi-lagi kita dituntut menerjemahkan beragam anasir dalam atmosfer sosial
abad ini. Apa yang kita sebut sebagai “arah perubahan” adalah hasil
penerjemahan terhadapnya. Sederhananya, kita perlu memiliki peta yang jelas dan
akurat tentang apa yang sedang terjadi saat ini. Sebuah peta yang di dalamnya
terdapat perbedaan, pertentangan hingga pertarungan memperebutkan posisi
dominan. Sebuah peta dimana semuanya menjadi serba terhubung: batas-batas
teritorial menjadi semakin tidak berarti sehingga kejadian di tingkat lokal tak
lagi berdiri di ruang terpisah dengan kejadian di tingat nasional dan global.
Pada titik inilah pengetahun lengkap dan akurat tentang daerah menjadi semakin
relevan.
Kota
Tarakan sebagai salah satu bagian dari Negara “lautan yang ditaburi
pulau-pulau” ini memiliki struktur permasalahan tersendiri dengan konteks
spesifiknya, yang sejatinya juga merupakan potret dari apa yang terjadi di
daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan demikian, membincang sejauhmana pemaknaan
nilai-nilai Pancasila dalam konteks kehidupan masyarakat Kota Tarakan perlu
menyasar beragam permasalahan faktual dengan struktur berbeda.
Tarakan sebagai salah satu bagian dari Negara “lautan yang ditaburi
pulau-pulau” ini memiliki struktur permasalahan tersendiri dengan konteks
spesifiknya, yang sejatinya juga merupakan potret dari apa yang terjadi di
daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan demikian, membincang sejauhmana pemaknaan
nilai-nilai Pancasila dalam konteks kehidupan masyarakat Kota Tarakan perlu
menyasar beragam permasalahan faktual dengan struktur berbeda.
Sebagai
gerbang utama lalu lintas di wilayah Kalimantan Utara dan kawasan perbatasan,
Kota Tarakan cukup terbuka dalam sirkulasi manusia (Indonesia dan mancanegara)
berikut produk kebudayaannya. Ditambah lagi dengan kemudahan dalam
aksesibilitas dunia maya. Kedua faktor ini memudahkan masyarakat Kota Tarakan
untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Terbuka lebar kesempatan mengenal
beragam perilaku, kebiasaan dan pandangan hidup baik melalui media sosial
maupun interaksi langsung. Sebuah persentuhan yang tentu saja tidak hanya
tentang kesesuaian tetapi juga tentang sesuatu yang mungkin saja berseberangan
dengan nilai-nilai dan identitas masyarakat Kota Tarakan pada khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
gerbang utama lalu lintas di wilayah Kalimantan Utara dan kawasan perbatasan,
Kota Tarakan cukup terbuka dalam sirkulasi manusia (Indonesia dan mancanegara)
berikut produk kebudayaannya. Ditambah lagi dengan kemudahan dalam
aksesibilitas dunia maya. Kedua faktor ini memudahkan masyarakat Kota Tarakan
untuk berinteraksi dengan masyarakat luar. Terbuka lebar kesempatan mengenal
beragam perilaku, kebiasaan dan pandangan hidup baik melalui media sosial
maupun interaksi langsung. Sebuah persentuhan yang tentu saja tidak hanya
tentang kesesuaian tetapi juga tentang sesuatu yang mungkin saja berseberangan
dengan nilai-nilai dan identitas masyarakat Kota Tarakan pada khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tingginya
tindak-pidana penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya) di Kota Tarakan beberapa tahun terakhir perlu banyak mendapat perhatian.
Sebuah masalah sosial kronis yang juga dipengaruhi kemudahan berinteraksi yang
memungkinkan tumbuh-suburnya jejaring bisnis terlarang ini. Kasus
narkotika/psikotropika mencapai 11,64 persen dari 1.821 tindak-pidana tahun
2009-2012 (BPS, Tarakan Dalam Angka 2013). Pada periode tahun 2011-2014, kasus
narkotika/psikotropika mencapai 21,38 persen dari 1.398 tindak-pidana. Tindak
pidana lain yang juga meresahkan seperti pencurian sebanyak 21,10 persen,
kejahatan perjudian 11,94 persen, penganiayaan 6,93 persen dan tindak pidana
lain sebanyak 22,60 persen (BPS, Tarakan Dalam Angka 2015).
tindak-pidana penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya) di Kota Tarakan beberapa tahun terakhir perlu banyak mendapat perhatian.
Sebuah masalah sosial kronis yang juga dipengaruhi kemudahan berinteraksi yang
memungkinkan tumbuh-suburnya jejaring bisnis terlarang ini. Kasus
narkotika/psikotropika mencapai 11,64 persen dari 1.821 tindak-pidana tahun
2009-2012 (BPS, Tarakan Dalam Angka 2013). Pada periode tahun 2011-2014, kasus
narkotika/psikotropika mencapai 21,38 persen dari 1.398 tindak-pidana. Tindak
pidana lain yang juga meresahkan seperti pencurian sebanyak 21,10 persen,
kejahatan perjudian 11,94 persen, penganiayaan 6,93 persen dan tindak pidana
lain sebanyak 22,60 persen (BPS, Tarakan Dalam Angka 2015).
Belum
lagi sederet permasalahan lain beserta dampak turunannya dengan intensitas
bervariasi. Sederet masalah yang karenanya gagasan Revolusi Mental
digelontorkan. Tentu, jika disistematisasi secara teoritis akan membutuhkan
alur analisis yang panjang dan ruang dialektis untuk melihat kaitannya dengan
lemahnya pemaknaan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya, bukan pula
hal sulit untuk memvalidasi kesalingkaitannya.
lagi sederet permasalahan lain beserta dampak turunannya dengan intensitas
bervariasi. Sederet masalah yang karenanya gagasan Revolusi Mental
digelontorkan. Tentu, jika disistematisasi secara teoritis akan membutuhkan
alur analisis yang panjang dan ruang dialektis untuk melihat kaitannya dengan
lemahnya pemaknaan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya, bukan pula
hal sulit untuk memvalidasi kesalingkaitannya.
Untuk
itu, kita perlu meresapi kembali nilai-nilai Pancasila secara substansial dalam
kaitannya dengan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak terkecuali
dalam konteks pemahaman keagamaan, kita perlu mengadaptasi pesan-pesan dan
nilai-nilai yang terkandung dalam azas-azas Pancasila. Misalnya dalam Sila
Pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pesannya sederhana: kalau semua warga negara
menjalankan perintah agamanya masing-masing, tentu akan selalu terdorong untuk
menjadi baik dan menghindari hal-hal yang tidak baik. Ini akan menjadi sistem
pertahanan terhadap hal-hal yang merugikan pribadi, keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara di tengah gempuran arus informasi dan kemajuan teknologi yang
lepas kontrol.
itu, kita perlu meresapi kembali nilai-nilai Pancasila secara substansial dalam
kaitannya dengan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak terkecuali
dalam konteks pemahaman keagamaan, kita perlu mengadaptasi pesan-pesan dan
nilai-nilai yang terkandung dalam azas-azas Pancasila. Misalnya dalam Sila
Pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pesannya sederhana: kalau semua warga negara
menjalankan perintah agamanya masing-masing, tentu akan selalu terdorong untuk
menjadi baik dan menghindari hal-hal yang tidak baik. Ini akan menjadi sistem
pertahanan terhadap hal-hal yang merugikan pribadi, keluarga, masyarakat,
bangsa dan Negara di tengah gempuran arus informasi dan kemajuan teknologi yang
lepas kontrol.
Begitu
pentingnya meresapi pesan-pesan berikut kerangka praktek moralitas Pancasila
dalam ritme kehidupan yang semakin menantang. Nilai-nilai luhur Pancasila perlu
terus-menerus disemai di setiap segmen lingkungan (sekolah, keluarga,
masyarakat dll) sehigga tidak terdepak oleh upaya penetrasi nilai-nilai ‘asing’.
Di dunia maya, upaya-upaya pengenalan, pengkajian dan pemahaman terhadapnya
perlu lebih massif sehingga tidak tergerus oleh arus informasi sampah atau content yang cenderung merusak tatanan
nilai dan moralitas kaum muda. Maka perlu ada serangkaian upaya pemerataan
distribusi wacana yang terorganisir dan berkelanjutan dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi media kreatif.
pentingnya meresapi pesan-pesan berikut kerangka praktek moralitas Pancasila
dalam ritme kehidupan yang semakin menantang. Nilai-nilai luhur Pancasila perlu
terus-menerus disemai di setiap segmen lingkungan (sekolah, keluarga,
masyarakat dll) sehigga tidak terdepak oleh upaya penetrasi nilai-nilai ‘asing’.
Di dunia maya, upaya-upaya pengenalan, pengkajian dan pemahaman terhadapnya
perlu lebih massif sehingga tidak tergerus oleh arus informasi sampah atau content yang cenderung merusak tatanan
nilai dan moralitas kaum muda. Maka perlu ada serangkaian upaya pemerataan
distribusi wacana yang terorganisir dan berkelanjutan dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi media kreatif.
Dalam
praktek, pandangan hidup Pancasilais harus lebih mengakar dalam struktur
kesadaran dan laku masyarakat kita sehingga tidak mudah goyah di tengah
gempuran pola pikir mainstream yang
cenderung instan dan pragmatis dan pola perilaku yang nihil semangat edukatif.
Untuk itu, ruang-ruang diskursus perlu dibuka selebar-lebarnya. Kanal-kanal
pewacanaan Pancasila sudah harus lebih dialogis dan akomodatif untuk menjawab
keresahan, ketidakacuhan dan keraguan berujung pesimisme bahkan (mungkin)
penolakan oleh masyarakat terutama kaum muda (baik yang ideologis maupun
pragmatis) atas relevansi Pancasila sebagai landasan dan kerangka kehidupan
berbangsa dan bernegara.
praktek, pandangan hidup Pancasilais harus lebih mengakar dalam struktur
kesadaran dan laku masyarakat kita sehingga tidak mudah goyah di tengah
gempuran pola pikir mainstream yang
cenderung instan dan pragmatis dan pola perilaku yang nihil semangat edukatif.
Untuk itu, ruang-ruang diskursus perlu dibuka selebar-lebarnya. Kanal-kanal
pewacanaan Pancasila sudah harus lebih dialogis dan akomodatif untuk menjawab
keresahan, ketidakacuhan dan keraguan berujung pesimisme bahkan (mungkin)
penolakan oleh masyarakat terutama kaum muda (baik yang ideologis maupun
pragmatis) atas relevansi Pancasila sebagai landasan dan kerangka kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Selain
itu, yang tidak kalah pentingnya adalah keteladanan kepemimpinan dalam
mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Sebuah laku sederhana dapat kita mulai dalam
lingkungan keluarga. Kejujuran, kepedulian, ketulusan, kesetaraan dan ketegasan
adalah beberapa contoh dalam perbendaharaan nilai turunan Pancasila yang dapat
kita praktekkan. Sederhana tetapi akan terasa tidak sederhana ketika kita tidak
memiliki komitmen kuat. Tidak hanya karena spirit yang berorientasi pada hubungan
horizontal (tanggungjawab sosio-ekologis). Tetapi juga karena spirit yang
berorientasi pada hubungan vertikal (tanggungjawab teologis) baik dalam
kapasitas kita sebagai pejabat lembaga pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh
agama, sosiater, aktivis mahasiswa maupun dalam peran-peran yang paling
sederhana.
itu, yang tidak kalah pentingnya adalah keteladanan kepemimpinan dalam
mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Sebuah laku sederhana dapat kita mulai dalam
lingkungan keluarga. Kejujuran, kepedulian, ketulusan, kesetaraan dan ketegasan
adalah beberapa contoh dalam perbendaharaan nilai turunan Pancasila yang dapat
kita praktekkan. Sederhana tetapi akan terasa tidak sederhana ketika kita tidak
memiliki komitmen kuat. Tidak hanya karena spirit yang berorientasi pada hubungan
horizontal (tanggungjawab sosio-ekologis). Tetapi juga karena spirit yang
berorientasi pada hubungan vertikal (tanggungjawab teologis) baik dalam
kapasitas kita sebagai pejabat lembaga pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh
agama, sosiater, aktivis mahasiswa maupun dalam peran-peran yang paling
sederhana.
Untuk
itu, perlu ada komitmen kuat pada nilai-nilai luhur Pancasila yang harus
ditunjukkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kita tidak bisa membuat sesuatu
yang luar biasa dengan cara-cara yang biasa. Selamat Memperingati Hari
Kelahiran Pancasila yang ke-71. (Tri Saleh)
itu, perlu ada komitmen kuat pada nilai-nilai luhur Pancasila yang harus
ditunjukkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kita tidak bisa membuat sesuatu
yang luar biasa dengan cara-cara yang biasa. Selamat Memperingati Hari
Kelahiran Pancasila yang ke-71. (Tri Saleh)
***
dr.H. Khairul,
M.Kes
M.Kes
SEKDA Kota Tarakan