Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

ARTIKEL: Mengenal (Beberapa) Raja Kaidipang, bagian pertama

×

ARTIKEL: Mengenal (Beberapa) Raja Kaidipang, bagian pertama

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adrianus Kojongian

detiKawanua.com – Kaidipang, di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sekarang, pernah menjadi kerajaan mandiri bertetangga kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Itang, Bintauna dan Bolaang Uki. Dinasti Korompot menjadi penguasa turun-temurun sejak awal hingga penggabungannya dengan Bolaang Itang di tahun 1913.

Sayang, ada yang mengganjal ketika meneliti sejarah Kaidipang yang beredar luas selama ini. Selain nama raja-rajanya yang sangat tidak bersesuaian dengan bukti-bukti yang ada, dalam umpamanya penandatanganan perjanjian dan kontrak yang pernah terjadi, tahun-tahun pemerintahannyapun banyak lari dan jauh dari fakta yang semestinya.

Selama ini berkembang kisah kalau Maurits Binangkal, yang dicatat juga dengan nama Martinus Binangkal, yakni raja pertama Kaidipang yang ketika itu belum resmi memakai fam Korompot, telah dibawa langsung dan ditabalkan raja di kerajaan Gowa Makassar oleh Gubernur Robertus Padtbrugge.

Padtbrugge adalah Gubernur Maluku dengan kedudukan Ternate, dimana Manado, Gorontalo dan sebagian kawasan Sulawesi Tengah, termasuk didalamnya kerajaan Kaidipang, adalah wilayah penguasaannya. Jadi, cukup aneh kalau Patdbrugge mesti membawa Maurits Binangkal ke Makassar –yang berada di luar cakupan pemerintahannya–hanya untuk sekedar dilantik raja.

Tradisi pelantikan raja-raja yang berada di Keresidenan Manado (termasuk Gorontalo ketika masih berbentuk keresidenan) masa VOC, biasanya dilaksanakan di Ternate, bertempat di Benteng Orange. Baru kemudian di masa berikut banyak dilaksanakan di Manado.

Padtbrugge justru dalam perjalanannya ke Keresidenan Manado 16 Agustus sampai 23 Desember 1677 membuat keistimewaan dengan langsung melantik (ulang) para raja di Sulut di ibukota masing-masing kerajaan, ditandai dengan penandatanganan korte verklaring (perjanjian pendek) yang intinya mereka sebagai raja bawahan bersumpah setia pada Raja Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal.

Jurnal Padtbrugge mengungkap pada hari Rabu tanggal 8 September, kapalnya ‘de Vliegende Swaan’ telah membuang sauh di perairan lepas pantai Kaidipang yang berkedalaman 14 sampai 30 depa. Raja Kaidipang Binangkal yang disertai Hukum dan Sangaji diterima (dan kemudian dilepas) dengan kehormatan tembakan meriam. Setiap dentuman meriam, Raja Binangkal berseru dengan sangat gembira dan terpesona sekali.

Raja Binangkal meminta pertolongan Padtbrugge menghadapi lawannya Regen Bolaang Itang Linkakoa, bekas istri saudaranya Mau-Bilang yang telah lama berselisih dengannya. Mau-Bilang adalah raja sebelum Binangkal. Perkawinan Mau-Bilang dengan Linkakoa tidak berlangsung lama dan mereka bercerai. Bolaang Itang yang masih merupakan bagian kerajaan Kaidipang dibawah Linkakoa atau juga disebut Liunkakoa dan juga Sinkakoa tumbuh menjadi bagian kerajaan yang merdeka. Linkakoa terkenal dengan gelaran Radja Parampoewan, diduga dibaptis Kristen Katolik oleh Pater Carlo Torcotti. Ia dikenal dengan nama Magdalena Linkakoa, nama yang dipakainya ketika bersama Bobatonya menyurati Gubernur Maluku Cornelis van der Duijn 15 Maret 1694.

Ketika Mau-Bilang meninggal dengan meninggalkan seorang putra, Binangkal datang dengan pengikutnya di Dauw dan diakui sebagai raja. Linkakoa sendiri kawin kembali dengan Intji Mannes, raja Taiwila, sekarang Tawaeli di Sulawesi Tengah.

Campur tangan kerajaan-kerajaan tetangga dalam perselisihan Dauw dan Bolaang Itang sangat besar, bahkan Sultan Hasanudin dari Gowa Makassar sempat mencampuri dengan mengalahkan Binangkal. Perselisihan masih terus berlarut meski Belanda telah menanamkan kuasanya. Baru resmi berakhir di abad berikut ketika Kompeni Belanda menjadikan Bolaang-Itang sebagai kerajaan ‘merdeka’, lepas dari Kaidipang.

Raja Binangkal sendiri terungkap sudah sejak tahun 1675 menyatakan keinginannya menjadi Kristen Protestan seperti dicatat Ds.Gualtherus Peregrine yang mengunjungi Manado dan kemudian Kepulauan Sangihe-Talaud. Kepada Gubernur Padtbrugge dan Ds.Zacharias Caheing yang menyertai ekspedisi, Binangkal kembali menegaskan sikapnya untuk masuk Kristen bersama rakyatnya.

Hari Kamis 9 September, di sore hari, Gubernur Padtbrugge dan rombongan datang ke ibukota Kaidipang. Rumah raja tidak berbeda dengan rumah penduduk lainnya, hanya lebih luas, memiliki sedikit furnitur, tapi banyak jaring ikan.

Padtbrugge di depan semua penduduk bertanya untuk mengetahui apakah itu pendapat dan keinginan mereka semua untuk menerima agama Kristen. Seluruh orang banyak berkata: ”Ya!”

Padtbrugge kemudian mengambil topi berpita emas perak dan memahkotai Raja Binangkal. Sang Raja sangat terpesona dengan topi mahkotanya. Digambarkan Padtbrugge raja ‘masih mabuk’ dengan topinya. Ini mungkin yang jadi cerita rakyat bagaimana kekaguman Raja Binangkal terhadap topinya sampai kelak memunculkan fam Korompot bagi keturunannya.

Seperti adat Kompeni, bagi raja dan para bobato Kaidipang dihadiahkan tanda kehormatan. Untuk Raja Binangkal Padtbrugge menyerahkan hadiah kebesaran berupa 4 ellen roode serfie, 1 zwaarten hoed (topi hitam), 1 Suratsen deken (selimut Surats) dan 1 ps roode Moeri. Untuk Jogugu 2 parkallen dan untuk Kapitein Laut 1 ps.parkal.

Terakhir Raja Binangkal bersama Gubernur Padtbrugge mengunjungi gereja yang baru dibuat.

(bersambung)

Penulis Tinggal di Tomohon, Sulawesi Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *