Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

(Opini) SULUT Dalam Krisis Multidimensional

×

(Opini) SULUT Dalam Krisis Multidimensional

Sebarkan artikel ini
Kontemplasi Pemikiran Dr. G.S.S.J. Ratulangi : Sang Futurolog Minahasa

Oleh : Rifaldi Rahalus.
Mahasiswa Fisip Unsrat / Ketua Umum HMI (MPO) Cabang Manado.

detiKawanua.com – Pada bebarapa dekade dan dalam perkembangannya mengenai sosok dan pemikiran Dr.GSSJ.Ratulangi seorang putra asli daerah Minahasa yang beliau juga orang pertama menyandang gelar doktor sains di Indonesia Timur, akhir-akhir ini mulai berkurang peminat yang tekun menelusuri perjalanan dan perjuangannya sebagai bapak pembangunan di kanca lokal, Nasional bahkan Internasional, untuk kemudian dikaji kembali dan dijadikan alat penghidupan sebagaimana motto Ratulangi “Si Tou Timou Timou Tou” dimana arti dari falsafa ini mengandung makna yang humanis bukan dehumanis, paling tidak adalah manusia hidup untuk memanusiakan yang lain . Di kalangan akademisi sendiri, khususnya di Sulawesi Utara, pemikiran sosok Ratulangi seakan sesuatu yang asing hingga tidak ada lagi kecenderungan mereka untuk membaca kembali pemikirannya yang telah diwariskan kepada kita semua hingga saat ini.


Sebelum jauh melangkah mengenai pembahasan ini, penulis adalah bukan berdarah Minahasa/Sulut, justru berdara Maluku, selebihnya, kenapa penulis bersemangat mengangkat kembali topik ini, juga bukan karena penulis adalah salah satu dari mahasiswa yang menimba ilmu di lembaga pendidikan yang mengabadikan nama Ratulangi (Unsrat). Namun, penulis hanyalah segilintir dari sekian orang yang berminat mengembangkan bakat di dunia literasi, meski sebagai pemula di dunia literasi. Lebih jelas lagi penulis cukup tertarik dengan ide dan gagasan Ratulangi ketika membaca sumber-sumber literatur yang telah banyak mengupas tentang perjalan dan sosok pemikiran sang  frutolog itu. Inilah faktor yang mendorong penulis untuk mengakselerasikan ide brilian Ratulangi yang cenderung puna.

Semakin langkahnya dalam hal memahami dan menafsirkan pemikiran Ratulangi dapat dibuktikan terlebih khusus mereka pribumi Minahasa yang belum banyak mengetahui siapa sebenarnya sosok Ratulangi, mungkin ada namun, bisa bilang telah terpetak-petak bahkan tidak terurai tuntas dalam pemahaman khalayak masyarakat pribumi Minahasa/Sulut pada umumnya karena, sumber tentang Ratulangi hanya sebatas cerita turun temurun yang tentunya telah banyak mengalami pergeseran seiring berjalannya waktu, selebihnya hanya menjadi mitos di negeri dongeng. Demikian di kalangan mahasiswa khususnya di Unsrat, berdasarkan pengamatan penulis, terdapat masing-masing dua orang mahasiswa perwakilan dari total sebelas fakultas di Unsrat justru tidak tahu sepintas kepanjangan dari nama lengkap Ratulangi yang di singkat dr.GSSJ.Ratulangi padahal, ini merupakan faktior yang paling mendasar untuk mengetahui lebih jauh tentang sosok seorang Ratulangi. Bisa dikata riset ini lemah jika dihitung secara keseluruhan mahasiswa Unsrat yang mencapai puluhan ribu, akan tetapi, apa pantas disebut mahasiswa Unsrat sementara hal yang mendasar saja justru tidak diketahui, hal ini ibarat kacang lupa kulitnya. Pertanyaan lain, bagaimana selanjutnya pemahaman mahasiswa Unsrat serta jajaran civitas akademisi tentang pemikiran sang doctor pertama di Indonesia Timur ini. Sangat disayangkan jika predikat kampus ternama di Manado harus dianggap kaku, dan bagi penulis Unsrat secara intelektual juga telah ditelanjangi oleh orang-orang yang jusrtu berkecimpun didalamnya, akibat telah melupakan sejarah sendiri di rumah sendiri pula.

Untuk menepis kejanggalan diatas kiranya ada beberapa penggiat di Sulut yang patut kita ikuti heroisme mereka dalam proses membumikan ide dan gagasan serta pemikiran Ratulangi di Bumi Nyiur Melambai ini. Sebut saja dr.Bert A.Supit.  Meskipun berprofesi sebagai dokter umum, beliau juga adalah satu dari sedikit penggiat pribumi Minahasa yang terus memfokuskan diri dalam mengembangkan ide Ratulangi. Kurang lebih 50 tahun dr.Bert mengabdi di Minahasa dengan melahirkan sebuah visi dan falsafah ‘wholistic helth and healing’ demi melayani kemanusiaan dalam keutuhannya. Falsafah dan visi tentang wholistic health dan healing tersebut memang luas dan dalam, dan dengan latar belakang falsafah itu, selama bertahun-tahun dr.Bert turut terlibat dalam hampir semua aspek kehidupan manusia yakni agama, sosial, politik, ekonomi, budaya, kesehatan, pertanian, lingkungan hidup dan pendidikan. Alhasil, wawasan yang diperoleh selama itu sangat bervariasi dari wawasan lokal, nasional sampai wawasan Internasional. Di sektor pendidikan  formal, pengalaman dr.Bert tidak seberapa karena selain pernah menikmati pendidikan formal dari SD sampai Universitas kemudian pernah menjabat asisten dosen di UNHAS Makassar, Dekan Fakultas Kedokteran UKIT yang kemudian ditutup lalu ia lanjut memprakarsai membukanya kembali; ia juga pernah mengurusi UKI-Tomohon.

Pengalaman lain yang ditorehkannya yakni sektor pendidikan dan lebih banyak berada dalam pendidikan non formal kemasyarakatan, karena disitulah ia menimba banyak pengalaman sebagai soko guru kehidupan pendidikan  dewasa (andragogi) dalam memahami dan menilai kualitas hidup manusia Minahasa khususnya maupun manusia Indonesia pada umumnya selama berkuasanya rezim Orde Lama, Orde Baru maupun selama Era Reformasi yang berlangsung hingga kini.

Dengan latar belakang falsafah ‘wholistic health and healing’   maka, banya kualitas hidup manusia yang haruas kita pahami adalah juga dalam seluruh aspek keutuhannya baik secara individu, sosial, alam sekitar maupun hubungan dengan sang penciptanya. Dari pintu masuk inilah kemudian ia gunakan untuk menyoroti peran pendidikan formal dan non-formal di Minahasa, khususnya peran Perguruan Tinggi, dan lebih khusus lagi, peran  Universitas Sam Ratulangi yang membawa nama besar DR. GSSJ Ratulangi yang adalah ‘Guru Besar’ dr.Bert dalam memahami dan mengagumi lima aspek Falsafah dan visi Sam Ratulangi yakni: pertama, Falsafah ‘Si Tou Timou Tumou Tou’, kedua, Wawasan Sumikola, ketiga, Otonomi Sempurna untuk Bangsa dan Tanah Minahasa, keempat, Republik Indonesia yang berbentuk Federal, dan kelima, Peran Minahasa dan Indonesia di Asia Pasifik. Demikian prolog singkat dr.Bert yang turut mengedepankan sosok dan ide serta pemikiran Ratulangi, dan ini patut menjadi contoh bagi generasi muda Indonesia terlebih khusus pribumi Minahasa juga civitas di Unsrat.

Kemorosotan Kualitas Etis Moral Manusia Indonesia

Dari berbagai analisa sosiologis oleh para pakar nasional tentang kualitas manusia Indonesia sekarang ini, mereka telah menyimpulkan bahwa selama tiga dekade lebih rezim Orde Baru berkuasa dan satu dekade lebih zaman Reformasi, akibat konsentrasi  pembangunan Indonesia  sangat ditekankan kepada pertumbuhan politik dan ekonomi semata-mata maka ‘social cost’ semakin parah karena  terdapat pemisahan antara pembangunan politik/ekonomi disatu pihak dan etika moral manusia Indonesia dilain pihak. Pembangunan yang memfokuskan pertumbuhan ekonomi semata, ternyata telah kehilangan norma-norma etika dan moralitas sebagai faktor pengendali internal sehingga kehilangan makna eksistensial yakni nilai-nilai spiritualnya.

Biarpun dicatat bahwa kemajuan politik/ekonomi di Indonesia cukup pesat namun secara kultural dan spiritual manusia Indonesia mengalami kemunduran. Lebih parah lagi, oleh karena sistem pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru mempunyai karakter ‘elitis feodalistis sentralistis’ yang berbau  ‘budaya integralistik Jawa’, yang dilanjutkan dalam zaman Era Reformasi yang biarpun secara normatif telah ditegakkannya unsur-unsur demokrasi yang sebelumnya diabaikan,  maka politik tetap saja menjadi oportunistis dan represif, ekonomi menjadi eksploitatif, hukum menjadi manipulatif, ilmu (intelektual) menjadi arogan, adat dan budaya lokal dipinggirkan bahkan dikomersialkan dan last but not leas pendidikan dan agama sebagai benteng terakhir pertahanan etis moral manusia ikut masuk dalam perangkap menjadi alat justifikasi segala macam penyimpangan. Pendek kata, praktis seluruh dimensi hidup di Indonesia termasuk di Minahasa/Sulut mengalami degradasi dan pembusukan karakter karena secara terang-terangan terkooptasi oleh karakter rezim yang elitis serta korup. Oleh sebab itu, yang muncul pada akhir  1997 dan awal 1998 sebagai apa yang disebut krisis ekonomi dan keuangan di Indonesia, sebenarnya merupakan puncak dari krisis multi dimensional yang sudah lama berlangsung di Indonesia dan sedihnya dilanjutkan di Era Reformasi sekarang ini. Memasuki delapan belas tahun dalam Era Reformasi, manusia Indonesia pada umumnya, Minahasa/Sulawesi Utara khususnya masih tetap berada pada krisis multi dimensional.

Dunia pendidikan formal termasuk lembaga pendidikan tinggi  (universitas) belum juga dapat keluar dari lingkaran setan krisis etis moral dan disiplin lembaga-lembaga pendidikan. Berbagai praktek yang tidak etis dan bermoral masih juga tetap berlangsung dalam dunia pendidikan dengan contoh-contoh sebagai berikut: banyak gelar-gelar akademis diperoleh secara komersial maupun tidak mengikuti prosedur akademis lagi; budaya arogansi intelektual yang mengejar dan memakai gelar akademis dengan mutu yang rendah masih tetap berlangsung terus; praktek jual beli nilai dan jual beli diktat kuliah juga tetap berlangsung terus. Khusus di kalangan pendidikan tinggi masih tetap berlangsung sistem mengajar ‘teacher oriented’ dan  bukan ‘student oriented’; seakan-akan ‘teachers can do no wrong’ dengan mental hanya mengejar sebanyak mungkin ‘credit points’ untuk kepentingan diri sendiri sambil menterlantarkan mahasiswa dengan nasibnya. Bagaimana mungkin kualitas manusia Indonesia dapat berbobot bila aspek etis moral serta disiplin pendidikan (tinggi) tetap merupakan masalah yang tidak terselesaikan. Oleh sebab itu, bagi seorang pengamat/ pemerhati pendidikan (tinggi), maka aspek-aspek etis moral, disiplin, budaya, falsafah dan spirit (semangat) suatu lembaga pendidikan (tinggi) merupakan dasar yang mutlak untuk di aplikasikan dengan bertanggung jawab bagi pengembangan mutu Pendidikan  (tinggi) itu, di samping peningkatan mutu ilmu pengetahuan atau academic excellence.

Sebagai sebuah lembaga perguruan tinggi yang berada di tanah Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, dengan menyandang nama besar Sam Ratulangi, oleh cukup banyak kalangan masyarakat dipertanyakan apakah Unsrat mempunyai suatu jati diri atau karakter atau identitas yang spesifik yang dapat dibanggakan oleh masyarakat Minahasa/ Sulawesi Utara? Apakah lembaga Universitas tersebut hanya memakai nama besar Ratulangi sebagai slogan belaka, ataukah lembaga itu juga sekaligus membawa obor semangat idialisme, falsafah, moral, disiplin, budaya serta visi dari Ratulangi sebagai manusia yang hampir komplit itu.

Saya benar-benar masih sangsi tentang keseriusan pimpinan dan civitas akademika UNSRAT untuk mendalami seluruh pemikiran dan visi DR. G. S. S. J. Ratulangi, apalagi untuk mengadopsinya dalam pola dasar renstra Unsrat. Semua orang yang mengenal sebuah perguruan tinggi mengetahui bahwa sebuah Universitas adalah juga pusat pembentukan budaya dengan falsafah dan visi yang jelas. Sayangnya, menurut dr.Bert dari beberapa dialognya dengan civitas akademika di Unsrat, ternyata tidak ada sama sekali dalam perkuliahan di Universitas tersebut tentang siapa DR. GSSJ Ratulangi dan apa Visi dan Falsafahnya.

Sebagai pengagum dan pengikut yang ‘fanatik’ dari seluruh aspek kehidupan Sam Ratulangi, dr.Bert sangat merindukan dan tentu juga semua orang yang mengetahui dan mengenal perjuangan Sam Ratulangi ingin melihat bahwa Universitas yang ada di Manado yang menyandang nama besar Ratulangi mempunyai jati diri yang mengamalkan secara nyata dan utuh seluruh sikap, pemikiran dan visi dari seorang Sam Ratulangi. Dalam hal ini maka baik falsafah maupun pemikiran-pemikiran budaya, politik, ekonomi serta visi global dari Sam Ratulangi sebenarnya harus di adopsi secara total dalam pola dasar, renstra, pola ilmiah Pokok (PIP), Program Studi Universitas Sam Ratulangi di Manado untuk di jadikan  roh (semangat) yang akan membakar dan menjiwai seluruh civitas akademika Universitas Sam Ratulangi dan masyarakat di Minahasa/Sulut sepanjang zaman. Dalam hubungan ini UNSRAT sebenarnya  harus membentuk sebuah pusat pengkajian pikiran-pikiran Sam Ratulangi untuk diaplikasikan sebagai pandangan dan sikap resmi Universitas Sam Ratulangi. Disamping itu, Dewan Penyantun UNSRAT bersama pimpinan UNSRAT dapat juga membentuk sebuah Yayasan Sam Ratulangi yang akan berusaha bersama seluruh keluarga Sam Ratulangi untuk memobilisasi masyarakat Minahasa/Sulawesi Utara untuk turut mengembangkan Falsafah dan Visi ‘Bapak Minahasa’ yang serba komprehensif dan komplit itu. Semoga. (#)

Sumber Tulisan:

Henley David E.F. : Minahasa Nationalism and Regionalism in a Colonial Context;Moningka B.H.Ulaen A.j.Ointoe Reiner E : Manusia di Panggung Sumekola;Mc Clellan James E : Phylosophy of Education;
Ohoitimur Yong : Menegakkan Moral dan Disiplin Pendidikan;Syamsuddin Haris : Krisis Kepemimpinan Politik, Demokrasi dan Tantangan 2014;Supit BA : Peran Unsrat dalam Peningkatan Kualitas Hidup, 12 April 2012.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *