Oleh: Bustamin J.W. Tosofu
“Ciri khas fisik sebagai tanda identitas
yang menegaskan siapa “kita” dan siapa “mereka”
dan sekaligus menerbitkan solidaritas atau permusuhan”
(Harold Isaac).

detiKawanua.com – Dialektika realitas menjadi hal penting dan substansi (isi) dalam mendorong perubahan besar ke depan. Harus dipahami bahwa untuk menuju pada keparipurnaan pemikiran membutuhkan suatu sikap otokritik. Sudah dipastikan hal dasar untuk melangsungkan peradaban membutuhkan wilayah kesadaran idea dan kesadaran realitas sebagai sistem kesatuan yang utuh (ontologisme). Pergeseran paradigma ilmu pengetahuan ini mengikuti irama kajian dan struktur logika. Jika dalam kajian ini analisis menggunakan pendekatan biopolitik/politik identitas yang ditawarkan oleh kelompok/mazhab kritisisme (posmo).
Baca juga: OPINI: Sowohi dan Politik Kekuasaan Tidore
Analisis ke-doxa-an lebih jauh, harus memboboti penjelasan ini dengan perspektif konsep Asabiyah (solidaritas sosial). Konsep Asabiyah dalam perspektif Ibnu Khaldun (Mudafir) ini menggambarkan tentang sosial politik. Solidaritas sosial ini menjadi sangat kuat dan radiks jika dihidupkan dalam kebersamaan orang-orang yang mengembara/rantau. Perspektif Khaldun ini memberikan gambaran, analisis dan membaca fenomena politik orang-orang rantau dalam ruang kuasa. Soslidaritas sosial ini bukan saja berada pada relasi politik, tetapi ruang gerakan sosial pun sangat mengedepankan faksi identitas yang kuat. Episteme dalam biopolitik atau politik identitas, bukan politik tradisonal, tetapi pergerakan dan wacana politik ini muncul dengan sendirinya untuk merespon pertarungan kekuasaan dalam berdemokrasi.
Nalar politik manusia modern telah meletakan kesadaran publik, bahwa orang berpolitik adalah orang yang berada pada panggung prestasi. Dalam tafsir, bahwa pertarungan di ruang politik (kandidiat), baik itu pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan legislatif (caleg) dan pemilihan Presiden (pemimpin Negara), adalah pengejawantahan orang-orang yeng memiliki kemampuan. Rentetan prestasi ini bisa kita runut apa yang mereka perbuat untuk publik, kita bisa membaca artikel ‘Investasi Politik Menuju Pilkada (A. Ways), menjadi varian pemikiran dalam mendesain kemenangan kandidat pada pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Afiliasi Politik Orang Rantau
Post-reformasi mengahantarkan publik Indonesia keluar dari pakem kekuasaan yang absolut, dan dunia politik kehendak atas pemilihan langsung yang terbuka dan alternatif solusi kita dalam berdemokrasi saat ini. Ruang desentraliasi dan fleksibilitas politik menghantarkan publik pada ruang politik di daerah, terkecuali ada ruang yang membatasi dalam konteks otonomi asimetris di empat daerah di Indonesia (DKI, DIY, Aceh dan Papua).
Pertarungan politik ini bisa memberikan isu sampai pada propaganda politik yang melabelkan atau politik simbolisasi. Pelabelan dan simbolisasi ini bisa ditafsirkan secara sederhana adalah bisa menciptakan opini publik tentang orang asli dan tidak asli. Fakta ini sering terjadi dimana saja. Tetapi yang paling massif jika kita lihat Papua. Ruang lingkup normatif memberikan klasifikasi orang pendatang, peranakan, dan asli. Proses politik di Papua sangat kental dan hegemoni etnik menjadi sangat mengakar. Meta data bisa memberikan referensi ideologi politik orang-orang Ayamaruh dengan politik kain timur dan sudah menyejarah di publik Papua. Suku Ayamaruh tuntas dalam komunikasi politik atau one idelogy dimensional.
Lihat juga: OPINI: Kampus Pencerahan (Universitas Muhammadiyah Sorong Titik Simpul Wujudkan Intelektual Papua)Afiliasi politik orang rantau ini bisa kita pelajari mereka ingin tunjukan eksistensinya. Bahwa ada pengakuan dari kelompok lain terhadap mereka dengan kekuatan hegemoniknya. Namun hal ini adalah prestasi yang dilakukan. Fadel Muhammad misalnya. Sosok politik berdarah Arab ini lahir di Ternate dan mendapat kepercayaan publik Gorontalo sebagai Gubernur. Fakta lain bisa kita lihat di Jakarta. Pengakuan suku Betawi yang adalah orang asli Jakarta ini, dalam berpolitik kekinian bisa terbantahkan dan bahkan tergusur secara politik afiliasi politik orang-orang rantau, baik itu Jawa dan Sumatera. Data lain tentang politik orang rantau di ibukota Jakarta, (adalah) daerah yang populasi penduduknya kecil seperti Maluku Utara bisa menduduki kursi parlemen di DKI, kita sebut saja Ongen Sangaji dan Hasan Basri.
Kita baca dari hasil survey opini politik masyarakat di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, memberikan satu data bahwasanya kelompok-kelompok Jawa sebagai mayoritas sangat berharap perwakilan mereka untuk mendampingi orang asli Papua bertarung di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017. Diplomasi dan persekutuan poltik dengan selohan Moja (Moi-Jawa), simpul dan kekuatan politik identitas dari deskripsi lapangan memberikan gambaran dunia dan kesadaran baru dalam berpolitik. Di daerah Palopo Selebes, hasil penelitian Munawarah tentang politik etnik pendatang sangat mengakar dan menguasai lembaga parlemen.
Beberapa daerah di Maluku Utara, hegemoni politik orang-orang rantau/pendatang sangatlah kuat dan menjadi lingkaran kuasa antara suku. Jika romantis melampau memberikan kita gambaran sistem monarki absolut tumbuh subur di negeri ini dan memiliki wilayah dan hak veto dalam kuasa sultan. Pertarungan politik kekuasaan, terus bermetamorfosa menjadi pertarungan politik di ruang politik kekinian, dinamika politik di kota Ternate dikuasai oleh kelompok pendatang atau dalam hal ini adalah perantau dari suku Tidore, Makian, Sanan, Bacan, Halmahera dengan kekuatan sumberdaya manusia yang mumpuni. Dinamisasi politik orang-orang pendatang/rantau ini masih banyak dijadikan contoh.
Politik DNA (Hipotesa Politik Kekinian Orang-orang Rantau)
Gagasan Ibnu Khaldun (
Nizam), bahwa ada tiga hal penting dalam melihat sosok pemimpin.
Pertama, memiliki kemampuan untuk menguasai masyarakat warga (Publik);
Kedua, memiliki kekuatan, kewibawaan dan kewenangan, dan
Ketiga, harus berasal dari kalangan sendiri. Pada poin ketiga ini, harus mempertimbangkan aspek etnisitas tapi memiliki kualitas atau kuasa pengetahuan (kuasa intelektual), untuk mendorong prinsip politik berada pada wilayah kekuasaan, kewenangan dan kebijakan. Tidak menjadi faksi antara tiga poin penting ini sehingga hal fundamental adalah
married system antara gagasan.
Simak juga: OPINI: Rakyat Rela Jual Ginjal, Negara Gagal Sejahterakan Mereka
Politik DNA menjadi salah satu simpul dan mobilitas politik yang sangat kuat, jika isu etnisitas menjadi strategi kampanye ke depan. Relasi kuasa dalam pemikiran M. Foucault (baca: Sowohi & Politik Kekuasaan Tidore), relasi kuasa itu berada dalam sendi-sendi kehidupan sosial dan subyek-subyek ini memiliki kuasa masing-masing dan kadang dia berada pada titik kohesi atau adhesi. Kebangkitan kelompok sosial mendorong pergerakkan politik yang bisa dijadikan dalil sebagai heroisme siapa lawan siapa, namun lebih kepada afiliasi kelompok yang mengkampanyekan kepentingan pembangunan. Hal yang harus diantisipasi dalam mobilisasi politik etnisitas menjadi urgen, karena politik etnisitas ini bisa memberikan momok yang tidak baik jika itu terjadi konflik politik. Dan harapan besar adalah gerakan politik etnik yang berkesadaran tinggi.
Imajinasi politik rantau ini sangatlah kuat apabla ini disandingan dengan melacak/analisis secara geonoligi etnisititas. Ruang politik ini bisa berada pada politik orang pribumi dan non-pribumi dan akan dijadikan wacana relasi antar sesama, dan gerakan pemersatu atau istilah Agnes Heller, sebagai politik pembeda (Abdillah S). Pergerakan kelompok etnik ini sampai pada kerukunan paguyuban (organisasi dengan semangat kedaerahan), antarsuku, antarklen dan itu subur pada fase sekarang ini dan dijadikan salah satu kekuatan politik (modal sosial). ***
Penulis adalah Direktur Riset & Publikasi Pasifik Recources Indonesia
Peneliti Pusat Analisis Regional (PuSAR) Indonesia