(Secuil Cerita di WA bersama Teman-teman Alumni SMP Negeri 1 Limboto)
Oleh: Indra Asiali
detiKawanua.com – Judul di atas jika ditinjau dari kaidah bahasa Indonesia (yang sesuai EYD), memang tidak tepat. Tapi judul tersebut (bahkan tulisan ini), bukan menggambarkan kisah epik seorang pahlawan kesiangan, atau disertasi ujian pasca sarjana pengangguran; sehingga tidak perlu harus berbahasa Indonesia yang baku dan benar. Tulisan ini hanya secuil unek-unek ‘anak kecil’, karena itu tidak perlu dibaca dan/atau ditanggapi dengan serius.
Sekedar diketahui, tulisan ini lahir berdasarkan hasil cuitan dan ‘kenakalan’ kami (alumni SMP Negeri 1 Limboto, Kabupaten Gorontalo, red) dalam menanggapi ‘nasib’ teman yang tengah pelesir dan ingin berjumpa Kawan lamanya, di Kota Jakarta, Rabu (19/10/2016) malam.
‘Si Teman’, entah karena lelah menunggu, atau cemas karena yang ditunggu tidak kunjung datang, atau karena bosan pada kami karena iseng menggoda dirinya yang lagi ‘ba tunggu’; maka dengan penuh keyakinan mengetik kalimat yang saya istilahkan ‘Tunggu di Tunggu’ di atas.
Singkat cerita, ‘Si Kawan’ lamanya bertanya dalam dialek Manado-Gorontalo, “Batggu dimana (ba tunggu dimana / Menunggu di mana).” Dijawab sang teman, “Ruang tunggu.” Perhatikan baik-baik kalimat tersebut. Apa yang aneh dari kalimat itu?
Semua pasti tahu, bila kita sedang berada di bandara, di stasiun, atau di terminal, jika menunggu seseorang pastilah di ruang tunggu. Mau di mana lagi, ujar seorang sahabat. Dan proposisi kalimat ini pasti benar, bila ditinjau dari sisi Koherensi dan Korespondensi-nya, bahkan sangat Pragmatis menurut toeri kebenaran. Wuitz.. bahasa langit mana nih???

Back to story. Mengapa dialog tersebut ‘aneh’ bila disimak? Karena ini Jakarta. Kota Besar. Kota Metropolitan. Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ruang tunggunya pasti besar. Ini bukan di Gorontalo, apalagi di Limboto. Jadi, kalau bisa disimpulkan, maksud pertanyaannya, “di ruang tunggu sebelah mana?” Itu yang saya tangkap dalam dialognya.
So… pertanyaan ‘menunggu di mana?’, menurut saya, menjadi aneh kalau hanya dijawab ‘ruang tunggu’ saja. Seharusnya, sekali lagi menurut saya, dijawab dengan menyebutkan detil posisi ‘Si Teman’ di ruang tunggu itu. Sebab, andaikan di stasiun, bandara, atau terminal itu tengah ramai, ‘Si Kawan’ akan membutuhkan waktu ekstra untuk mencari temannya ke setiap sudut ruang tunggu tersebut. Kasihan khan, kalau yang ditunggu jadi ikutan menunggu. Khawatirnya, yang ditunggu dan menunggu, berubah jadi ‘penunggu’ di ruang tunggu. Ih… seereeemmmm. Kidding neh friends.
Itulah mengapa dalam obrolan di WhatsApp (WA) tersebut, saya langsung nyeletuk “merasa aneh”. Namun, Aneh di saya tentu tidak harus Aneh di Anda semuanya khan. Itu toh dunia media sosial. Dunia maya. Dunia fantasi yang aneh. Tempat kita semua bisa berbuat ‘aneh’ dalam kesendirian dan keramaian, bersama teman-teman nyata ataupun khayalan. Mungkin.
Dan selamat menikmati Malam Kamis, Wahai Para Penunggu.