Example floating
Example floating
SULAWESI UTARA

KIAMAT IDEALISME POLITIK; Perilaku Politik Anak Adat

×

KIAMAT IDEALISME POLITIK; Perilaku Politik Anak Adat

Sebarkan artikel ini
Oleh: Bustamin W.Tosofu
Peneliti PuSAR (Pusat Analisis Regional) Indonesia.

“Jagalah akal sehat, 
ketika semua orang tergoda untuk gila”
 [Bang Alto]

    

Sultan Tidore ketika Menganugerahkan Gelar Adat ke Presiden Jokowi. /Ist 

detiKawanua.com – KIAMAT, adalah kata yang terpusat pada telogis dan doktrinal agama. Perspektif agama tentunya ini adalah akhir dari alam bumi dan awal dari alam gaib. Tetapi dalam terjemahan sosial politik menjadi hal yang berbeda dan memiliki rumpun kajian yang berbed pula, tanpa menghilangkan semangat dan substansi dari kiamat idealisme. Bagaimana kiamat idealisme politik itu ?.

Pertanyaan ini bagian dari hasil dari fakta sosial yang ditemukan dalam aktifitas politik anak adat di kampung Mejik. Relitas anak muda di “Tidore”, cenderung meninggalkan nilai-nilai idealisme kaum muda pewaris seluruh cita-cita sosial dan perjungan para pendahulu. Paling tidak pemuda sebagai agen intelektual memberikan tawaran rasional yang membangun dengan akumulasi pengetahuan yang dimiliki, bukan menawarkan dan memberikan peluang untuk kepentingan politik golongan yang bisa merusak nilai idialisme yang begitu mahal dan roh pemuda adat.

Pertarungan politik praktis anak muda, pada wilayah ini bagian  dari pada bencana politik atau kiamat politik. Mengabaikan nilai (value), simpul kekuatan marga diselewengkan demi mendapat akses berkedok kekuasaan, orang, subjek dan pribadi ini, bagian dari pada Firaun abat 21; karena memanfatkan kelompok untuk kepentingan beberapa orang.

Kontestasi politik di pelbagai daerah, mengundang penafsiran dan perspektif yang berbeda. Pertaruangan politik menjadi menarik dan prestise tersendiri dan apresiasi positif, tak perlu menyelak komedi akal politik manusia (comedy of human politic intelek) menggiring manusia secara simultan untuk terus bersikusi, dialog, bercerita, dengan kekuatan ini  segelintir pemuda pun menghendaki politik uang.

Bargaining Politik Anak Adat

Dinamisasi politik anak adat, dengan berbagai pertimbangan dan semakin kompleks perilaku pragmatisme yang mengakar, membongkar kebenaran lama dengan argumantasi kebenaran baru. Pemikiran baru ini muncul dengan interfensi kepentingan kelompok (interest group) yang mempertahankan rasio politiknya, dengan semangat dan upaya menggiring adat (marga) dalam esensi pertarungan politik seolah-olah marga menjadi nilai tawar, nilai jual dalam berpolitik. Riskan dan prihatin, dengan mudah mensejajarkan nilai perjungan para leluhur dengan kalkulasi rupiah?

Pertanyaan kemudian, apakah sudah saatnya anak adat terutama marga sudah melepaskan manifesto politik praktis? Saya kira tidak. Dalam konsep dan nilai yang ideal yang menjadi pesan para leluhur. Tapi nilai luhur yang tersimpan ribuat tahun menjadi nilai sosial yang harus menjadi bahan pertimbangan para kandidat yang akan diaktualisasi, ibarat kata setiap permulaan dalam pemikiran adalah akhir dalam perbuatan.

Generasi politik adat kedepan menjadi pusat pemikiran gerakan politik atau sendi perjuangan kedewasaan demokrasi, oleh karena itu kebenaran absolut adat yang tidak perlu dipublikasikan melalui langkah-langkah pragamtisme politik. Kekuatan dan simpul sosial adat menjadi hal yang sakral dan logosentrisme yang tidak perlu dirubah dan didekonstruksi eksistensinya.

Tidak ada kata lawan untuk politik anak adat. Tetapi dalam berpolitik jangan mempolitisir kekuatan adat. Waktu senggang jika renungan ini terus melampaui terasa kering dan gersang Sebab susu intelktual, puritanisme dan etos perjungan anak adat menjadi kerdil. Semangat kritis anak adat harus dibangun, jika kita lebih mendalam dan memahami makna dari kalimat “toma loa sebanari” (menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran). Kalimat ini memiliki muatan kritis dalam kehidupan sosial masyarakat termasuk dalam perilaku berpolitik. Sehingga masi relefasi dengan politik, berpolitik harus berjalan tepat dan benar sesai dengan koridor normatif dan mekanisme.

Jika perjungan para leluhur (Sultan Nuku) dalam menentang kekuatan kolonialisme Bangsa Barat dengan menyandingkan nilai-nilai kesakralan yang dimiliki, maka generasi muda perlu mengutip dan meniru perjungan ini dengan melawan prilaku politik yang tidak benar (politik adu domba, politik uang, politik bagi-bagi kekuasaan) yang tidak mencirikan karakter dan etika politik yang baik. Penulis sependapat bahwa dalam momentum politik ini, membutuhkan pemikiran generasi muda, sebagai sistem gagasan yang bisa mengawal prosesi politik ini menuju pada episode kedewasan dan kualitas tinggi.

Seharusnya nilai bargaining anak adat bagian dari pada etos puritan, melahirkan corak pemikiran untuk jadikan jembatan yang bisa melahirkan perubahan baru. Menjadi penting penulis mengutip pendapat R. Merton (A. Fuad), bahwa bagi kaum puritan (generasi) aktivitas-aktivitas duniawi dan capaian-capaian keilmuan, menjadi manifestasi dari kemulian Tuhan dan memperluas kebajikan manusia. Pendapat Merton, menjadi urgen dan substansi sebagai anak adat yang akan mengawal proses politik ke depan, dengan gagasan dan konsep yang dimiliki dan bersikukuh dengan nilai-nilai ke-Ilahi-an.

Hasrat Pragmatisme Politik  (Matinya Sang Pemuda)

Jika menyimak permintaan politik (nilai tukar), pasti sudah berbenturan dengan kepentingan yang tidak mendasar dan substansi dalam kehidupan. Justru dalam kepentingan politik mereka dengan mudah dan sederhana menghukumi nilai dan modal sosial yang selama ini kita bangun bersama. Alasan sederhana misalnya: membuat rumah adat, memfasilitasi kepentingan beberapa kelompok masyarakat dan membangun bangunan A, B, dll. Ini alasan yang rasional tetapi dangkal sumber pengetahun yang mereka miliki. Apalagi jika segelintir pemuda mensiasati hal tersebut untuk meloloskan kepentingan sebagian orang. Maka kita sapa mereka, “Hai anak muda, dimana idealisme-MU ?”.

Hasrat ini sulit dibendung dalam ranah politik praktis, semangat dan kerja ini menjadi ideologi baru dalam berpolitik. Kerja dan perjuangan politik bukan lagi sebagai idealisme dan perjuangan politik progresif, tetapi sudah menjadikan kekutan dan profesi/pekerjaan baru dalam menghasilkan profit (mata pencaharian). Oleh karena itu, banyak  generasi muda terseret dan bercita-cita memiliki kekayaan lebih melalui partsipasi politik praktis, bisa digerakkan setiap saat sesuka orang yang berkuasa. Sosok generasi ini bermental domba (moralitas budak) kata Nietzsche.

Corak pemikiran telah bersetubuh dalam pragmatisme politik praktis, tanpa kawalan yang kuat, maka seyogyanya pendapat Ibnu Khaldun, mereka adalah generasi dan pemuda penikmat, tidak mau bekerja keras untuk melampau episode sosialnya. Momentum politik ini, adalah fase gerilya mencari peluang dan penghasilan, ibarat pencari harta karun jika kita bernostalgia dengan cerita-cerita legenda. Fakta deal-deal politik pun terus mengalir. Kesepakatan sosial yang dilakukan segelintir komunitas masyarakat memberikan tawaran-tawaran bangunan “fisik”, dengan menggadaikan suara yang mereka miliki, tanpa memperhatikan tawaran dan pemberdayaan sumberdaya manusianya. Posisi pemuda pun bersetubuh dari pada sistem tawar menawar itu dan tidak menjadi oposisi kritis untuk mengkaji secara paripurna. Perilaku politik masyarakat yang didukung oleh pemuda yang menyandang status dan gelar sarjana, mereka melacur dalam idelalismenya sebagai pembaharu. Karakter pemuda yang mendiamkan problem politik yang tidak populis dan etis tersebut, adalah bagain dari pada kiamat idealisme politik anak adat.

Di penghujung pandangan, betapa penting generasi ideal perlu digambarakan dalam mengawal kedewasaan politik Tidore. Pertama, mendorong demokrasi sehat; Kedua, melacak imajinasi pemimpin; Ketiga, ikhtiar menjaga nilai sosial; Keempat, senang tiasa menjaga nilai idialitas sebagai anak muda; Kelima, memiliki motif efek; Keenam, sumber-sumber perubahan yang kritis; dan Ketujuh, semangat filosof yang menggerakan; kedelapan, deklarasi melawan KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) secara berjama’ah.

Gerakan dan semangat kolektif, etika sosial bisa dipertahankan eksistensi-Nya. Pesan bermakna; gahi gura fo ma tai dou moro-moro fo maku baso, to dato-dato gahi gura dou rimoi karo bato fo maku baso rewa si fo gahi gate bena. Pesan ini memiliki makna pentingg kebersamaan sosial, hai anak muda, “anak adat”, suara dan gerakan pun selalu memberikan perubahan besar. Gemparkan dan kawal segala aktifitas politik yang salah. Lawanlah sikap politik dan ingatkan kepada mereka tentang kebenaran sebuah perbuatan politik.  [*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *