(Perspektif Sosiologi Politik)
detiKawanua.com – Momentum Politik 2015 menjadi perjumpaan banyak cita-cita dan gagasan yang futurustik untuk merumuskan kemajuan suatu daerah. Episode ini juga menjadi hal yang penting dan substansi. Tetapi apakah bisa berada pada substansi demokrasi, itu yang menjadi harapan kita bersama? Di Indonesia sekitar 245 Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) akan dilaksanakan pada tahun 2015. Pembuktian eksistensi para kandidat terus ditonjolkan menjadi hal yang biasa dan menjadi rutinitas berpolitik.
Episode kepemimpinan masyarakat Tidore dari fase Momole, Kulani, dan
fase Kesultanan, tidak terlepas dari eksistensi Sowohi. Sowohi adalah
aktor pencerahan dan aktor dalam mendorong peradaban Tidore. (Bustamin W. Tosofu)
Pertarungan untuk meraih kekuasaan politik di Tidore telah menggerakkan semangat dan keterpanggilan moral, kembali mengabdikan pemikiran-pemikiran mereka untuk daerah. Kehadiran ini bagian dari pada misi-evaluatif dan misi-transformasi untuk perubahan. Visi, konsep dan imajinasi para calon pemimpin di Tidore terus membumi di kalangan masyarakat, bukan saja di kalangan aktifis politik, intelektual, mahasiswa, pedagang, petani tomat dan bahkan diskursus pemikiran para kandidat ini telah menjamur di kalangan tokoh adat.
Ruang lingkup politik, akan tercipta kekuasaan yang memiliki relasi sosial. Gagasan dan konsep politik modern telah mengemas dan mensiasati strategi pada wilayah rasional dan meta-rasional menjadi prinsip dasar. Kontek ke-Tidore-an kekuatan adat menjadi perekat sosial yang kuat dan memiliki nilai-nilai pemersatu, para Sohowi sebagai tokoh sakral dan identitas hakekat juga menjadi salah satu relasi kuat dalam mendulang dukungan dan simpati.
Sowohi Dalan Relasi Kuasa
Episode kepemimpinan masyarakat Tidore dari fase Momole, Kulani, dan fase Kesultanan, tidak terlepas dari eksistensi Sowohi. Sowohi adalah aktor pencerahan dan aktor dalam mendorong peradaban Tidore. Tak terhitung jumlah Sowohi yang ada di Tidore, tetapi para Sowohi meiliki tugas dan tanggung jawab sesuai dengan amanat yang diembankan dalam menjalankan prinsip deontologis (nilai kewajiban), sebuah nilai adat dan etika sosial. Sowohi adalah aktor dan raksasa intelektual sakral yang setiap saat memberikan pencerahan dan ikhtiar dalam bertindak.
Lihat juga: ARTIKEL: Mengenal (Beberapa) Raja Kaidipang, bagian terakhir
Apalagi dalan momentum politik ini posisi dan peran Sowohi benar-benar independen. Independensi para Sowohi tidak perlu kita ajarkan kepada mereka (Sowohi). Mereka jauh lebih paham dan mengerti terkait tugas hakekatnya. Nilai dan identitas kearifan lokal ini bukan mejadi wadah untuk mendulang suara dan dukungan melalui relasi sakral yang dimiliki para Sowohi, tetapi biarkanlah para Sowohi selalu mendengungkan do’a-do’a pencerahan.
Jika kita tilik dari konsep relasi kekuasaan yang disampaikan oleh M. Foucault dan ditafsir oleh penulis bahwa kekuasaan adalah relasi yang berada dalam ruang subjek maupun objek dimana pun, atau kekuasaan itu sendiri berada pada sendi-sendi kehidupan. Kadangkala dia berada dalam kohesi (bersama jenis tetapi bertentangan) ataupun memliki perbedaan jenis tetapi mengikat dan menyatu (adhesi).
Perspektifi sosiologi ini, memberi makna bahwa relasi kekuasaan ini berada pada ruang publik yang tidak memiliki batas sosial, relasi kuasa ini bisa berada di pekerja ojek, pekerja bentor, petani toma, petani kangkong, nelayan, komunitas Cofa, Gosimo Gam, Jeguru, aktivis kafe, gubuk, dan bahkan rumah adat menjadi rung untuk menbicarakan rentang kekuasaan. Dinamika kekuasaan yang kompleks ini menjadikan semangat dan laku intelktual kita jauh lebih tajam, organik untuk mengawal proses ini, sehingga antara sesama relasi kuasi tidak menimbukan konflik sosial.
Relasi Nilai Politik
Generasi muda (ngofa sedano) mengharapkan nilai ini terus terjaga dan menjadi simpul kekuatan besar dalam mendorong perubahan Tidore. Nilai sosial ini tidak pernah melarang kepada siapa pun untuk berjumpa dengan sosok Sowohi, paling tidak memberikan dukungan do’a dan semangat perjuangan tanpa keluar dari nas-nas adat dan ajaran. Ini bagian dari agenda demistifikasi politik manusia modern.
Hal ini penulis sependapat dengan Fritjof Capra, bahwa penyatuan antara kekuatan rasional dan irfan (hakekat) menjadi kekuatan kuat pengetahuan. Tidak salah dan keliru para politisi ini menggunakan pendekatan tersebut, tetapi jangan jadikan kesakralan subjek ini menjadi sumber konflik. Marga dan Soa di Tidore sudah menjadi bagain dari pada nilai (value) yang harus dipertahankan, tanpa mengabaikan solidaritas dan kesadaran kolektif.
Dalam momentum politik ini para kandididat diharapkan harus memberikan sistem solusi untuk Tidore, dia (kandidat) hadir bukan sekedar propaganda mosi sosial, tetapi mereka hadir sebagai sosok jawaban dengan kekuatan instrumen pengetahuan yang berbeda. Kecerdasan dan pengalaman dimiliki kandidat, publik Tidore tidak mengharapkan mereka plesetkan eksistensi Tidore dari aturan Kie Se Kolano. (#)
Penulis adalah Pengrajin Kayu Manis