Oleh: Syahrul, S.Pd
Mereka yang memperlakukan politik dan moral secara terpisah
tak akan pernah mampu memahami keduanya (John Morley)
tak akan pernah mampu memahami keduanya (John Morley)
detiKawanua.com – Beberapa minggu belakangan ini di sela-sela kesibukan saya sebagai tenaga pendidik di salah satu SMA di Kabupaten Bolaang Mongondow, banyak hal yang terjadi, dan sudah kebiasan kami pemuda-pemuda kampung untuk senantiasa menghidupkan diskusi kecil-kecilan yang kami menyebutnya diskusi lintas komunitas, ada banyak hal yang didiskusikan mulai dari wacana global hingga lokal, mulai dari hal yang besar sampai hal yang terkecil, dan wacana politik pun tak luput untuk diperbincangkan, Setelah perhelatan Pilkada di Kota Kotamobagu, Bolaang Mongondow Timur, dan Bolaang Mongondow Selatan, serta pemilihan Gubernur Provinsi Sulawesi Utara. Kini wacana gelombang demokrasi prosedural itu menggeliat bergerak ke Kabupaten Bolaang Mongondow yang menurut sebagian pengamat politik lokal bahwa pemilihan di wilayah ini digadang-gadang sebagai pemilihan terseksi se-Bolaang Mongondow Raya, entah apa maksud dari kata “seksi” itu, menurut hemat saya kosakata ini bukanlah sebuah kata yang hanya terlontar begitu saja, namun penuh makna dan mungkin juga penuh dengan intrik politik yang dapat memancing adrenalin para politisi yang ada di wilayah ini.
Jelang pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow ini, pergerseran politik di tubuh partai-partai politik di sulawesi utara terus di warnai dengan bursa calon Bupati, seperti partai politik yang terwakili fraksinya di DPRD, dengan membentuk tim penyaringan calon, atau sekedar “ikutan ramai”. Sebagai tahap awal dengan modal media cetak dan elektronik (polling) cukup untuk mengkampanyekan itu, para calon pun ramai-ramai menyatakan “kalau rakyat menginginkan, saya akan maju dalam pencalonan”. Bersamaan dengan itu partai-partai politik yang mencalonkan mulai memilah-pilih dengan rasionalisasi keterwakilan daerah, agama, suku, pengusaha, birokrat, pensiunan TNI/Polri bahkan sampai dengan menggandeng atau mempaketkan Cabup/Cawabup karena pertimbangan rivalitas politik. Karena ramainya tidak ketinggalan organisasi agama/kemasyarakatan, organisasi kepemudaaan dan mahasiswa dengan membentuk “tim jaring aspirasi” dan “tim sukses” melokalisir diri mendukung calon-calon pilihannya, untuk meneguhkan keyakinan pada semua orang, inilah yang pantas dipilih.
Namun tulisan ini tidak hendak untuk men-diskusrus masalah di atas, pemilihan kepala daerah sebagaimana disebut-sebut sebagai praktek demokratisasi lokal, pada tulisan ini hendak menelusuri sejauhmana peran yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Partai Politik, Penyelenggara Pilkada (KPU Kabupaten dan PANWAS Kabupaten) serta lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat untuk mewujudkan cita-cita ideal dari sebuah demokrasi yang diartikan secara sederhana “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat”, dan dalam konteks demokratisasi lokal masyarakat Bolaang Mongondow sangat berharap dengan adanya pendidikan politik ini dapat mengembalikan tradisi orang Mongondow yakni nilai-nilai luhur dalam menentukan pemimpin yang jujur, memiliki kapasitas dan mampu mengayomi masyarakat, kata seorang teman “masyarakat merindukan kembali sosok seorang BOGANI, sebagaimana nilai luhur yang telah saya sebutkan.
Pentingnya kesadaran politik sangat mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat, menurut data bahwa angka partisipasi pemilih di Bolaang Mongondow Raya dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Utara dan Wakilnya sepi peminat, partisipasi hanya sekitar 54,4 persen, menurut beberapa pengamat yang ada hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara karena adanya regulasi soal sosialisasi calon sesuai peraturan KPU nomor 7 tahun 2015, yang dianggap membatasi ruang gerak pasangan calon, dimana kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota ditegaskan bahwa kampanye pasangan calon di hendel oleh KPU, bukan dari pasangan calon. Persoalan lain, angka pemilih yang tidak terdaftar masih cukup tinggi, pemilih yang tidak memenuhi syarat dan faktor yang dianggap sangat mempengaruhi kala itu bahwa politik uang masih berada diurutan pertama untuk merangsang pemilih untuk datang di tempat pemungutan suara. Disisi yang lain Bertolt Brecht seorang penyair Jerman pernah mengungkapkan “bahwa buta terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik, dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga dia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk dan buruk, serta rusaknya perusahan nasional dan multinasional”.
Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu pemerintah berfungsi. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi. Partai politik merupakan ciri utama sistem politik yang demokratis. Sedangkan salah satu fungsi dari partai politik adalah pendidikan politik, ini merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh partai politik mengingat masih banyaknya masyarakat yang pendidikan politiknya masih sangat minim atau rendah. Partai politik tidak hanya memperhatikan masyarakat di saat kampanye atau menjelang pesta demokrasi, setelah itu dilupakan dan dibubarkan tanpa ada yang namanya proses evaluasi. Tetapi kegiatan pendidikan politik ini juga harus berlangsung secara terus-menerus, namun kenyataannya, partai politik justru memberikan contoh yang buruk. Harusnya partai politik menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara masayarakat dan elite dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan Politik merupakan proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu bersandar pada nilai moralitas politik yang sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia atau warga negara, Pendidikan politik inilah yang mentransfer nilai-nilai dan ideologi politik dari generasi ke generasi.
Politik kekuasaan yang menjadi ciri khas partai politik, dimana penetapan agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik semata-mata sebagai urusan taktis dan strategis untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi politiknya dalam percaturan kekuasaan sekarang dan di masa depan, seyogyanya gerakan politik kekuasaan harus berorientasi pada politik nilai, dimana dalam merebut kekuasaan berlandaskan pada kepentingan bersama dan selalu berada dibarisan rakyat yang merupakan area concern semua pihak, termasuk pemerintah mahasiswa dan masyarakat. Sikap acuh tak acuh terhadap politik (apolitis) dapat dihilangkan dengan cara menyadari bahwa kekuasaan adalah kepentingan kita bersama, sehingga Pendidikan politik, bagi saya adalah rangkaian tak terputus dari pematangan teori dan praktek revolusioner. Keduanya adalah dua sisi dari keping mata uang yang sama. Tanpa teori yang revolusioner, praktek politik hanya akan menjadi sebuah aktivisme yang mati, tanpa arah dan akan cepat membawa demoralisasi dan pengkhianatan-pengkhianatan terhadap tujuan-tujuan perjuangan.
Dalam hal ini pendidikan politik selalu mengusahakan agar aktivitas politik itu dilakukan dalam sebuah kampanye yang berjangka panjang, yang meliputi baik aksi maupun propaganda dalam bentuk tulisan ataupun diskusi. Hal ini saya rasa sangat penting agar rantai teori-praktek tidak terputus. Besar harapan masyarakat Bolaang Mongondow dengan adanya pendidikan politik yang tersismatis dan berkesinambungan yang dilakukan oleh setiap Stakeholder yang ada kelak akan melahirkan pemimpin yang jujur, , memiliki kapasitas dan mampu mengayomi masyarakat.
Amin Yaa Rabbal Alamin ….. !!!!
Tiada dusta yang lebih besar daripada kebenaran yang disalahpahami
(William James)
(William James)
Penulis adalah Pengurus KAHMI Bolaang Mongondow